[BURNT] Sedarah, Tapi Tak Sama

40 20 19
                                    


Windi masih ingat pengalaman menstruasi pertamanya. Usianya 11 tahun. Kelas 5. Saat ke toilet dan mendapati ada darah di celana, dia hanya berpikir, 'Oh. Akhirnya.'

Sebelumnya Windi banyak belajar dari iklan-iklan pembalut. Lalu film, majalah, komik, terutama dari teman dan kakak kelasnya. Beruntung seminggu yang lalu, di sekolah, kakak-kakak dari perusahaan pembalut membagikan booklet warna pink dengan gambar-gambar imut. Bahasanya yang sederhana membuat Windi bisa sedikit memahami sistem reproduksi wanita.

Setelah menjemputnya dari sekolah, ibu mengajak Windi bicara empat mata di kamar. Memberikan pembalut, juga berbagai wejangan: kini dirinya harus lebih pandai menjaga diri. Terutama dari anak laki-laki.

Windi paham apa yang ibunya coba sampaikan. Itu juga sudah dia pelajari dari berbagai berita di koran, majalah, juga novel remaja barat terjemahan. Kisah-kisah miris soal "cinta" yang terlanjur bablas sebelum waktunya.

Karena itu tujuh tahun kemudian, ketika Aira pulang dari sekolah sambil menangis dengan darah yang menetes-netes di kaki, Windi shock luar biasa. Usia Aira sama dengan usianya saat mendapat menstruasi pertama. Tapi reaksinya sungguh berbeda.

Pikir Windi, 'Bodoh sekali anak ini?!'

Apalagi saat itu Aira digandeng anak lelaki berwajah lugu yang berbisik, "Cup-cup-cup. Tenang ya, Sayang."

Kepala Windi langsung terasa berputar. 'Ada apa dengan anak-anak zaman sekarang???'

Windi sering melihat anak itu dengan setia menunggu Aira di gerbang sekolah tiap pagi. Biasanya Aira langsung bersorak dan berlari menghampiri anak itu sebelum Windi sempat bertanya "Itu siapa?"

Dengan dingin Windi menyuruh anak laki-laki itu pulang. Ia sampai lupa berterima kasih. Otaknya terlalu sibuk merangkai kalimat ceramah untuk Aira.

Seperti ibunya dulu, Windi pun mengajak Aira bicara empat mata di kamar. Tapi cara Windi tak selembut ibunya. Setelah Windi selesai, Aira hanya diam. Cemberut sambil berlinang air mata.

Sepeninggal Windi, Bayu masuk ke kamar. Bertanya, "Mbak Ai kenapa?"

Aira memandang adiknya dengan mata penuh bara. "Mbak Windi jahat! Nggak kayak Bude Darmi!"


NOTE:

Aku nggak ingin menjadikan ini sebagai excuse, tapi kemarin pagi budeku meninggal setelah lama berjuang melawan kanker. Seharian kemarin aku melayat dan menghadapi berbagai gelombang kesedihan dari banyak orang dan dari diriku sendiri. Di saat yang sama aku masih berusaha "tertawa" secara teks di IG, What's App Group dan Wattpad. Emosiku campur-aduk secara membingungkan. Malam setelah pulang aku ingin menulis tapi sudah kadung terkapar.

Aku tahu di luar sana ada banyak penulis lain yang bisa tetap pro dan update sesuai jadwal meskipun dia mengalami banyak hal di dunia nyatanya. Kuakui aku masih harus banyak belajar sebelum bisa sampai ke tahap itu.

Aku tetap mengunggah tulisan ini hari ini karena isi tulisanku untuk tema Aqil-Balig ada hubungannya dengan keutuhan kisah Rashi dan Windi. Tapi agar fair, judulnya kutambahi keterangan "Burnt" yang berarti hangus, karena aku sudah melewatkan tema ini kemarin.

Setelah ini aku akan kembali ke rumah budeku untuk membantu menyiapkan acara tahlilan kedua. Semoga ada yang bisa kulakukan untuk menyelesaikan tema "Sepi di Tengah Keramaian". 

Beyond The Purple Sky [RAWS FESTIVAL November 2019]Where stories live. Discover now