28 | Hampir

72 14 0
                                    

"Sana tidur, gua nggak mau punya istri mata panda. Cukup punya anak dari gua aja, jangan panda segala."
—Bintang.

***

Kinan menghembuskan napasnya lelah, memikirkan sepatah kata yang sempat terlontar dari mulut cowok berkaus polo hitam setengah jam yang lalu. Ia pun beranjak, mengambil sebuah bingkai yang tertempel pada salah satu sisi dinding di ruangan itu. Hingga kemudian, sebuah tanya keluar setelah laki-laki paruh baya kembali menempati kursi duduknya di ruang tamu.

"Tasik nopo, Nduk?" Pria itu keheranan lengkap dengan logat Yogyakarta yang kental sembari melihat putri angkatnya menatap lekat pinggiran pigura. (( Lagi apa, Nak? ))

Kinan menoleh, menaruh bingkainya hati-hati lalu beralih bersimpuh di hadapan sang Bapak. "Lagi liat foto, Pak."

"Sore tadi kamu kok ngga keliatan itu dimana, to?" Pelan ibu jari pria itu mengetuk-ngetuk pegangan pada kursi yang ia tempati.

Alih-alih berdiri Kinan justru memijat kaki Hadinata perlahan. Memberi seutas senyum tipis. "Pergi, Pak, sama temen."

"Temen apa sampai bikin kamu senyum sendiri berdiri di situ?"

Renyah tawa Kinan terdengar kala matanya menyipit. "Temen main, anaknya lucu, pas liat pigura itu Kinan kecil matanya mirip dia, Pak. Makanya ketawa sendiri," ucapnya jenaka memungkasi pertanyaan bapak, yang agaknya dibumbui aroma bohong.

Pasalnya, memang benar perihal ia menyadari manik miliknya yang terpampang di pigura nyaris mirip dengan Bintang. Namun, alasannya tertawa bukan karena teringat tingkah konyol Bintang. Melainkan rasa menggebu terhadap kalimat terakhir yang cowok itu lontarkan

Berdiri tegak cewek dengan cepolan menjulang tinggi. "Pak, makan dulu yuk. Ibu bikin martabak kecil-kecilan di ruang tengah." Suara nyaring itu tiba-tiba membuyarkan obrolan santai antara Hadinata dengan Kinan.

"Pesen kopi satu dong, Nyak," pinta Kinan meruntuhkan sikap manisnya detik itu juga.

Anya memejamkan matanya dengan wajah menengadah ke atas. Dengan raut serius yang tampak di wajah imut tersebut, Anya mengangkat telunjuknya tinggi ke arah Kinan. "Sumpah ya lo, bukannya bantuin kek, gak buka warteg gua," pungkasnya dengan hidung berkedut mengendus tiap aroma yang menguar di sela sela udara ruang tamu.

Hadinata tertawa sekilas. "Ribut terus kalian ini."

"Ayo, Pak, martabaknya udah ke ruang tengah tuh," ajaknya menuntun Hadinata pelan. Ia mencibir pada Kinan yang merengut sedang duduk bersila menatap kepergian punggung mereka yang ditelan dinding rumah.




20.14


Malam ini membiaskan balutan keakraban yang rasanya seketika meluruhkan rasa letih serta kantuknya Kinan. Menangkap cara bicara Raven beserta Koko, Anya yang terus menyerocos, apalagi guyonan Bapak mengundang perasaan hangat tersendiri bagi Kinan. Baginya memiliki keluarga sederhana tak buruk, justru saling melengkapi, lantaran saat guyonan itu terlampau kocak Ibu selalu menengahi di antara mereka.

Tidak ada yang menaruh garis keberatan di sini. Semuanya sama-sama menikmati detik demi detik yang berjalan. Bertukar cerita perihal apa saja, mengomentari sinetron yang sedang tayang, atau bahkan meledek satu sama lain. Di temani sepiring martabak hangat serta tahu petis yang tak kalah nikmat.

Bagai disuguhi bongkahan emas, kedua bola mata Anya dan Kinan nyaris keluar dari tempatnya. Tayangan sinetron berganti iklan televisi produk neo coffe, yah, biasalah remaja penyuka idol negara ginseng pasti tahu.

BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang