7 Sieben

645 111 32
                                    

Sepertinya hari ini Wooseok terlalu sering bersama Hyungjun. Dari jam 9 pagi berangkat ke kampus sampai 7 malam pulang dari kampus. Belum lagi jam mengajarnya setiap malam.

Cowok bermarga Kim itu menghela nafas lelah. Mengamati lemari etalase di depan ruang belajar rumah Hyungjun yang di penuhi squishy berbagai bentuk dan ukuran. Jangan lupakan bau manis yang menguar kemana-mana.

Terlalu manis, sampai-sampai Wooseok ingin muntah. Sebuah pengecualian besar untuk si kecil. Kemanisan sifat Hyungjun membuat Wooseok ingin jadi ghoul saja supaya bisa memakannya.

Terlepas dari makan, sang koki Wang Jyunhao sedang menjadi pendengar yang baik ngomong-ngomong. Hyungjun bercerita panjang lebar tentang pengalamannya ke kampus hari ini. Yang membuat Wooseok nyengir kuda adalah karena si kecil juga menceritakan bagian tidak menyenangkan di gedung belakang.

Si koki tersenyum penuh selidik ke arah Wooseok yang sedang pura-pura membuat soal fisika, memberi tanda bahwa cowok itu harus bersyukur Hyungjun mengatakan hal itu padanyaㅡ bukan pada papanya.

Hyungjun kembali cerewet memamerkan pengalaman pertamanya ke kampus. Semuanya di katakan, juga bagian dimana dirinya minta gendong dan cium saat terbangun di ruang pertemuan. Jujur Wooseok yang malu, sepertinya Hyungjun tidak punya malu.

"Aku jadi mahasiswa kampus empat tahun."

Pernyataan Jyunhao membuat si kecil berhenti bercerita. Wajah berseri itu berubah jadi datar, kusut, dan kesal. Entah kenapa Hyungjun ingin mencakar wajah koki rumahnya itu yang malah ikut pamer sudah jadi mantan mahasiswa yang hidup di kampus empat tahun lamanya terlepas dari Hyungjun yang baru sehari pergi ke kampusㅡ juga bukan sebagai mahasiswa.

"Kak Hao kok nyebelin sih? Mau ku pukul?"

Si koki berhenti memotong paprika dan tertawa keras. "Udah kamu belajar aja sana sama kaka Wooseok. Kalau cerita terus kaka Hao ngga bisa masak nanti. Katanya lapar."

Masih dengan wajah merah padam karena marah, Hyungjun menghentakkan kaki keras-keras dan pergi meninggalkan Hao dan dapurnya.

"Kaka Wooseok kalo mau mukul orang, pukul kaka Hao aja, dia jahat nyebelin."

Sang koki berdehem keras-keras saat Hyungjun mengadu pada Wooseok. Sementara yang dari awal hanya menyimak sekarang juga ikut tersenyum. Dari awal Wooseok menjadi guru private di sini, hubungan Hyungjun dengan koki rumahnya lebih mirip kucing dan tikus.

Mungkin sekarang yang paling di sayang Hyungjun adalah Wooseok. Tapi sebelum itu, Hyungjun hanya memiliki Jyunhao di hidupnya. Sang koki yang secara tak sengaja sudah menjadi orang tua dengan perannya. Bukan ayahnya yang hanya sibuk bekerja.

Hyungjun memeluk Wooseok dari belakang. Melingkarkan lengan tangannya di leher yang lebih tua sebelum berbisik pelan. "Sstt... Jangan pukul kaka Hao, aku tadi bohongan hehe..."

"Iya iya, saya tau." Wooseok ikut berbisik. "Sekarang belajar ayuk."

Hyungjun setuju, memberikan satu kecupan singkat di sudut bibir Wooseok sebelum melepas pelukannya dan beralih duduk bersila di sebelahnya.

Suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah membuat Hyungjun berjengit semangat. Papanya pulang dan dia tidak sabar ingin bercerita tentang pengalamannya. Benar saja, beberapa detik setelahnya suara berat khas papanya menggema di dinding rumah. Memanggil nama Jyunhao dan menghampiri Hyungjun di ruang belajar.

"Hyungjun, kemari."

Si kecil mendekat ke arah pria yang tengah berjongkok di depan pintu.

"Hyungjun sayang, ikut papa liburan ya?"

Si kecil mengerutkan dahi bingung. "Sekarang? Liburan kemana? Aku kan lagi belajar sama kaka Wooseok. Oiya tadi di kampus..."

