Attack

11.3K 960 59
                                    

Matahari telah lama beranjak dari singgasananya di gantikan bulan yang kini bertahta. Malam yang sunyi, hanya segelintir hewan malam yang bernyanyi atau sekedar berburu mencari arti di hidup mereka yang tak abadi. Sesekali daun terdengar menari tertiup angin seakan mentertawakan setiap langkah mengendap-endap yang di lakukan para Black Witch dan rogue yang sama sekali tak berarti bagi para warrior penjaga perbatasan.

Dua warrior berhasil menerjang dan menerkam seorang Black Witch hingga kepalanya terlepas dari tubuh sebelum sang Black Witch berhasil merapalkan sihir hitamnya. Salah satu warrior terhempas oleh sihir hitam yang langsung merenggut nyawanya. Warrior yang tersisa melolong memanggil bantuan. Kemudian muncul sosok-sosok gelap berjubah hitam yang bertengger di atas pohon. Bukan hanya satu tapi puluhan.

Warrior itu tau hidupnya tidak akan lama lagi. Dengan sisa waktunya dia menghubungi kawanan. Sebuah sihir menghempaskannya hingga menghantam dua pohon hingga tumbang. Suara geraman dari puluhan rogue ikut terdengar. Dengan sisa kesadarannya dia memindlik kawanan yang lain untuk menyampaikan informasi sekaligus meminta maaf bahwa tugasnya selesai malam ini.

***

Bulan bersinar terang dengan cahaya putih yang berpijar menerangi malam. Lalita mengamati bulan dari jendela kamarnya. Hatinya masih terasa sakit mengingat kejadian saat senja. Lalita menyadari dirinya egois. Tapi biarlah dia egois. Dia egois untuk sesuatu yang harus menjadi miliknya secara muthlak. Jika seseorang menginginkan apa yang dia miliki. Lalita tidak akan berbagi maupun segan untuk menghabisi. Karena pasangan hidup tidak untuk di bagi atau kematian yang akan menghampiri.

Pintu terbuka saat Sean masuk. Tatapanya melembut tapi ekspresinya tetap datar. Lalita tak bergeming sambil terus menatap rembulan dari jendela. Udara dingin perlahan masuk diikuti angin malam yang memainkan sedikit surai pirang nyaris putihnya.

"Tutup jendelanya. Memangnya kau tidak kedinginan?" Lalita masih tak bergeming sambil terus menatap bulan. Dia benci jika harus menatap iris biru sedalam samudra yang mungkin menyembunyikan banyak teka-teki rahasia yang akan menyakitinya.

"Apa pedulimu?" tanya Lalita dingin ketika Sean melangkah mendekat.

"Kau mateku. Tentu aku peduli padamu."

"Heh." Lalita tertawa remeh. "Bagaimana dengan mantan kekasihmu itu. Dia cantik, menawan, dan elegan. Atau jangan-jangan kalian sudah kembali menjadi sepasang kekasih?"

Sean diam, tak tau harus mengatakan apa pada Lalita yang kesal terhadapnya. Diamnya Sean adalah jawaban bagi Lalita. Dengan senyum miring Lalita berbalik dan menatap Sean yang balas menatapnya lembut.

"Keluar! Aku ingat sendiri dulu." titah Lalita sambil membuang muka.

"Jika kau tidak ingin keluar dan pergi. Lebih baik aku yang pergi."

Baru beberapa langkah mendekati pintu Sean langsung mendekap erat Lalita dari belakang. Sean menggerakkan ujung hidungnya pada ceruk leher Lalita sambil menghirup aroma candunya dalam-dalam. Lalita tak bergeming dan membiarkan Sean mendekapnya erat.

"Jangan pergi." bisiknya lirih.

"Shakira memang pernah menjadi kekasihku." Lalita menegang mendengar pernyataan Sean.

"Namun setelah dia pergi aku sudah membuang semua rasaku. Hanya kau satu-satunya yang membuatku kembali merasakannya. Kau warna dalam hidupku. Kau api yang menghangatkanku saat aku terjebak di dalam balok es yang membeku. Kau segalanya sekarang. Aku mencintaimu bukan semata-mata karena ikatan kita. Tapi ikatan itu juga yang membuat cinta kita semakin kuat. Percayalah, hanya kau yang aku inginkan."

My Mate is White WolfWhere stories live. Discover now