13 Dreizehn

546 104 15
                                    

Test... Ada yang masih nungguin ini update?










•••










Terlalu banyak darah yang keluar dari puluhan luka tusuk di rongga perut. Beberapa organ dalam rusak parah dan bocor. Suplay oksigen dalam otak terhenti. Meskipun sempat di operasi selama dua jam, nyawanya tak bisa di selamatkan.

Mata bening Hyungjun memandangi tubuh pucat ayahnya. Kain putih menutupi bagian dada sampai bawah kaki. Hanya bagian kepala yang terlihat. Tenang, terlalu tenang diantara kepucatan kapur.

Tak ada lagi hembusan nafas yang akan membuat dadanya kembang-kempis. Tak ada lagi sorot mata lelah yang selalu terlihat penuh masalah. Tak ada lagi aliran darah di kulit pipi yang bisa membuat warnanya merah muda. Hyungjun cukup mengerti artinya.

"Hari ini kaka Wooseok ngajak aku ke kampus lagi."

Si kecil tersenyum teduh.

"Papa mau denger aku cerita?"

Mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan-pelan.

"Apa Papa ngga mau bangun?"

Hyungjun tidak tau bagaimana cara mengatasi gemuruh di dadanya. Dia tidak tau mau bagaimana saat ini. Dia bingung. Terlalu bingung untuk bisa fokus dan menyadari beberapa perawat mendorong ranjang ayahnya untuk dipindahkan ke kamar mayat.

Satu kebohongan yang dia percaya; ayahnya kecelakaan di jalan pulang dari kantor. Mobilnya rusak dan ayah di dalam terluka. Hyungjun itu sederhana, dia percaya.

Dia akan rindu suara ayahnya, dia akan merindukan ayahnya untuk waktu yang lama.

"Hyungjun."

Seseorang memanggil dari belakang. Seseorang yang selalu membuatnya merasa dimiliki dan disayangi. Yang selalu ada untuk membuatnya baik-baik saja. Dan yang selalu menjadi pelindung tampan tersayangnya.

"Hyungjun, kemari sayang."

Seseorang itu memanggil lagi.

Hyungjun mengambil langkah mendekat, mengumpulkan sisa energi yang sempat menguap percuma beberapa detik lalu hanya untuk bisa berjalan. Langkahnya gontai, terhenti di depan seseorang yang langsung meraih tangannya semakin dekat. Menuntun belakang kepalanya agar tenggelam dalam dada bidangnya. Juga memberikan tempat baginya untuk pulang.

"Kamu masih punya saya."







•••







Mobil berhenti di halaman depan rumah mewah lantai dua yang selalu sepi dan sunyi. Wooseok menatap murung tetes hujan yang turun setelah matahari terbenam di ufuk barat. Hujan datang di saat yang tepat karena Hyungjun belum menangis hari ini.

Itu yang Wooseok khawatirkan.

Anak itu belum mengeluarkan emosinyaㅡ atau mungkin dia tidak bisa berekspresi dan mengatakan apa yang dia rasakan. Juga apa yang ingin dia katakan. Dari awal cara didiknya salah. Cara yang mengajarkan bahwa anak baik adalah anak yang diam dan bisa di kendalikan. Itu membuat Hyungjun bungkam saat dia ingin menceritakan masalahnya, juga membuatnya diam saat ingin menangis dan berteriak. Dia terbiasa tenggelam dalam kelamnya aturan yang membatasi kebebasan.

Hyungjun hanyalah anak lemah yang mudah hancur seperti pecahan kaca. Wooseok bersyukur bisa melihat kerapuhan kentara dibalik wajah sederhananya.

Tangan itu terulur, membenarkan posisi kepala Hyungjun yang miring ke sisi pintu saat bocah itu tertidur pulas di jok mobil. Bibirnya sedikit terbuka saat kulit pipinya merona karena dinginnya udara malam.

EINSERZ | CatLemWhere stories live. Discover now