6 Sechs

675 118 19
                                    

Memberitahu Hyungjun tentang keputusan ayahnya yang hanya memberi kesempatan sekali pada Wooseok untuk mengajaknya ke kampus sepertinya bukan ide bagus.

Terbukti sekarang, Hyungjun tidak mau pulang sebelum matahari terbenam. Dia tau tak akan bisa ke tempat ini lagi setelah hari ini. Jadi artinya dia harus berlama-lama di kampus.

Berbeda dengan Wooseok yang mencemaskan banyak hal karenanya. Kebanyakan kenalannya di kampus adalah anak yang liar dan tak bisa di anggap mahasiswa teladan. Mereka yang kebanyakan senior akan menyapanya di jalan saat bertemu. Sekedar bertanya pasal turun ke arena atau hanya berniat memberi sebatang rokok untuk menunjukkan bahwa mereka sama, atau bahkan hanya untuk menanyakan kabar dengan gaya bahasa aneh.

Dan saat melihat Hyungjun, maka akan ada reaksi.

Bahkan ada yang berani menyarankan pada Wooseok untuk menjadikan si kecil bahan taruhan di arena ilegal dan mengatakan dia akan mengalahkan Wooseok apapun caranya untuk mendapatkan taruhannya.

Sungguh Hyungjun ini mengundang bahaya. Wooseok harus menggandeng tangannya kemanapun mereka berjalan. Sebenarnya hanya untuk mengantisipasi kejadian seperti pagi tadi saat di gedung belakang.

Wooseok terlalu mengenal dirinya sendiri. Sekarang hanya tentang waktu sampai sudut bibirnya terangkat melihat seniornya Lee Midam terkapar di tanah dengan bekas tinju dan tendang dimana-mana.

Itu hanya tentang waktu.

"Emang kalau cowok harus suka sama cewek ya?"

Wooseok terkejut, berhenti berjalan, kemudian menatap penasaran bocah di sebelah kanannya. "Kenapa tanya gitu?"

Hyungjun meraih ujung kemeja yang Wooseok pakai. "Tadi di belakang ada cowok sama cewek lagi peluk-peluk. Di pelajaran biologi katanya pasangan itu yang beda jenis."

Wooseok mengerutkan dahi bingung, tidak tau mau jawab apa. Hyungjun bertanya dengan raut wajah serius. Jari-jari mungilnya masih di lilitkan di ujung kemeja Wooseok, sementara dua pasang netra hitam itu saling bertemu.

"Normalnya ya kaya gitu."

Untuk yang satu ini, entah kenapa, sedikit perasaan tidak setuju muncul saat Wooseok memberikan jawaban.

"Kenapa normalnya harus kaya gitu ya?" Hyungjun masih bertanya.

Wooseok mengusap surai hitam anak di depannya. Faktanya klise. Semua orang mengetahuinya. "Mungkin supaya bisa punya anak kalau udah nikah."

Sudut bibir Hyungjun terangkat. "Cuma supaya bisa punya anak?"

Wooseok mengangguk, tak bisa menahan untuk tidak mencubit gemas ujung hidung Hyungjun.

"Berarti bukan masalah besar kalau aku suka kaka Wooseok. Cowok nikah sama cewek supaya bisa punya anak. Aku ngga suka anak. Jadi aku nikah sama kaka aja. Dan kalau kaka pengin punya anak, kita bisa adopsi, kalau aku udah gede tapi. Lagian kata papa, aku masih anak-anak. Berarti kaka Wooseok ngga usah pengin anak. Udah ada aku kan? Oke oke?"

Hyungjun melompat kegirangan dengan penjelasannya sendiri.

Sementara Wooseok malah kesulitan bernafas. "An-anak?!"

Ayolah anak yang baru pertama kali di ajak ke kampus yang bahkan tak bisa dibiarkan berjalan di tempat umum sendirian sedang membicarakan tentang anak. Apa lingkungan kampus membuat si kecil menjadi dewasa dan membuat pandangan dan pola pikirnya bebas?!

"Jadi sekarang kita pasangan, ya? Oke?"












•••












EINSERZ | CatLemWhere stories live. Discover now