3 Drei

740 127 20
                                    

"Kaka uwu sayang, aku lagi tanya ini~ ponselnya di taruh dulu gih."

"Tanya apa?"

"Kapan aku mau di ajak ke sekolah?"

Selalu sama. Pertanyaan sama dan yang bertanya sama. Wooseok tak tahu akan memberi jawaban yang sama selama lima bulan terakhir ini atau berbeda untuk kali ini.

"Jangan bohong lagi. Nanti angkanya tambah banyak."

Si kecil tersenyum pahit melihat buku catatan khusus yang dia buat sendiri untuk mencatat alasan Wooseok saat enggan menolak ajakannya.

Yang lebih tua mematikan smartphonenya kemudian menyentuh lembut surai ikal Hyungjun. Menepuk pucuk kepala si kecil beberapa kali dengan ekspresi yang tidak terbaca. "Sekarang angkanya ngga akan tambah lagi. Nanti saya minta ijin papa kamu buat ngajak kamu ke kampus."

Sekarang yang bisa Hyungjun lakukan hanya berharap apa yang dia dengar bukan kebohongan Wooseok lagi. Bukan alasan agar dia mau mendengarkan dan mengerjakan soal lagi. Bukan harapan yang semu di lima bulan terakhir ini.

Mungkin sebelumnya kebohongan sederhana itu terlihat sepele bagi Wooseok dan semua orang. Tapi tidak bagi si kecil.

Dari awal alasannya ingin melihat sekolah adalah karena Wooseok. Seseorang yang selalu pergi ke sekolah tapi juga mengajarinya fisika dasar. Waktu berhasil membuatnya sadar bahwa mayoritas anak pergi ke sekolah untuk belajar.

Dan dia juga ingin menjadi bagian dari mayoritas, bukan yang minoritas.

"Kok ngga seneng?"

"Takutnya kaka bohong lagi, hehe."

Wooseok melebarkan mata tak percaya. Sebegitu sering kah dirinya berbohong tentang hal ini pada Hyungjun sampai-sampai si kecil sulit percaya kali ini?

"Gini aja. Saya pulangnya tunggu papa kamu pulang, nanti biar langsung minta ijin malam ini."

"Bohong?"

Yang lebih tua menghembuskan nafas kasar, tak tahu lagi apa yang mau di bicarakan. Kadang memang untuk di percaya perlu sedikit usaha.

Tapi Wooseok terlalu sibuk untuk berusaha meyakinkan si kecil bahwa kali ini dia tak bohong. Sebelumnya dia bermain dengan smartphone, membujuk Lee Hangyul untuk ikut pertemuan besok. Dan sekarang waktunya berkutat dengan data riset yang menjadi bagiannya untuk presentasi kelompok sekaligus individu tiga hari lagi.

Hyungjun menatap kesal saat Wooseok malah duduk bersila dengan kacamata baca yang menggantung di hidung bangirnya serta lembaran kertas di kedua tangannya.

Tanpa di duga si kecil merebut paksa lembaran kertas dari kedua tangan Wooseok, menjauhkannya sejauh mungkin ke belakang, lalu mendekat lagi untuk duduk di pangkuan yang lebih tua. "Kaka ini harusnya bilang 'Hyungjun sayang, kaka Wooseok ngga bohong kok' gitu ih!"

Si kecil melepas kacamata baca yang Wooseok kenakan untuk dia pakai sendiri. Lalu memamerkan ekspresi kesal dengan mengerutkan dahi dan menatap tajam.

"Hyungjun sayang?"

Wooseok terkekeh geli mendengar ujaran asal si kecil. Tangan panjangnya melingkar di sekeliling pinggang anak yang duduk di pangkuannya itu. "Kenapa saya harus manggil 'Hyungjun sayang' ke kamu?"

Dengan senyum tanpa dosa dan tangan yang sibuk memperbaiki kacamata baca kebesaran milik Wooseok yang dia pakai, Hyungjun berseru semangat. "Karena aku sayang kaka, jadi kaka harus sayang aku juga. Kalau ngga gitu berarti kaka jahat."

