1 Eins

1.5K 147 20
                                    

"Belum di kerjain?"

Wooseok membulatkan mata tak percaya melihat kertas jawaban yang masih putih kosong tanpa coretan. Kesabarannya memang sering di uji seperti ini, namun tetap saja rasanya ingin marah.

Andai saja dia kaya. Andai saja mengajari fisika dasar bukan termasuk pekerjaan sampingannya. Andai saja muridnya ini bisa di ajak bekerja sama.

"Ajak aku ke kampus dong kak, pengin liat sekolah itu gimana." Anak berpipi chubby yang tengah menyibukkan diri dengan origami pesawat kertas tak memperdulikan pertanyaan Wooseok.

Yang lebih tua mendesah berat. "Kerjain soal dulu nanti pergi ke kampus saya."

Hyungjun meraih pensil di meja belajar lalu menuliskan angka di buku catatannya. "59 kali kaka bohong di minggu ini."

Lagi-lagi Wooseok mendesah berat. "Kalau kamu ngga mau ngerjain soal ini, berarti saya ngga ada urusan lagi di sini. Bilang sama papa kamu suruh cari guru private baru."

Wooseok membereskan beberapa tugas kampus yang sengaja dia bawa ke tempat Hyungjun. Niatnya mau di kerjakan saat muridnya itu mengerjakan soal pemberiannya, tapi sepertinya percuma.

"Kalau kaka pergi, berarti aku ngga punya siapa-siapa lagi ya? Aku cuma barang hidup yang di taruh di pojok ruangan."

Hyungjun meremas origami pesawat kertas sampai menjadi bulatan kertas sampah kemudian melemparnya ke pojok ruangan. Menempelkan pipinya di permukaan meja belajar dan memejamkan mata putus asa.

Jika sudah begini, mana bisa Kim Wooseok tega meninggalkannya?

Meskipun muridnya itu hobi membangkang, tapi Hyungjun hanyalah anak yang kebebasan dan masa remajanya di rampas. Dia di isolasi di rumah mewahnya sendiri. Bahkan untuk sekolahpun, ayahnya lebih memilih mencari mahasiswa cerdas untuk menjadi guru private anaknya sendiri.

Hyungjun adalah satu dari sekian banyak orang yang tak tahu apa itu sekolah, bagaimana bentuknya, dan apa yang orang lakuka di sekolah.

Wooseok menaruh tas punggungnya ke lantai, mendekati bocah berambut ikal itu, dan duduk di sebelahnya. "Hari ini papa kamu pulang jam berapa?"

"Paling setelah jam makan malam." Hyungjun masih memejamkan mata putus asa.

Wooseok melirik jam tangan yang dia pakai. Jarum pendek berada di tengah angka lima dan enam. "Mau ikut saya ke Lotte Mart? Di sana ada makanan yang namanya Pepero. Yang pernah saya kasih ke kamu minggu lalu. Ingat?"

Hyungjun langsung membulatkan mata semangat. "Ngga bohong lagi?"

"Ngga. Tapi tugasnya kerjain dulu sekarang."

Spontan Hyungjun berjengit dan memeluk Wooseok erat sampai yang di peluk kehilangan keseimbangan dan terdorong ke belakang. Menghasilkan suara benturan pelan antara punggungnya dan lantai, dengan Hyungjun di atasnya.

"Aku sayang kaka." Hyungjun mencium singkat bibir Wooseok sebelum kembali memeluknya erat. "I love you."

Wooseok tertawa lucu. Muridnya itu sulit menghafal rumus fisika tapi pintar menyatakan perasaan. Tentu saja itu lucu. Hyungjun hanya asal bicara karena dia belum tau dunia luar, belum pernah punya teman, dan belum pernah merasakan jatuh cinta. Baginya, Wooseok adalah orang luar pertama dan satu-satunya yang dekat dengannya. Tak ada yang lain.

Jadi, dia harus menyayangi siapa lagi kalau bukan Wooseok? Kucing peliharaannya?

Hyungjun bahkan tidak punya.







