4 Vier

683 117 13
                                    

Double update, bilang apa sayang...?
Iya sama-sama.






•••







"Sebenarnya seseorang perlu berinteraksi dengan dunia luar. Mereka harus di ajari berbaur dan bersosialisasi. Saya tidak tahu kenapa anda mengambil jalan seperti itu pada Song Hyungjun. Yang saya tahu, seseorang kadang tidak baik-baik saja meskipun mereka baik-baik saja. Saya harap anda mengerti jika seseorang yang kebebasannya di batasi cenderung lebih apatis. Parahnya lagi seperti di jumpai gangguan mental Paranoid Personality Disorder atau Avoidant Personality Disorder. Tapi semua kembali lagi kepada anda, mau memberi ijin atau tidak."

Wooseok berani bertaruh jika barusan adalah ucapan terpanjangnya selama bertahun-tahun lamanya. Dia tak pernah berbicara panjang lebar pada orang lain, cenderung iritㅡ kecuali saat harus presentasi di sekolah.

Dan sekarang, demi bocah keras kepala, dia menjadi cerewet. Tersenyum ramah dan berharap seseorang di depannya memberi tanggapan positif.

Jari-jari kurus itu berhenti mengetik di atas keyboard laptop di depannya. Mata lelah di balik kacamata itu menatap Wooseok dengan ekspresi yang sulit di baca sebelum terdengar gelak tawa pelan si pria paruh baya. "Saya mengerti. Maksud kamu baik. Kadang juga orang melakukan hal-hal tidak benar hanya karena suatu alasan. Tolong di mengerti."

"Ya, saya tau anda sudah berpikir lebih jauh tentang ini. Tapi bisakah hanya untuk satu kali?"

Si pria berumur kepala tiga itu tersenyum, memperlihatkan guratan halus di ujung mata serta ujung bibirnya. "Hanya untuk satu kali."







•••







Hyungjun benar-benar tak bisa melepas pelukannya pada Wooseok saat pria bermarga Kim itu datang ke rumah di jam sembilan pagi untuk mengajaknya ke kampus. Seperti mimpi yang jadi kenyataan.

Hal kecil yang bisa membuat setitik air mata turun. Dengan bibir kucing yang tak henti-hentinya tersenyum, Hyungjun menyedot ingus kuat-kuat.

"Hey, kenapa nangis?"

Wooseok melepas pelukan si kecil untuk bisa melihat ekspresinya. Mengusap bekas air mata itu dengan ibu jari sambil meniup wajah berseri itu pelan. Membuat kedua mata kelinci Hyungjun mengedip lucu beberapa kali.

"Seneng."

Begitu sederhana.

Refleks Wooseok memberikan kecupan-kecupan ringan di seluruh permukaan wajah si kecil. "Udah makan belum?"

Hyungjun mengangguk.

"Yaudah sekarang berangkat."

Hyungjun mengangguk lagi. Wooseok menuntun tangan kecil itu berjalan keluar rumah. Ke arah motor sportnya terparkir.

"Kaka motornya tinggi banget? Aku ngga bisa naiknya." Si kecil menatap heran. "Pake mobil papa aja di garasi. Nanti aku yang bilang ke papa. Pasti boleh kok soalnya mobil yang warna merah itu punyaku."

Wooseok mengusak surai hitam Hyungjun. Menelusupkan kedua tangannya di ujung lengan si kecil. Mengangkat tubuh itu sampai terduduk di jok belakang motornya. "Bisa kan?"

"Takut."

"Ngga papa, ngga jatuh, kok. Janji. Nanti peluk pinggang saya aja."

Hyungjun mengangguk tak pasti, antara yakin tak yakin mau jatuh. Karena faktanya, dia belum pernah naik motor.







•••







Bukan pertama kalinya bagi Hyungjun melihat gedung tinggi serta melihat orang-orang berlalu-lalang. Namun tetap saja rasanya seperti pertama kali. Senyum di bibir kucing itu tak pernah berubah. Di sini hampir semua orang membawa tas, buku, atau laptop.

"Kaka kaka, aku bawa tas kaka ya? Sama pinjem kacamata bacanya hehe..."

Wooseok tersenyum dan mengangguk. Membantu Hyungjun memakai tas punggungnya serta kacamata baca yang sering dia pakai.

"Coba kita lihat, apa sekarang Hyungjun kecil ini mirip mahasiswa?" Tanyanya menggoda.

Si kecil terbahak keras sebelum mengangguk semangat.

Suara siulan dari belakang membuat Wooseok dan Hyungjun berbalik. Merasa terpanggil karena suaranya tak terlalu jauh. Dua cowok dengan gaya berpakaian casualㅡ yang satu pakai jeans sobek-sobek sementara satunya pakai topi untuk menutupi rambut pirangnyaㅡ menghampiri mereka dengan senyum miring di sudut bibir.

Han Seungwoo dan Cho Seungyoun. Senior sekaligus teman di sirkuit.

"Lama ngga datang ke sana?" Salah satunya berujar.

Wooseok yang sebelumnya berjongkok di depan Hyungjun spontan berdiri dan menggenggam tangan si kecil. "Iya bang. Tugas numpuk."

"Cari kutu buku di pojok. Beri hadiah terus minta bantuin kerjain tugas." Ujar salah satunya.

Wooseok mengangguk. Ucapan mereka penuh dengan makna tersirat yang sudah menjadi gaya bahasa anak seperti itu.

Yang bercelana sobek-sobek merogoh saku celananya. Menyodorkan sekotak rokok pada Wooseok. "Nanti malam turun. Ada double gift."

Wooseok mengambil satu batang rokok. "Lagi ada kerjaan, bang."

Keduanya mengangguk mengerti. "Masih inget bajingan yang nekat turun tapi ngga mau bayar taruhan?"

Wooseok mengangguk lagi. Bagaimana dia bisa lupa. Dulu saat dia terpaksa turun ke arena sebagai bagian dari pekerjaannya, lawannya malah tidak menepati janji padahal Wooseok yang menang. Saat itu nyaris saja Wooseok masuk jeruji besi karena membuat onar.

"Dia lagi di ajari sopan santun di gedung belakang. Ngga ikut ngajarin cara nepatin janji?"

Tanpa di sadari genggaman tangan Wooseok pada tangan Hyungjun semakin kencang.

"I know what you're thinking, just take it out."

Dan hanya dengan satu kalimat itu, keduanya menyeringai. Berjalan ke gedung belakang dengan Wooseok yang mengikutinya.

Hanya saja Wooseok yang tersulut emosinya ingin mengajari rival balapnya dulu tidak menyadari satu hal. Kali ini Hyungjun bersamanya. Hyungjun yang diam dari saat melihat dua orang asing itu. Hyungjun yang menggigit bibir karena takut. Dan Hyungjun yang dia genggam tangannya ke gedung belakang.

╰( ・ ᗜ ・ )➝

EINSERZ | CatLemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang