38. Dia adalah...

521 22 15
                                    


Happy reading and enjoy guys:)
Jangan lupa buat vote karena satu vote dari kalian itu berharga buat aku:)
-----------------------------------------------------------

"Saya adalah Satria," ucap orang itu. "Satria Susanto."

Mike mencelos mendengar pengakuan orang tersebut. Susanto? Apa berarti orang itu? Mike bahkan tak berani memikirkannya. "Jadi anda?"

"Iya, benar. Saya adalah ayah anda. Ayah kandung," ucap Satria.

Mike menatap Satria tidak percaya, "jadi anda ayah saya? Suami yang tega meninggalkan istrinya yang sedang hamil besar?"

"Saya tidak meninggalkan ibumu," sanggah Satria. 

"Kalau tidak apa? Atau anda selingkuh dan diceraikan ibu?" tanya Mike menahan emosi. "Apa anda tahu yang telah terjadi pada ibu dan adik saya?"

"Saya tahu semuanya. Saya selalu mengawasi kalian."

"Kenapa anda tidak pernah muncul? Kenapa baru sekarang?" tanya Mike.

"Saya tinggal di Jogja selama ini, saya mengirim orang untuk mengawasi kalian. Saya terlalu sibuk untuk bisa menemuimu di Jakarta," jelas Satria sambil menyeruput minumannya.

"Saya punya banyak sekali pertanyaan untuk pria brengsek yang sibuk seperti anda? Apakah anda bisa meluangkan waktu?" tanya Mike sambil bersidekap.

"Saya siap."

"Oke. Yang pertama, apa maksud dari pesan misterius yang anda kirim pada saya?" Mike memulai interogasinya.

"Mengenai identitas saya?" tanyanya lebih terhadap diri sendiri. "Kalau anda jeli, setiap awal kalimat akan membentuk nama saya, Satria S."

Mike menatap tak percaya, "itu maksud pesan anda? Kuno sekali cara anda?" ejek Mike.

"Sekuno-kunonya itu, anda tetap tidak bisa menebaknya kan?" balas Satria.

"Lalu, apa maksud anda yang menyuruh orang mengawasi kekasih saya juga? Kenapa anda menyuruh saya menjauhi dia?" tanya Mike lagi.

"Kekasih anda? Saran saya, sebaiknya kalian segera memutus hubungan kalian. Ini demi kalian juga. Saya bisa pastikan anda akan menyesali keputusan anda kalau hal itu terungkap nantinya."

"Memangnya anda pikir anda siapa?! Anda memang ayah saya, tetapi saya hidup sendiri selama ini, tanpa anda. Anda baru datang dan langsung mengatur saya? Tidak akan!" Emosi Mike terpancing membuatnya tanpa sadar membentak.

Satria terlihat tenang-tenang saja, "terserah kalau anda tidak mau percaya, yang pasti saya sudah memperingati." Satria menghabiskan minumannya dan berdiri. "Saya rasa sudah ada yang memperingati kalian juga kan? Dan yang terakhir, senang bertemu anda lagi, Mike. Anda sudah besar." Satria kemudian meninggalkan Mike termenung sendiri di cafe.

Dia  berpikir, kenapa semua orang menyuruhnya menjauhi Carra? Apa mereka memang tidak cocok atau karena ada alasan lain?

Mike juga berpikir, pertemuan antara dia dan ayahnya lebih mulus dari yang selama ini dia bayangkan. Dia kira, saat mereka bertemu, pasti akan ada cek cok besar, tetapi hari ini berjalan sangat lancar. Jujur saja, dia tidak menyangka akan bertemu ayahnya secepat ini. Dia kira mereka akan bertemu saat Mike sudah lulus kuliah nantinya. 

Satu hal yang dia sadar dari pertemuan hari ini, ayahnya sangat mirip dengan adiknya, Laura. Makanya, saat menatap ayahnya, Mike merindukan adik kecilnya itu. 

