19 | Hadiah untuk Kinan

104 34 95
                                    

Aku baik-baik saja diperlakukan tak kasat mata. Aku baik-baik saja dianggap manusia tak berdaya.

Semenjak aku yakin bahwa rencana lain Tuhan adalah jalan pintas yang paling sempurna.

***

Langit di sana semakin cepat berubah warna menjadi hitam kelabu, padahal baru beberapa saat yang lalu awan kelabu masih terlihat di barat. Udara di sekitar berputar dengan kecepatan yang meningkat secara perlahan, mengirimkan butir-butir debu dan beberapa daun kering ke segala arah. Mungkin hujan akan lebat, selebat air mata yang menganak sungai di kedua belah pipi gadis itu.

Lagi, tangannya meraih secangkir kopi dengan asap yang masih sedikit mengepul. Tampaknya kopi itu segera tandas karena sedari tadi sang gadis terus menyesapnya sedikit demi sedikit. Netranya menerawang ke sebrang sana. Sejenak menikmati angin sejuk yang berhembus menyapu permukaan kulit. Hingga dirinya terlarut beberapa detik. Memikirkan seseorang yang mulanya mengisi relung hati namun malam ini justru meretakkan perasaan.

Kedua pipinya nyaris bengkak lengkap dengan penampilan mata yang sembab. Terdengar sesekali ia menarik nafas yang tersekat. "Apa si kok gua nangisin Bintang? Pacar aja bukan."

"Geer amat gua," katanya sembari membereskan wajahnya yang berantakan.

Dihapusnya jejak air yang berlinang beberapa waktu yang lalu. Menarik nafas panjang lalu menghembuskan dengan kuat-kuat seolah bertujuan membuang rasa sesak yang memenuhi sejak tadi. Sejenak memejamkan matanya membiarkan udara menerpa anak rambutnya.

"Udah jam 11 lo masih mau melek? Keliling bangunin kompleks aja gih sono."

Kinan menengok. Matanya nyaris keluar ketika sosok Anya tampak jengkel berdiri di ambang pintu.

"Loh? Nangis? Kenapa, Nan?"

Kinan menggeleng. "Kelilipan."

"Mana ada kelilipan pipi lo sampe bengkak? Kelilipan apa kalo gitu? Kecoa?"

Decakan kesal pun keluar dari mulut Kinan. Ia tau Anya mengkhawatirkan dirinya, namun untuk saat ini berbagi cerita terasa sangat memalukan. Apalagi perihal perasaan! Kinan seumur hidup belum pernah menangisi laki-laki kecuali kematian Ayahnya.

"Kok bisa kesini?"

Anya paham, sahabatnya ini enggan menjelaskan. Dirinya mengangguk seraya mendekati Kinan. "Televisi masih nyala tuh, mau gua matiin tapi malah liat pintu depan kebuka. Pas gua mau nutup, malah ada mbak melati lagi ngopi," tutur anak itu sembari berkacak pinggang.

Lirikan mata Kinan terasa begitu canggung. Ah, sebelumnya ia belum pernah kedapatan sedang menangis malam-malam begini.

"Besok terima rapot, lo mau ikut?" tanya Anya.

Kinan mengangkat kedua bahu. "Lo?"

"Gua jadi penerima tamu, mau nemenin gak?"

Tak ada alasan bagi Kinan untuk menolak. Daripada dirinya semakin larut dalam perasaannya yang kacau tidak ada kepastian, lebih baik Kinan memenuhi permintaan Anya. "Yaudah tidur aja sekarang. Besok gua ikut."

Anya tersenyum samar. Ia mengenal betul Kinan, anak ini tengah menyimpan luka, jelas sekali sorot matanya yang amat sendu, namun anak ini tak ingin berbagi luka. Ia tak ingin dikhawatirkan lebih dalam. "Kalo lo udah mau cerita, cerita aja, gua gak bakal ngeledek lo," ujarnya santai meyakinkan Kinan yang tampak termenung.

Kling!

Unknown
Kalo lo gak cupu, besok temuin gua di atap sekolah.




BintanWhere stories live. Discover now