21 | Mulai Jatuh Cinta

76 26 95
                                    

"Selain suka Harry Potter, Harry Style, dan harry minggu. Aku juga suka harry-harry bersamamu." —Bintang.

***

Bukit Pelangi, 31 Desember 2007.

23.45

"Mama, Kinan ngantuk banget..." ujar Kinan kecil seraya meletakkan kepalanya di pangkuan sang Ibunda yang mengulas senyum tipis.

Dibelainya lembut kepala Kinan yang nyaman di sebelah paha wanita itu. Jemari ibundanya menyelipkan beberapa rambut Kinan ke belakang telinga. "Kinan gak mau liat kembang api?"

Kinan menggeleng kuat-kuat. "Kinan mau bobo! Kinan nggak mau ulang tahun!"

Ibunya tertawa kecil. "Kinan harusnya seneng loh, Mama ngelahirin Kinan tepat tanggal satu januari. Ulang tahun Kinan dirayain semua orang karena bertepatan pergantian tahun."

Kinan mengerecutkan bibir lalu bangkit dari nyamannya bersender pada paha sang Mama. "Kinan nggak mau tau, nggak ngerti."

Tangan wanita itu menepuk rumput disebelahnya yang tak ditempati siapapun. "Kinan duduk sini. Nanti tunggu jam dua belas malem, kembang api dan semua orang di tempat ini bakal ngerayain ulang tahun Kinan," ujarnya menampilkan sederet giginya yang rapi.

Kinan kecil mengucek matanya gemas. Pipinya yang gembul membuat sang ibunda mencubit beberapa kali. "Kinannya sakit," sahut bocah itu sembari menggosok-gosok jejak cubit dari Mamanya.

"Mama jangan pergi-pergi lagi ya? Kinan takut."

Wanita itu memudarkan senyumnya. Ia tahu bahwa dirinya tidak akan memenuhi permintaan anak semata wayangnya itu. Angin malam membuat anaknya mengeratkan jaket yang ia kenakan. Rasa dingin begitu menusuk kulit rapuhnya.

"Ayo sini, Nak. Sebentar lagi kembang apinya mau meletus." Wanita itu menarik Kinan ke dalam dekapannya. Kemudian, ia mendudukkan Kinan tepat disampingnya. Dengan hati-hati ia menggenggam tangan mungil milik Kinan kecil. Diciumnya penuh kasih sayang, guratan penyesalan mewarnai raut mukanya.

Sebelum akhirnya ia memeluk anak putri kesayangannya, Kinan lebih dulu bertanya, "Mama jangan nangis dong, nanti siapa yang ngelindungin Kinan kalau Mama nangis?"

Wanita itu menangkup wajahnya sendiri, membersihkan bekas air mata yang sempat menetes. "Kinan duduk dulu ya? Mama mau beli minum buat Kinan."

Kinan hendak berprotes namun Mamanya terlebih dulu menaruh telunjuk pada bibir mungil Kinan. "Jangan kemana-mana, ya?"

Akhirnya Kinan kecil mengangguk pasrah. Ia terduduk lesu sembari memeluk lututnya sendiri menunggu Mamanya kembali. Lambat laun dirinya bergerak gusar, mengeratkan jaket dan menengok kanan kiri dengan polosnya.

Dari kejauhan wanita itu menangis tersedu, ia tidak sanggup membiarkan anak putrinya kebingungan di sana. Tetapi apa boleh buat? Keadaan yang menyergapnya menjadi seperti ini. Bukan kehendak, ia tak mungkin setega itu terhadap Kinan kecil.

"Aku titip Kinan sama kamu ya, Dona. Jagain Kinan. Aku pasti bakal kirim uang buat Kinan. Ke depannya jangan beritahu Kinan dimana aku," ujarnya menatap pilu perempuan sebaya yang berdiri disampingnya.

Bibirnya mengatup dan membuka sementara sebelum akhirnya kembali berujar, "Bilang sama Kinan, Ayahnya udah gak ada. Aku punya alasan untuk itu, aku gak tega biarin Kinan tau nasib aku juga. Dia udah cukup berat buat nerima nasibnya sendiri," lanjut Andini di ujung sendu setiap nada suara.

BintanOnde histórias criam vida. Descubra agora