18 Achtzehn

808 100 36
                                    

Pagi yang dingin dan ciuman hangat seseorang adalah sesuatu yang membangunkan Hyungjun dari tidur nyamannya. Kedua kelopak mata itu terbuka, mendapati wajah tampan Wooseok ada diatasnya, tersenyum hangat dan memberikan banyak kecupan yang tak kalah hangat.

"Tidur lagi, sayang. Masih pagi."

Bisikan itu seperti wangi peppermint; sejuk dan menenangkan. Wooseok masih menciumi pipinya berkali-kali. Apa cowok itu pikir Hyungjun bisa tidur lagi jika dia tidak berhenti?

"Jam berapa?"

Hyungjun mengerjap linglung khas bangun tidur. Memandangi wajah Wooseok dan membiarkan cowok itu menciuminya sebanyak yang dia mau.

"Setengah enam."

Masih pagi. Terlalu pagi untuk menyadari bahwa mereka masih ada di apartemen Minhee. Yang Hyungjun ingat, kemarin bukan hari yang tepat untuk pindahan. Hari yang sibuk sampai Wooseok membentaknya di kampus pagi hari dan baru muncul tengah malam dengan banyak luka di wajah.

Hyungjun sudah memaafkannya. Lagipula dia memang tidak bisa marah pada Wooseok terlalu lama. Tangannya terulur untuk memeluk erat leher cowok yang masih menciumi bawah rahangnya berkali-kali. Menenggelamkan wajah tampan itu kedalam lekuk lehernya.

"Kaka, aku lapar."

Wooseok kehilangan konsentrasi selama beberapa detik. Menjatuhkan tubuhnya disamping Hyungjun tidur dan menghentikan cumbuannya. "Kenapa?"

"Mau makan."

Hyungjun ganti mengusap perutnya yang berbunyi minta diisi. Sebenarnya dari kemarin dia tidak makan siang ataupun makan malam. Semuanya terlalu sibuk dengan urusannya sendiri sampai Hyungjun tidak dapat perhatian.

Jyunhao atau Wooseok pasti bakal menyesal jika diberitahu.

"Yaudah yuk, kita hancurin dapur kaka Minhee."

Wooseok melompat turun semangat. Mengulurkan kedua tangan menyambut Hyungjun yang masih tiduran dengan gestur seperti sang ibu yang hendak mengangkat anaknya yang berbaring untuk digendong.

Hyungjun mendudukkan diri bersandar di kepala ranjang. Bingung melihat tangan Wooseok yang bersiap mengangkatnya.

Cowok itu tersenyum gemas. "Em... Kaka pikir kamu butuh bantuan buat jalan?"

Si kecil berkedip-kedip bingung beberapa kali. Otaknya fokus memikirkan tentang apa yang tubuhnya rasakan sampai membuat Wooseok menawarkan bantuan.

Dia ingat. Sesuatu yang mereka lakukan semalam. Juga rasa nyerinya sekarang.

Hyungjun meringis. "Hehe... Sakit. Tapi mau lagi."

"APA?!"

"Yang itu... Tadi malam. Mau lagi kakaaa~"

Wooseok tidak dengar. Wooseok tidak dengar. Ayolah, ini masih pagi. Bahkan Minhee masih bermimpi. Apa-apaan Hyungjun membuat Wooseok ingin berteriak panik dan melompat-lompat seperti orang gila.

Hal pertama yang Wooseok lakukan, mendongakkan kepala ke atas. Mencegah darah keluar dari hidung karena mungkin saja dia akan mimisan saat ini.

"Itㅡitu... Kita kan mau makan?"

"Oiya aku laper."

Hyungjun mengulurkan tangannya. Membiarkan Wooseok menelusupkan kedua tangan di antara lengan tangan Hyungjun dan mengangkat tubuh kecil itu dalam gendongannya.

Mereka berjalan ke arah dapur. Dengan hati-hati Wooseok menurunkan tubuh Hyungjun untuk duduk di kursi. Sudut matanya melirik paperbag yang tergeletak di atas meja makanㅡdengan dua sticky note yang menempel dipermukaannya.

EINSERZ | CatLemWhere stories live. Discover now