•••







"Garis putih itu adalah batas pemisah antara pejalan kaki dan mobil-mobil yang melintas. Masing-masing dari keduanya tidak boleh melewati garis atau nanti ada yang terluka."

Wooseok menjelaskan kegunaan garis pembatas saat mereka berjalan di trotoar. Hyungjun masih tersenyum kepadanya dan mengangguk-angguk, entah mengerti atau tidak, Wooseok tak tau. Tangan kiri si kecil memeluk sekotak Pepero yang baru saja Wooseok belikan di Lotte Mart, sementara tangan kanannya Wooseok genggam erat.

Hyungjun itu seperti tidak bisa berjalan lurus. Setiap mendengar suara kendaraan yang cukup keras, kakinya melangkah asal.

"Mau saya gendong?" Wooseok menawarkan. Meskipun jarak rumah Hyungjun dengan Lotte Mart cukup dekat, tapi jujur Wooseok menyesal tidak bawa motor. Hyungjun itu seperti panik saat ada mobil melintas, seolah akan menabraknya.

Hyungjun mengangguk sebelum kemudian Wooseok merendahkan tubuhnya membelakangi si kecil. Membiarkan Hyungjun memberikan beban tubuhnya pada punggung Wooseok dan berdiri saat si kecil melingkarkan tangannya di leher. Sedikit kesulitan karena kotak besar pepero yang lebarnya melebihi lebar tubuh si kecil, ujungnya tetap berhasil juga.

"Di jalan berisik ya, kak? Di sekolah berisik juga?"

"Kadang lebih berisik dari jalan raya, kadang juga lebih sepi dari kamar kamu."

"Kok bisa gitu, kak?" Hyungjun bertanya bingung.

Wooseok tersenyum melihat bayangan tubuhnya bersama si kecil karena matahari ada di barat dan nyaris tenggelam. "Di sekolah, ada waktu belajar. Itu kaya kalau saya nyuruh kamu kerjain soal atau saya ngasih tau materi baru. Saat itu sekolah bakal sepi kaya kamar kamu. Terus ada waktu istirahat. Sekolah akan berisik kaya jalan raya."

Hyungjun diam dan tidak menjawab. Terlalu sibuk berfikir tentang apa yang Wooseok katakan tentang sekolah. "Apa kalau istirahat banyak mobil masuk sekolah? Jadinya berisik kaya di jalan. Gitu ya?"

Lagi-lagi Wooseok tertawa. "Apa papa kamu ngga marah kalau kamu beli pepero sekotak besar itu?"

Hyungjun mengeratkan pelukannya di sekeliling leher Wooseok. "Ngga kok. Aku kalau minta papa beliin makan, dia beli banyak banget. Terus ngomong kalau aku harus dengerin kaka Wooseok dan ngga boleh nakal, ngga boleh keluar rumah juga."

Yang lebih tua mengangguk mengerti.

"Tapi kan kak, kadang aku pengin makan bareng sama papa. Soalnya kalau pas laper terus makan sendiri. Tiba-tiba kenyang padahal belum makan. Ajaib kan? Kaka pasti ngga percaya."

Senyum di bibir Wooseok hilang seketika. Hyungjun kecil sudah sering merasa kenyang saat lapar hanya karena dia kesepian. Sebegitu tak adil kah nasibnya? Sebenarnya meskipun Wooseok adalah mahasiswa cerdas yang mengajar materi fisika dasar pada si kecil karena uang, Wooseok yang banyak belajar karena Hyungjun. Tak selamanya mempunyai banyak harta bisa menjamin kebahagiaan. Dan tak selamanya hidup di dunia hanya tentang uang.

Harusnya semua orang sadar.

Dari belakang, Hyungjun menempelkan pipinya dengan pipi Wooseok. "Nanti peperonya di makan bareng ya, kak?"

Wooseok menoleh ke samping untuk mengecup singkat pipi chubby muridnya itu. "Janji dulu mau ngerjain soal lagi dan dengerin saya jelasin materi."

"Oke."







•••





To be continued
BIG SORRY udah main publish unpublish kemarin

note; berharap ada yang bilang 'gws'
:)

EINSERZ | CatLemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang