16 | Iblis

90 36 104
                                    

Tidak ada yang tahu mengenai bagaimana kelak arus kehidupan kita berjalan di antara ombak yang menggulung tak kenal lelah.

***

Deva menyalakan mesin motornya. Ia menurunkan kaca helm serta sedikit menyipitkan mata guna menghalau sinar matahari yang begitu silau hari ini.

"Lo gak papa ditinggal nih? Gak mau gua temenin nunggu Zea?" tanya gadis itu sekali lagi. Entah mengapa perasaan Deva gelisah, ia tak cukup yakin meninggalkan sahabatnya itu sendirian.

Kinan terangguk-angguk. "Lagian kenapa si? Aneh banget lo?"

Kali kedua hembusan Deva terdengar berat, "Masalahnya gak rame kayak biasanya, Nan, yakali tiba-tiba lo diajak kumpul sama Zea?"

Kinan mengulum senyumnya santai. "Khawatir banget sama gua? Tenang aja kayak gak kenal Zea aja lo, dia kan baik selama ini," tukas Kinan menepuk-nepuk pundak Deva. "Udah sana lo cabut, ditunggu anak sispala ntar," lanjutnya sekali lagi.

Dengan berat hati Deva mengangguk, ia mengenyahkan segala pikiran buruk atau rasa khawatirnya yang mendadak berdenyut. Ditancapnya gas motor yang membawa dirinya jauh dari cakupan retina Kinan.

Kinan mendengus kesal, sudah setengah jam terlewati ia hanya duduk sembari menahan rasa suntuknya yang berlebihan di pos satpam sekolah. Hari ini sekolah masih dalam zona libur panjang, wajar saja tidak ada kegiatan ataupun tanda kehidupan di sini.

"Zea mana si?" gumamnya lirih.

Sewaktu dirinya hendak menyerah dan memilih keluar dari area sekolah, sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan gerbang. Langkah Kinan terhenti, ia sengaja berdiri di ambang gerbang dan melukis senyum.

Namun, senyum itu pudar seketika. Bukan Zea yang menepati janji melainkan segerombolan perempuan membawa aroma wangi menyeruak seketika. Kinan awalnya tak mengenali mereka semua, tahu 'kan Kinan tak bisa menyinkronkan nama dengan wajah tanpa mengenali kebiasaannya?

Dahinya berkerut menatap kedatangan tiga gadis di depannya. Gadis paling belakang melayangkan senyumnya. Ketika Kinan memperhatikan jajaran gigi rapi beserta cara menyipitkan mata, otaknya menjawab pertanyaan Kinan yang bermunculan memenuhi tempurung kepalanya.

"Gladys, mau ngapain?" tanya Kinan basa-basi. Ia benar-benar tak paham dengan situasi ini.

Gladys berdecih, membuang mukanya ke langit yang menggambarkan sejuta gumpalan awan di atas sana. "Masih nanya ngapain? Sadar gak? Lo itu perusak hubungan orang!"

Deg!

Pikiran Kinan langsung tertuju pada laki-laki pemilik senyum kotak itu. Laki-laki yang kerap melatih jantungnya tanpa ampun. Laki-laki yang pernah membawanya hanyut dalam fantasi liar.

"Maksudnya?"

Satu demi satu langkahan Gladys semakin mendekat. Ia tak segan untuk melukai Kinan, persetan dengan image primadona, ia tak perduli soal itu.

"Lo masih pura-pura bego? Tau siapa gua? siapa Bintang?"

Kinan memang sempat terguncang sesaat, namun keberaniannya tidak akan pupus begitu saja sebelum ia kalah dalam berperang. "Sori, emangnya lo siapa sampe-sampe gua kudu tau?"

Gladys lupa fakta bahwa Kinan bukan tipe perempuan yang gentar. Kinan memiliki sedikit sifat sarkas yang mengungkung dirinya.

Kinan memalingkan mukanya sejenak. "Oh, ini yang namanya primadona sekolah? Mainnya ngelabrak, make celana masih suka nebar paha aja belagu."

BintanWhere stories live. Discover now