23 | Bukit, Vespa, dan Jagung

81 19 40
                                    

"Awalnya, gua pikir lo cewek paling judes yang pernah gua temui. Tapi, ternyata lo yang bikin gua senyum berkali-kali." —Bintang.

***

Bintang membasahi bibir bawahnya pelan. Matanya tak lepas dari pantulan dirinya yang terlihat tampan dalam balutan kemeja krem polos dengan lengan digulung sampai siku. Lima menit yang lalu Bintang baru saja mengganti ripped jeans-nya dengan jeans hitam setelah ditegur mentah-mentah oleh kakaknya.

"Lo kayak anak punk make sobek-sobek gitu."

Bintang benci mendengar kata punk. Tolong lah muka seadem Bintang dibilang anak punk? Bagas kelewat iri atau bagaimana sih?

"Anak Bunda ganteng sekali, mau kemana, Sayang?" tanya Bunda berdiri di belakang tubuh tegap Bintang.

Bintang melirik lewat pantulan cermin. "Mau kemana deh hayo tebak, Bun~"

"Kinan kok gak pernah keliatan lagi, Dek?" tanya Bunda hati-hati sembari mengamati punggung putra bungsunya lekat.

"Ini Bintang lagi mau ngajak Kinan main, tapi nggak ke rumah, ah. Kinan belum siap ketemu camer." Cengiran di akhir kalimat Bintang rupanya menjemput satu senyum simpul milik sang Ibunda.

"Pulangnya jangan malem-malem ya. Kinan anak perempuan nggak baik main sama cowok sampe larut."

Jemari Bintang membentuk simbol oke.

"Jangan diapa-apain. Jangan dirusak. Dijagain itu anak orang."

Mengapa tiba-tiba Bunda jadi mengkhawatirkan Kinan? Seharusnya Bunda tahu Bintang bukan tipikal cowok semacam itu.

"Iya, Bunda. Lagian Bintang sentuh Kinan aja gak berani hehehe," ujar Bintang polos.

Tapi boong, Bintang udah pernah meluk. Maaf ya Bunda




18.51

Udara dingin menelusup permukaan kulit Kinan. Terhitung puluhan kali gadis itu menggosok-gosok kedua tangannya sejak datang di Bukit Pelangi. Kinan mengeratkan jaketnya agar lebih rapat. Dalam otak Bintang terlintas adegan memasangkan jaketnya pada Kinan, tapi sayang, Bintang juga merasakan hawa dingin menusuk malam ini. Jadi ya, Bintang harus berpikir dua kali sebelum menyerahkan jaketnya agar rangkap di bahu cewek itu itu.

"Masih dingin ya?" tanya Bintang lembut.

Kinan mengangguk gemas. "Banget. Lo si ngapain ngajak ke bukit segala."

Senyum Bintang melebar kala netranya menerawang jauh ke dalam kedua manik Kinan. Ia larut dalam tatapan Kinan yang jelas berbeda dari tatapan sebelum-sebelumnya. Entah bagaimana, Bintang nyaman dengan sorot mata Kinan yang seperti ini. Ketimbang menyorotkan tatapan tegar, Kinan lebih cocok berada di kondisi membutuhkan perlindungan. Bintang akan maju paling depan masalah itu.

"Liatin terus, gua cemong ya?."

"Enggak. Cuma tanya, nggak papa kan gua ajak kesini, Nan?" tanya Bintang sekali lagi.

Aduh Bintang, mau protes pun percuma. Udah terlanjur sampe!

Sebenarnya Kinan sempat bersikeras tak ingin turun dari motor vespa Bintang. Karena di tempat ini, tempat dimana kejadian yang cukup menyayat hati Kinan terjadi. Tidak hanya itu, sesuatu yang sedang keduanya nanti pun adalah sesuatu yang Kinan benci.

Jin apa yang membuat Kinan berubah layaknya anjing penurut lalu terangguk lucu begitu Bintang menuturkan tekadnya.
"Dipake earphonenya. Nanti langsung puter lagu aja," ujar Bintang mengukir senyum manis di hadapan Kinan.

BintanWhere stories live. Discover now