"Iya sekarang, ke Jerman. Belajarnya libur dulu kan bisa."

Sontak Wooseok melotot kaget begitu juga dengan Hyungjun. Jerman itu terdengar jauh dari rumah, meskipun si kecil tidak tahu dimana, tapi rasanya aneh saja. Papanya tidak pernah mengajak liburan, dan sekarang tiba-tiba ke Jerman.

"Jerman itu dimana? Aku ngga bisa bahasa Jerman." Si kecil menunduk bingung.

Pria paruh baya itu mengusak surai hitam anaknya. "Kita bisa pakai bahasa inggris, kamu kan pinter bahasa inggris."

"I'm not sure, dad. Maybe I don't need to holiday?"

"Don't worry, baby. Just listen to me and you will be a good boy." Pria itu berdiri saat Jyunhao datang.

"Hao, dengar. Nanti ada orang ke sini. Kalau mereka tanya tentang saya, jawab saja seadanya. Tapi jika tanya tentang Hyungjun. Tolong jangan katakan apapun. Jika situasinya tidak tepat dan kamu harus mengatakan sesuatu, cari alasan lain."

Hao membulatkan mata, terlalu terkejut untuk menjawab.

Pria paruh baya itu melirik Wooseok dengan ekspresi yang sulit di artikan. Netra hitam kelam di balik kacamata itu kembali menatap Jyunhao.

"Tolong kemasi beberapa baju Hyungjun ke koper."

"Untuk berapa hari? Apa perlu dua koper?"

"Saya rasa satu koper cukup. Kemasi baju untuk tiga hari pakai. Tolong cepat sedikit."

"Papa tiga hari itu lama kan?"

Pertanyaan Hyungjun hanya dibalas senyum teduh ayahnya. "Ayo ikut. Papa bantu ganti baju, kaka Hao siapin barang kamu."

Wooseok yang masih terkejut hanya bisa memandang heran anak ayah yang meninggalkan ruang belajar. Begitu juga dengan Jyunhao yang berlari ke kamar Hyungjun untuk mengemasi barangnya.

Ada yang tidak benar disini. Mungkin pergi ke luar kota atau luar negeri sudah menjadi hal biasa bagi pengusaha kaya seperti ayah Hyungjun. Tapi tidak untuk Hyungjun. Tipe bocah yang bahkan untuk keluar rumah saja tidak di ijinkan. Yang bahkan pergi ke kampus saja harus penuh dengan perjuangan dapat ijin. Sekarang tiba-tiba di ajak pergi ke Jerman tiga hari.

Dengan alasan liburanㅡ yang terlihat sedikit memaksakan.

Belum lagi pesan pria paruh baya itu pada koki rumahnya. Seolah akan ada tamu yang datang untuk mencari Hyungjun dan Hao harus berbohong.

Tidak butuh waktu lama bagi Hao untuk keluar kamar Hyungjun dengan koper hitam besar yang di tariknya. Begitu juga dengan si kecil yang sudah ganti baju dan pakai sepatu.

"Hao, jangan lupa pesan saya. Jika ada tamu datang, tolong segera hubungi saya ya?"

Jyunhao hanya mengangguk dan menyerahkan koper besar berisi beberapa baju Hyungjun ke tangan si pria berkacamata.

"Terimakasih." Tangan panjang itu menepuk sekali punggung Hao, memberikan anggukan dengan senyum teduh pada Wooseok, dan berjalan keluar rumah untuk memasukkan koper ke bagasi mobil.

Sementara Hyungjun, anak itu sudah hampir menangis sekarang. Mengedip beberapa kali untuk menahan air mata agar tidak jatuh, Hyungjun berjalan mendekati Wooseok. Memeluknya erat seolah akan pergi untuk waktu yang lama.

Wooseok tertegun. Hyungjun jelas tidak mau pergi, tapi anak itu bahkan tidak mengatakan apa yang dia ingin katakan. Anak itu tidak menolak, dan hanya bertanya. Anak itu, Hyungjun. Dia tidak baik-baik saja.

Wooseok melepas pelukan si kecil untuk bisa menatap netra hitamnya sebelum memberikan sebuah ciuman lembut di bibir. "Sayang, ngga papa. Cuman tiga hari."





•••

To Be Continued

Ps: fyi darls, outline di setiap partnya udah selesai (I'm late) tidak sampai chapter 20 untuk ending. Jadi sayang... bisakah kalian tetap bersamaku sampai ini selesai?

EINSERZ | CatLemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang