35 | 1 Januari 2020

128 14 4
                                    

Nanti, kalau waktunya habis, bagaimana?

***

Kinan bergerak gusar beralaskan kumpulan kertas sedang menidurkan mata terhanyut lelap pada buih-buih mimpi. Seakan enggan peduli guru di depan papan tulis menjabarkan poin-poin materi. Alangkah terkejutnya saat tangan mungil tersebut tak sengaja menggores tumpukan buku miliknya hingga menuruni ketinggian lalu berakhir pada lantai putih.

Dengan sigap ia menarik nafas pendek. Mengangkat tempurung kepala yang nampaknya sedikit terhuyung-huyung. Ia mengerjap berkali-kali berusaha menerima intensitas cahaya yang menerobos paksa bertemu retina. Kemudian, menggaruk dagu sekaligus ujung bibir ketika tatapan seluruh penjuru kelas tertuju padanya. Termasuk guru yang tengah mengajar.

Ia meringis menahan sumpah serapah yang nyaris terlontar. Ah, buku sialan. Ia berjongkok sejenak memunguti sejumlah buku yang sempat tergelincir dari meja karena ulahnya.

"Kenapa tidur di kelas?" tegur pengajar mata pelajaran biologi tersebut. Nampak kesal menyerang Kinan dengan pandangan menghunus.

"Maaf, Bu," ucap Kinan di tengah sunyi yang menguasai dengan posisi mencapit buku-buku sembari menduduki bangkunya kembali.

"Kok kamu pucat lesu begitu? Sakit?"

Siapa tahu dapat slot pergi ke UKS setelah ini, hm.

"I-iya, Bu."

Seketika Anya menyenggol pinggang teman sebangkunya ini. Bola matanya hampir copot saat ia menoleh pada Kinan—yang sudah dipastikan batinnya tengah bersorak kegirangan. Anya mencebik senantiasa membatin, "Enak bener lo, Bocah Kasmaran."

Perlu diingat, Bu Nanda itu tipikal guru yang tak tega melihat anak didiknya lesu karena sakit. Catat; sakit, bukan nyakit seperti Kinan.

Yes, dapet jatah tidur siang di UKS.

"Yasudah, saya kasih kamu waktu dispensasi khusus pelajaran saya. Bisa digunakan untuk berbaring di UKS, sekaligus minta obat."

Tuhkan, Kinan dapet rejeki nomplok!





#35 - 1 Januari 2020





Gadis itu kemudian menopang salah satu pipinya dengan kepalan tangan yang bertumpu pada belah paha kanan. Dinginnya AC unit kesehatan sekolah sudah tidak bisa diragukan. Nyaman sekali, lebih dari pelukan Bin—ah, Kinan buru-buru menggeleng cepat.
Ia menampar kedua pipi lalu meringis mengaduh kesakitan.

Ada seonggok fantasi yang tak beres  melayang-layang di atap otaknya, terdengar mulai nakal memang. Sesuatu yang mungkin baru ia rasakan betapa memanasnya tubuh gadis tersebut tepat pukul dua belas malam.

Hari itu, mendekati pukul dua belas malam Kinan merengek diantar pulang. Jalanan sudah padat orang-orang yang menghabiskan waktu di penghujung tahun ini lengkap memegang sejumlah petasan. Kembang api, riuh ramai, dan make a wish, sungguh identik dengan momentum seperti sekarang ini.

Setelah melewati perdebatan yang cukup melelahkan, Bintang mengalah. Sekarang keduanya telah berhenti di depan pagar kediaman Kinan. Berbeda seperti biasanya yang langsung menancap gas bergegas kembali ke pekarangan rumahnya, pemuda itu justru menanggalkan helm lalu ikut turun dari sepeda motor.

Dahi Kinan mengerut memindai segala raut yang Bintang gambarkan. Tetapi nihil, tak ada hasil. Jengah dengan diamnya, masih dalam posisi santai gadis itu menyeletuk, "Ngapain turun segala? Udah jam dua belas kurang dikit, pulang gih."

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Feb 23, 2020 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

BintanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora