Bab 19. Terima Semua Kurangku

3.6K 596 36
                                    

Dilarang menjiplak, menyalin dan mempublikasikan karya-karya saya tanpa izin penulis.

.

.

.

Bab 19. Terima Semua Kurangku

.

.

.

Happy reading!

.

.

.

Sam berlutut. Kedua telapak tangannya saling bertaut di depan dada. Ia memejamkan mata, menangis tanpa suara di depan Tuhan-nya. "Hamba tidak pernah berdoa untuk kematiannya, Tuhan." Sam berkata lirih. Suara pria itu tercekat di tenggorokan. Cahaya lilin di atas altar menerangi ruangan kecil yang berfungsi sebagai ruang sembahyang di rumah sakit ini. 

"Hamba sedang marah saat itu." Ia kembali bicara, bersamaan dengan turunnya air mata di kedua pipinya. "Hamba tidak mengingkan Eve tewas bersama kedua orangtua kami. Kenapa Tuhan? Dari semua orang kenapa harus Eve?"

Sam terus berlutut, memohon ampun dan menyalahkan dirinya sendiri. Sebuah tepukan di bahunya tidak membuat Sam membuka kedua matanya.

"Eve sudah sadar, sudah siap untuk menemuinya?" Jung Woo bertanya dengan nada tenang.

Perlahan Sam membuka kedua kelopak matanya yang basah. "Apa dia sudah sakit saat pesta ulang tahunku?" tanyanya, serak. Kesedihan mencengkram Sam sedemikian rupa, hingga pria itu nyaris tidak bisa bernapas. "Saat itu aku sangat marah, dan kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku tidak bermaksud mengatakan hal itu."

"Eve tahu," ucap Jung Woo sembari menepuk pelan bahu Sam, penuh pengertian. Keduanya terdiam untuk beberapa saat. "Kakakmu tahu kau mengatakan hal itu karena marah."

"Eve pasti sangat membenciku," kata Sam. "Karena itu dia menyembunyikan penyakitnya dan berniat pergi dengan meninggalkan penyesalan dalam diri kami."

Jung Woo menggelengkan kepala. "Eve hanya takut kalian terluka--"

"Kami akan sangat terluka jika tidak pernah tahu masalah penyakitnya ini," potong Sam. "Dia membuatku merasa sangat bersalah. Eve melakukan ini untuk membalas dendam."

Jung Woo merangkul Sam yang tertunduk, menangis dalam diam.

"Eve pasti sangat membenciku." Sam terisak. "Dia sangat membenciku hingga berniat meninggalkan kami tanpa mengatakan apa pun. Eve sengaja membuat kami membencinya."

Jung Woo tidak langsung menjawab. Pasti sangat sulit bagi Sam dan Eric untuk menerima segala sesuatu yang sudah tidak bisa diubah. Penyesalan tidak ada gunanya saat ini, dan mereka harus belajar untuk menerima serta berkompromi dengan diri mereka sendiri.

"Kenapa harus Eve?"

"Eve masih bisa sembuh." Ucapan Jung Woo memberi harapan baru untuk Sam. Ia menganggukkan kepala. "Tapi kakakmu masih tidak bersedia untuk melanjutkan perawatan medis di Guangzhou."

"Aku akan membujuknya," kata Sam, serius. "Eric juga pasti bisa membujuknya. Aku bahkan akan meminta bantuan Jae Yong jika hal itu bisa membuat Eve bersedia melakukan perawatan di sana."

Jung Woo mengangukkan kepala. "Ayo temui kakakmu."

Semangat Sam kembali naik. Ia mengangukkan kepala dengan semangat lalu menghapus jejak air mata di kedua pipinya dengan punggung tangan. "Eve akan sembuh."

Jung Woo mengangguk.

"Dia pasti akan sembuh," sambung Sam, optimis.

.

.

.

Kecanggungan menyambut kedatangan Sam dan Jung Woo saat keduanya masuk ke dalam ruang inap VVIP yang ditempati oleh Eve. Di sana, Eve duduk bersandar di atas ranjang, sementara Eric duduk di sudut sofa, memandang keluar jendela. Tidak ada yang bicara diantara mereka. Keduanya terlihat larut dalam lamunan masing-masing.

"Kenapa kalian terlihat sangat canggung?" Jung Woo bertanya, berusaha mencairkan suasana sembari menutup pintu di belakangnya, pelan. Didorongnya punggung Sam yang berdiri terpaku di hadapannya. "Kau kenapa?" tanyanya kepada Sam. "Kenapa kalian bersikap aneh?"