Laura, abang kangen. Abang akhirnya ketemu lagi sama ayah. Tapi, dia brengsek. Karena dia, kamu tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Sekarang, dengan tidak tahu malunya, dia datang dan menyuruh abang menjauhi orang yang sangat abang sayang sekarang.

~~~

Hari ini adalah hari kedua rombongan SMA Adijaya di Yogyakarta. Jam masih menunjukkan pukul empat subuh tapi Mike sudah terbangun. DIa tidak bisa tidur setelah semalam bertemu dengan ayahnya. Semalam, dia baru pulang pukul 12 malam. Untung saja dia tidak ketahuan atau bisa dipastikan dia akan memperoleh hukuman.

Selama tiga jam, Mike duduk termenung dengan berbagai hal memenuhi pikirannya. Hingga Claudio lah yang membuatnya tersadar.

"Napa lo? Gue perhatiin dari gue bangun lo udah termenung sampai sekarang. Lagi ada masalah?" tanya Claudio sambil menyeka air yang menetes dari rambutnya, dia baru selesai mandi. "Ini ga ada hubungannya sama lo yang entah pulang jam berapa semalam kan?" 

Mike hanya tersenyum seraya menggeleng, beranjak untuk mandi. Setelah mandi, mereka keluar bersama untuk sarapan. Saat tiba, Mike langsung mengedarkan pandangan untuk menemukan Carra. 

Carra yang melihat Mike pun langsung melambai. Carra duduk bersama Siti, Lisa, dan Sella di sebuah meja besar yang bisa menampung enam orang. Carra pun tidak tahu kenapa Lisa dan Sella duduk bersamanya, dia kira Lisa tidak akan mau. 

Tentu saja, Mike akan memilih kursi di sebelah Carra. Tapi, sama seperti kemarin, saat dia baru saja mendaratkan bokongnya, kursi tersebut bergoyang dan patah. Dia pun terjatuh untuk kedua kalinya dengan situasi yang sama. Bedanya, kali ini dia sedang memegang makanan sehingga makanan tersebut tumpah dan piringnya terpecah belah. Tangannya bahkan terluka karena terkena pecahan beling.

"Ya ampun Mike! Kok bisa jatuh lagi sih?" tanya Carra panik sambil membantu Mike berdiri. Semua orang yang ada di restoran kini memusatkan perhatian mereka pada dua sejoli itu. 

Pak Tobi mendekat, "Mike kenapa kamu hobi sekali jatuh?" Guru tersebut memeriksa tangan Mike. "Lukanya cukup besar dan harus segera diobati, ayo."

Mike mengikuti guru tersebut begitu juga dengan Carra. Tapi, Lisa menahan tangan Carra. "Lepas ga!"

"Biarin aja Pak Tobi yang obatin dia," jawab Lisa santai sembari melihat beberapa petugas hotel yang sedang membersihkan kekacauan tadi.

"Kenapa lo santai banget?!" Suara Carra mulai naik beberapa oktaf. "Kemarin hal serupa juga terjadi, ini bukan ulah lo kan?!"

Lisa tidak menjawab, tetapi Carra yakin seratus persen kalau ini ulah perempuan itu. "Gue ga nyangka lo bakal berubah, Sa. Kalau lo emang suka sama Mike dan ga suka gue bareng dia, kenapa lo celakain dia?" Lisa tidak menjawab dan masih asyik dengan makanannya. "JAWAB GUE LISA!"

Sella dan Siti yang berada di meja yang sama langsung kaget saat Carra berteriak dan menggebrak meja. Lisa berdiri, "maksud gue bukan itu. Cukup nuduh gue yang nggak-nggak. Gue harap lo ga nyesal setelah tahu kebenarannya."

Lisa meninggalkan restoran dan dengan sengaja menabrak bahu Carra sembari berbisik, "gue ga berubah, lo yang berubah."

Sebelum benar-benar pergi, Lisa masih sempat melihat tangan Carra yang terkepal kuat. Ponselnya berbunyi dan mau tidak mau Lisa harus segera pergi. Itu telepon dari orang itu.

"Halo."

"Lo udah lakuin yang gue bilang?" ucap orang itu dari seberang sana.

"Udah."

"Bagus. Itu artinya lo percaya sama gue." Orang itu terdengar puas.

"Dan gue harap lo ga bohongin gue," ucap Lisa yang sebenarnya masih ragu.

"Lo tenang saja." 

Orang tersebut mematikan sambungan telepon mereka. Lisa menghela nafas. Dia harap dia tidak salah.

~~~

Venganza✔Where stories live. Discover now