2 Zwei

815 124 9
                                    

"Tiga hari lagi presentasi."

Menjadi mahasiswa yang membiayai segala kebutuhannya sendiri bukan hal mudah bagi cowok berusia 19 tahun itu. Wooseok harus pintar-pintar membagi jadwal belajar dengan pekerjaan sampingannya.

Biasanya Wooseok mengambil part time dengan menjadi bartender atau waiters di tempat-tempat tertentu. Jika kalian pikir dia tidak bercelah, kalian salah.

Wooseok juga sering turun ke arena, bahkan dari saat dia masih ada di bangku sekolah menengah pertama. Mencari sirkuit ilegal dan menerima konsekuensinya (beberapa tempat sedikit sensitif dengan pendatang) kemudian ikut balapan. Itu siklusnya. Masalah menang atau kalah, sepertinya Dewi Fortuna menyukainya.

Tak heran motornya YZF-R1 hasil dari menabung dan sisa uang makan serta biaya kuliah. Tujuannya hanya agar bisa di gunakan untuk transportasi dan ikut balap ilegal.

Namun segalanya seolah berhenti lima bulan lalu, saat dia di pertemukan dengan pengusaha berumur kepala tiga karena ulah Dewi Fortuna. Seperti mimpi bagi Wooseok saat dia di tawari menjadi mentor fisika dasar untuk putra si pengusaha dengan gaji melebihi menang taruhan di sirkuit ilegal.

Bukan berarti dia menjadi remaja yang hidup tanpa masalah. Wooseok adalah tipe mahasiswa cerdas yang sering stress karena tugas.

"Mana bisa, bro! Ini tugas Menejemen Bisnis. Management itu Communication. Komunikasi itu yang utama. Awas lo ngga ikut ngumpul besok, gue pites lo anjing!"

Kim Yohan marah-marah di telfon karena salah satu rekan tim merekaㅡ Lee Hangyulㅡ tak bisa ikut pertemuan.

"Hey, calm down, man. Besok gue yang urus Hangyul." Wooseok menepuk pundak Yohan. "Dia tau kalo gue atlet Judo, pasti nurut."

"Dia juga tau kalo gue atlet Taekwondo, tapi ngga nurut, tuh?"

Wooseok tertawa mendengarnya. "Kita tendang aja kalo besok ngga dateng." Dia merapikan beberapa buku dan kertas di meja dan memasukkannya ke tas punggung. "Gue duluan."










•••











Sebenarnya masalah Wooseok sekarang bukan hanya tentang stress karena tugas. Tapi juga karena anak berusia 16 tahun yang tak pernah tau apa itu sekolah.

Song Hyungjun bukanlah anak cupu yang tidak normal atau sebagainya. Dia bukan anak bodoh apalagi ingusan. Dia juga bukan anak yang gagap teknologi atau punya masalah psikis.

Dia hanya anak yang tidak punya kebebasan.

Dari kecil Hyungjun di beri segala pengetahuan terbaik lewat jalur khusus. Seperti di ajari membaca dan menulis oleh ahli bahasa, di ajari berhitung oleh profesor, dan di ajari menggambar oleh seniman.

Hanya saja tempatnya adalah di rumah.

Wooseok tidak tau kenapa figur sang ayah mengambil jalan seperti itu. Lagipula dia tidak memiliki hak untuk tau hal seperti itu.

'Tentang materi IPA, mungkin di usia sekarang dia membutuhkan teman. Fokusnya terganggu saat di ajari. Kau bisa mengajarinya dengan berteman dengannya. Cobalah.'

Wooseok masih ingat betul apa yang di katakan pengusaha itu lima bulan lalu. Lagipula apa yang harus di lakukan sudah melebihi apa yang di dapat.

Di samping sifat keras kepala Hyungjun, bagi Wooseok anak itu sedikit mempunyai masalah sosial. Wooseok berani bertaruh jika Hyungjun sulit berbaur dengan dunia luar. Mau jadi apa dia kelak jika hanya berjalan di trotoar saja harus di gendong karena takut tertabrak.

Diam-diam cowok dengan mata tajam itu tersenyum.

Hyungjun itu sederhana, sampai kadang membuat Wooseok mampir ke kedai cokelat hanya untuk membeli sepotong cake di jalan pulang dari kampus.

Tentu saja sebagai bahan taruhan yang akan dia berikan jika muridnya itu berhasil menjawab soal dengan benar. Sepertinya Kim Wooseok belajar banyak dari menjadi pembalap di sirkuit ilegal yang mengerti kata 'taruhan' lebih dari orang awam.

"Gotcha!"

Wooseok menangkapnya saat tubuh itu menghambur ke arahnya setelah pintu rumah terbuka.

"Uuuh... Ku kira hari ini kaka ngga datang."

"Saya ada pertemuan buat tugas kelompok tadi, jadi baru kesini jam enam sore." Wooseok mengusap surai cokelat Hyungjun sebelum si kecil menarik tangannya masuk.

"Kaka kaka, hari ini aku bantuin kak Hao bikin steik."

Hao adalah koki rumah Hyungjun, Wang Jyunhao. Satu-satunya orang yang tinggal di rumah selain si kecil dan ayahnya. Umurnya mungkin tak jauh beda dari Wooseok, namun dia adalah profesional chef sejak belia.

"Dia maksa bantu. Tapi pas ku minta ambilin lada hitam, yang di ambil bubuk kopi." Si koki berujar saat melewati keduanya dari arah dapur.

Hyungjun semakin kencang menarik tangan Wooseok ke ruang belajar. "Jangan di dengerin. Dia bohong. Wleee..."

Wooseok tertawa saat melihat Hyungjun menjulurkan lidah pada Hao dan di balas pelototan sang koki sambil mengacungkan garpu di tangannya.

"Nah jadi, hari ini kamu semangat belajar, ya?" Wooseok menaruh tas punggungnya asal dan duduk bersila di lantai ruang belajar.

Hyungjun ikut duduk bersila di depannya. "Engga kok, kan hari ini kita mau liat sekolah."

Wooseok berjengit kaget. "Siapa yang bilang?"

"Kaka bilang gitu kemarin."

Netra kelinci milik Hyungjun menatap seirus iris tajam Wooseok. Yang lebih tua semakin heran saat mengingat apa yang di katakan kemarin sore, sepertinya dia tidak janji mau pergi melihat sekolah hari ini. Tapi ekspresi wajah Hyungjun terlihat...

"Aaaa... Kamu lagi bohongin saya yaaa..."

"Enggaa! Kemarin kaka bilang gitu, kok." Lagi-lagi mereka saling melempar pandangan serius. Tidak lama, sebelum Hyungjun tersedak tiba-tiba dan tertawa.

Sial. Wooseok berhasil tertipu. "Padahal besok mau saya ajak kamu ke kampus, tapi sekarang malah bohong. Yaudah ngga jadi."

"EH JANGAAN NGGA JADIII!" Hyungjun berhenti terbahak dan panik. "Aaa kaka maafin aku~ janji ngga bohong lagi! Jadiin ya rencananya, ya ya~"

"Nggak mauu~" Wooseok meledek. Ayolah, dia bahkan tak punya niatan membawa si kecil ke kampus. Ini namanya 'membalas kebohongan'

"Yaudah kalau kaka ngga mau, aku cium nih!"

"Eh?"













•••






To be continued...

So... Mind to vomments?

EINSERZ | CatLemWhere stories live. Discover now