Eve mengembuskan napas panjang. Tatapannya kini terarah lurus kepada Jung Woo yang membalasnya dengan senyum lembut. "Kalian berdua pulang! Aku harus bicara dengan Jung Woo."

Eric dan Sam langsung pasang badan. Keduanya berdiri bersisian di depan Jung Woo. "Jangan memarahi hyung!" Keduanya bicara, kompak. "Jika ada yang mau dibicarakan, bicara di depan kami."

Tepuk tangan Eve menggema setelahnya. Wanita itu terlihat takjub melihat kedua adiknya kompak melindungi Jung Woo. "Kalau begitu kalian bertiga pulang!"

"Kami menginap di sini!" Sekarang ketiga pria di dalam ruangan itu menjawab, kompak. Eve memutar kedua bola matanya. Percuma bicara dengan ketiganya. Wanita itu memutuskan untuk berbaring, lalu memunggungi ketiganya dan memejamkan mata.

Jung Woo, Eric dan Sam terheran-heran karena Eve langsung menerima kekalahannya tanpa perlawanan terlebih dahulu. Namun, rasa heran itu segera berlalu. Eric segera menawarkan diri, keluar untuk membeli makanan. Tanpa menunggu persetujuan kedua pria di dalam ruangan itu, dia pun segera bergegas pergi.

Eric sengaja menggunakan tangga darurat untuk turun. Pria itu menuruni satu per satu anak tangga dengan cepat hingga akhirnya pertahanan yang sejak tadi dipasang olehnya ambruk, runtuh tidak bersisa. Eric berpegangan pada pegangan tangga, tubuhnya merosot, air mata yang juga sejak tadi ditahannya keluar tanpa bisa dibendung.

Kenapa harus penyakit yang sama dengan mendiang ibu mereka? Kenapa Tuhan harus memberikan penyakit itu kepada Eve?

Eric menundukkan wajah, dalam. Perlahan ingatan tentang Eve yang dipaksa menjadi dewasa demi sebuah kewajiban pun melintas dalam benak Eric. Setelah kematian kedua orang tua mereka, Eve dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya. Beban itu segera berpindah ke kedua bahunya. Kakak perempuannya nyaris tidak memiliki waktu bermain untuk dirinya sendiri. Eve bahkan hanya memiliki sedikit teman karena sebagian besar waktunya dia gunakan demi memenuhi tugas sebagai pewaris sekaligus orang tua pengganti untuk kedua adiknya.

Air mata Eric jatuh semakin deras. Selama ini dia tidak pernah mendengar kakaknya mengeluh tentang apa pun. Tugas itu dijalankan oleh Eve dengan baik hingga Eric dan Sam memiliki banyak waktu untuk tumbuh seperti anak-anak pada umumnya walau tanpa kehadiran orang tua.

Selama ini baik Eric juga Sam merasa apa yang dilakukan oleh Eve memang sudah wajar dilakukan, karena Eve kakak tertua mereka. Bukankah Eve tidak pernah mengeluh?

Tugas Eric tidak akan semudah ini sebagai direktur utama perusahaan keluarga mereka jika Eve tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebelumnya. Kakaknya selalu melakukan yang terbaik untuk keluarga mereka dengan mengabaikan kebahagiaannya sendiri. Kenapa ia tidak pernah berpikir hingga sejauh itu?

Semua kekurangan Eric dan Sam selalu diterima oleh Eve. Namun, kakaknya selalu dituntut untuk selalu sempurna. Apa Eve pernah mengeluh? Tidak. Kakaknya tidak pernah mengeluh.

Eric terduduk. Menenggelamkan wajah ke dalam telapak tangannya. Sekarang ia mengerti kenapa kakak perempuannya bersikap tidak biasa?

Eve ingin merasakan hidup seperti orang pada umumnya. Setelah sakit, kakak perempuannya baru mewujudkan satu per satu keinginan yang tidak pernah bisa dilakukannya selama berperan menjadi kepala keluarga Lee selama ini.

"Tuhan menghukumku," gumam Eric, parau. "Tuhan menghukumku, Eve."

Ia terdiam, terisak. Tenggorokannya yang tercekat terasa sangat sakit. Dada pria itu sesak oleh luapan emosi yang mengganjal. "Bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri?" tanyanya yang dijawab oleh keheningan panjang setelahnya.

.

.

.

TBC



TAMAT - Lavender DreamsWhere stories live. Discover now