part. 17

16 0 0
                                    

Setelah mandi dan berganti pakaian, Sasha duduk di tepi ranjang. Kedua tangannya meraih sebuah buku album lama milik ibunya. Sampul tebal dengan corak batik merah ia buka, 'Yanti Noor Album tertulis di lembar pertama. Seorang wanita berkulit putih sedang bergandengan tangan dengan seorang wanita berkulit hitam manis. Di bawah foto tersebut tertulis nama Yanti dan Dila.

“Kamu lagi apa, Sha?” Pak Yoga datang dan ikut duduk di samping putrinya.
“Kangen Ibu, Yah,” Sasha mengusap lembut album foto di pangkuannya.
“Kapan kita ziarah ke makam Ibu. Sudah pasti ibu kangen sama kita.”
“Nanti kalo kamu udah libur semester. Kita ziarah ke sana, ya.” Pak Yoga mengusap bahu putrinya. Gadis itu tersenyum tenang saat mendengar ucapan Ayahnya, “sekarang kamu istirahat. Besok kan kuliah.” Lelaki paruh baya itu pun keluar dari kamar.

Usai mencium foto album peninggalan sang ibu, Sasha merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tak lama ia pun tertidur.

**

“Sasha ...!” teriak Doni dari ujung koridor kampus. Setengah berlari lelaki hitam manis itu mendekati Sasha yang sedang asyik menulis di buku kesayangannya.

“Kenapa?” tanya Sasha saat melihat Doni sudah berdiri di sampingnya.
“Lu nggak bawa sarapan, Sha?” ucap Doni saat matanya tidak melihat kotak bekal yang biasa gadis itu bawa.
“Nih ... lu cari ini kan?” Sasha mengambil bekal dari dalam tas dan menaruh makanan itu di atas meja. Senyum mengembang di wajah Doni. Meski wajah lelaki itu tidak setampan Arash, tapi dengan kepribadiannya yang mudah bergaul, mampu membuatnya memiliki banyak teman. Tidak seperti lelaki berkacamata itu, meski memiliki wajah rupawan, dan menjadi idola kampus, dengan sikapnya yang songong dan cuek, tidak banyak yang mau mendekatinya, dia hanya menjadi sosok yang dikagumi kaum wanita karena ketampanannya.

Sudah dua potong sandwich berpindah ke dalam perut Doni, lelaki itu tampak kekenyangan setelah melahap bekal milik gadis di sampingnya, terlihat dari sendawa yang dikeluarkan Doni.

“Thanks, Sasha. Bekal lu enak.” Doni menutup kembali kotak bekal berwarna merah tersebut, lelaki itu hanya menyisakan sisa sepotong sandwich.
“Lu bilang enak, karena ini gratis kan?” ledek Sasha.
“Loh, ini emang enak kok. Serius!” Doni menunjukkan dua jari tangan kanannya.
“Iya deh. Lain kali kalo butuh sarapan, cari gue aja.”
“Oke. Makasih ya, Sha.”
“Sama-sama.”

Doni menenggak air mineral yang dibawanya, tangan Sasha masih sibuk menulis. Keduanya tenggelam dengan kesibukan masing-masing.

“Oya, pengumuman lomba puisi udah keluar loh, Sha. Udah liat?”

Gadis itu menghentikan menulisnya, menatap serius pada Doni.
“Lihat di mana? Cepet bener.”
“iya, liat di Mading sana!” perintah Doni. Gadis itu merapikan alat tulisnya, tak lupa menyimpan kembali kotak bekal miliknya, bergegas menuju Mading yang tak jauh dari kelasnya, tapi tepat berada di depan kelas Vera. Doni dan Sasha berjalan beriringan, sesekali lelaki itu melontarkan candaan garing padanya.

“Sha, awas jangan sampe lewat!” serunya.
“Lewat apaan sih, Don?”
“Iya, lu nggak lewat aja udah manis. Apalagi sampe lewat, bisa overdosis yang liat wajah lu yang manis,” goda Doni. Gadis itu meninju pelan lengan lelaki di sebelahnya.

Melewati kelas yang dipenuhi mahasiswa yang berada di kelas, banyak yang asyik mengobrol atau sekadar mendengarkan musik menggunakan earphone. Langkah Sasha terhenti saat matanya menangkap sosok yang di kenal. Lelaki berkacamata itu mengenakan kaos berwarna putih dan jeans hitam, sedang duduk dengan seorang gadis memakai gamis hijau muda. Arash terlihat sangat asyik mengobrol dengan Vera, terlihat jelas saat lelaki itu memandangnya. Berbeda saat lelaki itu menatapnya, selalu terlihat biasa saja, bahkan terkesan ... entah.

My SunshineWhere stories live. Discover now