Yang lebih tua tak bisa menahan tawa lagi. Analisis tentang definisi jahat yang begitu manis. "Yaudah nih saya mau bilang ya?"

"Aha."

"Hyungjun sayang~ Mau duduk sendiri ngga? Tugas kamu 'kan belum selesai? Berat, lho, kalau di pangku gini. Nanti saya ijinin ke papa kamu, terus bawa kamu ke kampus. Makannya sekarang nurut, oke sayang?"

Tidak sesuai dugaan, Hyungjun malah tersenyum malu-malu karena Wooseok bicara sambil memiringkan kepala, seperti gaya bicaranya beberapa kali. "Aha. Tapi minta cium dulu ya?"

Tanpa pikir panjang Wooseok mendekatkan wajahnya hingga kedua belah bibir mereka bertemu.

Yang Hyungjun maksudㅡ dan yang dia tauㅡ ciuman itu hanya sebatas kecupan ringan di bibir atau permukaan kulit orang lain. Seperti ketika papanya mencium di dahi atau pucuk kepalanya.

Wooseok malah kelepasan. Bibir Hyungjun begitu manis dan terasa dingin. Dia melumatnya beberapa kali dan menghisap pelan sebelum mengakhirinya dan menatap si kecil dengan ekspresi yang sulit di artikan.

Seketika pipi Hyungjun memerah. "Itㅡ itu apa?"

"Kissing."












•••













"Si anjing minta di tendang beneran ternyata."

Kim Yohan membereskan tumpukan buku di meja perpustakaan dan mengembalikannya di rak yang sesuai. Atensinya masih belum beralih dari layar smartphone yang memperlihatkan pesan singkat dari Lee Hangyul.

[Males ah ngumpul di perpustakaan pagi-pagi]

Temannya satu itu sungguh membuat mood kacau pagi-pagi. Yohan tau betul Hangyul itu tipe mahasiswa yang tak mau ambil pusing dengan materi atau tugas. Yang menjadi masalah di sini adalah karena tugas kali ini bukan tugas individu. Jika satu mengacau maka satu tim yang dapat imbasnya.

Cowok bermarga Kim itu berjalan ke gedung fakultas seni. Tempat dimana Hangyul biasa nongkrong di studio musik untuk menghabiskan waktu luangnya. Yohan mengambil rute tercepat dengan melewati belakang gedung fakultasnya.

Namun langkah panjangnya terhenti.

Di sana. Sekitar sepuluh meter dekatnya dari tempatnya berdiri. Seseorang berdiri dan menyeringai melihat kedatangannya. Seseorang mengedikkan bahu melihat ekspresinya yang berubah seketika.

Seseorang itu. Kim Wooseok.

Dengan senyum kurang ajar di sudut bibir. Dengan nafas yang tak terkontrol. Dan dengan tas punggung yang tergeletak begitu saja di tanah.

"What the hell you doing?!" Satu kalimat yang berhasil Yohan ucapkan.

Lagi-lagi sudut bibir Wooseok terangkat. "Lo pikir gue bohong pas bilang mau ngurus Hangyul?"

Kaki panjangnya menendang keras. Mengenai bagian perut seseorang yang sudah terbaring tak berdaya di tanah.

Lee Hangyul.

" 'tendang aja kalau besok ngga datang' gue bilang gitu 'kan, kemarin?"

Wooseok tersenyum, mengangkat kaki kanannya yang sebelumnya menjejak di atas perut Hangyul dan meninggalkan noda jejak sepatu di pakaiannya. Sementara Hangyul hanya bisa menggeram tertahan dengan mata terpejam.

"Sorry, man! Gue ngga suka bohong."

Ya.

Wooseok hanyalah seseorang yang harus selalu bekerja keras dalam hidup. Dia benci melihat orang yang sudah di beri jalan mudah tapi tidak sadar diri.

Dia mendecih sekali lagi. "Tendang ya tendang."










•••










To be continued

Yang mikir karakter Wooseok di sini itu ganteng tiada celah, soft, baik, perfect, etc... Kalian belum mengenalku:)

Maaf, tapi aku suka dark genre. Stop baca jika kalian tak suka kekerasan.

See y'darlings

EINSERZ | CatLemWhere stories live. Discover now