Seumpama Lentera

140 9 0
                                    


Part. 1

"Nih ...." Pria berkacamata itu menyodorkan sapu tangan berwarna biru tepat di depan wajah. Gadis itu mendongak, memandang wajahnya, Arash tetap dengan ekspresi andalannya, tanpa senyuman, datar.

Gadis berkerudung maroon itu menerima sapu tangan pemberiannya, menyeka air mata, dan juga ... ingus.

Sroottt ....

Cairan bening itu meluncur bebas dari hidung. Lega rasanya.

"Jorok, sih." Arash berkomentar. Lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya.

"Bodo."

"Kenapa lagi, Sha?" Arash bertanya seolah peduli, tidak seperti sikap sebelumnya yang selalu cuek, tidak perduli, dan terkesan dingin.

"Nggak apa-apa."

"Nangis mulu, nggak capek emang?"

"Nggak. Malah nangis bisa bikin suasana hati sedikit tenang."

"Ck. Cewek emang aneh!"

"Bodo amat!"

"Judes," ujar Arash. Dengan wajah tetap memandangi puncak gedung di sebelah.

Sasha, yang selalu menghabiskan waktu di atap gedung kampus jika ada masalah, berteriak sampai menangis sejadi-jadinya. Dia yang selalu meluapkan emosi di sini. Dan Arash, selalu ada menemani.

"Lu kalo nggak tau apa-apa, mending diem deh, Rash." Sasha mulai emosi.

"Mau marah? Marah dulu lah. Gue mau balik. Udah sore juga." Arash beranjak dan hendak pergi.

"Eh ...." Spontan tangan Sasha meraih ujung blazer almamater kampus yang dikenakannya.

"Apa lagi?" Arash berbalik dan memandang ke arah Sasha yang masih duduk di kursi plastik.

"Sensi bener jadi cowok."

"Lu sih, ditanya baik-baik malah marah. Cewek memang aneh."

"Makanya, lu punya pacar. Biar tau gimana caranya memahami cewek."

"Malas!"

"Ya udah. Kalo mau balik. Gue juga mau balik."

"Gue kira, lu masih mau nangis di sini," ledek Arash.

"Sial. Lu kira tenaga gue cuma buat nangis doang gitu. Dasar ngeselin."

"Ngeselin juga dibutuhin, kan?" ucap Arash dengan memajukan wajahnya ke arah Sasha yang memonyongkan bibir. Asli, membuatnya jadi salah tingkah.

"Pede. Nggak usah ge'er." Sasha memalingkan wajah dari tatapannya. Rasa panas terasa di sekitar wajah. Entah ini karena sedang berada di atap gedung, atau memang karena terpancing ucapannya.

"Ciye, yang baper gue godain."

"Kagak, elah." Gadis itu kembali memandang wajahnya lalu meninju lengan kiri Arash, dan malah membuatnya  tertawa terbahak-bahak.

"Wajah lu udah kaya udang rebus, Sha," ujarnya disela tawa yang masih terdengar.

"Apaan, sih. Udah hayu kalo mau balik."

Sasha bangkit dan berjalan melewatinya, menutupi sebagian wajah dengan pasmina yang ia kenakan.

"Ciye, awas nanti lu suka sama gue, Sha." Arash berjalan di sampingnya, dan masih saja mengumbar ledekannya, membuatnya semakin salah tingkah.

Sasha menghentikan langkah, sedangkan Arash tetap berjalan menuju pintu keluar. Ia hanya bisa memandangi punggungnya yang hilang di balik pintu.

"Gue mana mungkin bisa suka sama lu, Rash. Ada Vera yang harus diperhitungkan. Seorang gadis yang penuh kesempurnaan, jauh berbanding denganku. Dia jauh lebih pantas berada di samping lu. Vera yang selalu mengikuti ke mana pun lu pergi, juga seorang adik yang baik. Sedangkan gue, bukanlah siapa-siapa. Tetaplah menjadi Arash, yang selalu menjadi mentari malam hari, pelangi di kala senja," gumam Sasha, lirih.

My SunshineOnde histórias criam vida. Descubra agora