15 Fünfzehn

588 104 36
                                    

11pm! Yeay! Triple today! C'mon kiss me~









•••










Mungkin Wooseok sudah gila.

Lima menit di pagi hari yang dia habiskan untuk mengupas apel dan memotongnya menjadi dadu-dadu dengan niat memberikannya pada Hyungjun jadi percuma karena Minhee menghabiskannya diam-diam tanpa kenal rasa tidak enak atau setidaknya takut.

Bodoh, memangnya anak bertatto itu punya nyawa berapa banyak?

Harusnya Wooseok marah, atau setidaknya menusuk dan merobek kerongkongan Minhee dengan pisau buah, atau mungkin menyuruh Minhee mengupas beberapa apel sebagai gantinya.

Namun hanya dengan melihat tingkah Hyungjun menenggelamkan diri dibawah selimut dan menolak menjawab saat ditanya membuatnya terpaku. Alasan sepele, Hyungjun masih marah karena tidak dibolehkan hujan-hujanan semalam.

Minhee saja kaget berat mengetahui fakta bahwa bocah berambut ikal itu belum pernah hujan-hujanan. Dia pikir semua manusia yang hidup di bumi bulat ini pernah hujan-hujanan saat kecil, atau sekedar berjalan sambil pegang gagang payung, atau berlari dengan tudung jaket menerobos hujan.

Hyungjun sungguh perpaduan antara abnormal dan irasional.

Minhee jadi menyukainya.

Dan mungkin jika Wooseok tau, dia bakal dicincang sampai tulang dan jeroan.

"Kasih Ice cream aja udah, ngga usah depresi kek gitu, anjing."

Wooseok melirik sinis saat Minhee memberi saran tidak berguna. Ayolah, Wooseok itu cerdas. Memberi ice cream sudah masuk daftar 'gagal' yang tidak berhasil membuat si kecil berhenti marah.

"Lo ngapain kesini ngomong-ngomong? Cabut aja sana, lagi ngga kepake."

"Lo anggep gue pakean ya?" Minhee tersenyum manis siap meledak marah, "Gini-gini gue itu manusia—emang gantengnya ngga manusiawi, tapi gue itu manusia."

Wooseok pura-pura tidak dengar.

"Gimana kalo gue berhenti ganggu lo asal lo bikin gue merdeka?"

"Status budak itu mutlak."

"Yaudah kesempatan deh. Kasih gue kesempatan buat merdeka."

Wooseok tersenyum sinis—sedikit terlihat seperti senyum meremehkan. "Kesempatan sekali. Kalahin gue di arena."

"OH SHIT!" Minhee bersorak heboh—entah itu senang atau susah, sulit dibedakan, mungkin kombinasi dari keduanya.

"Ngomong-ngomong gue kesini buat ngampus bareng lo." Kembali ke tujuan awal Minhee datang.

Lagi, Wooseok melirik gundukan selimut tempat Hyungjun bersembunyi, "Gue harus ambil kelas malem kayaknya, berangkat sendiri aja sana."

"Lah ngga bisa, nanti nyasar terus gue dibawa penculik."

"Konyol. Ngga ada yang mau nyulik lo. Lagian anak pinggir jalan kaya lo ngga bakal nyasar. Ada Maps sama GPS."

"Halah anjing."

"Kalo niatnya ganggu gue, jujur aja. Nanti sekalian gue kasih bogem mentah."

"Ngga usah ngancem sat! Bolos aja gue mah."

Jujur, Minhee benar-benar ingin mencakar pemiliknya sesekali. Jika saja dia punya banyak nyawa, pasti sudah dicoba.

Wooseok lebih memilih menghampiri Hyungjun daripada harus melanjutkan perdebatan mubazir bersama seonggok budak. Duduk di ujung sofa—tempat si kecil mengubur diri dibawah selimut tebal—cowok itu menyibak benda penutup dan membuat wajah mungil itu terlihat.

EINSERZ | CatLemWhere stories live. Discover now