part.13

18 1 0
                                    


"Kamu ...?" Sasha terkejut saat melihat sosok Vera datang ke tempat rahasianya. Notebook yang bersampul Frozen terlepas dari genggaman tangan.

"Maksud ucapan Kak Sasha barusan apa?" Vera bergantian menanyai Sasha yang masih shock.

Gadis bermata bulat itu mengambil notebook Yanga terjatuh, menyimpan dalam tas dan hendak berlalu.

"Kak, Sasha. Tunggu!" Vera membalikkan badannya, mencoba menghentikan langkah Sasha.

"Apa? Maaf saya sedang terburu-buru!" Gadis itu terus berlalu tidak memedulikan Vera.

"Aku ingin bertanya tentang Kak Arash!" teriak Vera, dan itu sukses membuat langkah Sasha terhenti. Gadis itu membalikkan badannya, menatap lekat pada pemilik wajah cantik di hadapannya.

"Apa yang ingin kau tanyakan tentang Arash? Bukankah Arash itu pacarmu?" Sasha mengucapkan kalimat itu dengan hati hancur. Tidak ada pilihan lain baginya, agar Vera tidak lagi mengikuti gerak-geriknya.

"Kak Sasha suka sama Arash?" ucap Vera dengan hati-hati. Mata indah itu menatap lekat pada Sasha. Mencari sebuah jawaban juga kejujuran darinya.

Sasha tidak habis pikir, jika Vera akan menanyakan hal itu padanya. Ia sendiri bingung tentang isi hatinya pada Arash. Sedangkan pria itu secara terang-terangan menganggap hubungan yang terjalin di antara mereka hanya sebatas sahabat.

"Kenapa nggak jawab, Kak? Benar Kakak suka sama Arash?" Vera bertanya lagi, karena gadis itu tak kunjung menjawab.

"Apa yang ingin kamu ketahui, Vera? Jangan tanya hal itu padaku, tanya pada Arash!"

"Aku hanya ingin tahu perasaan Kakak saja. Aku tidak ingin ada salah paham di antara kita. Hanya karena seorang lelaki."

"Maksud kamu?" Sasha tak habis pikir, jika gadis di hadapannya bisa mengucapkan kalimat sejauh itu. Karana baginya, selama ini  tidak terjadi hal apapun antara dirinya dengan Arash.

"Aku sama Arash tidak ada hubungan apa pun. Soal perasaanku padanya, tidak ada yang spesial." Sasha menggigit bibir bawahnya, ucapannya baru saja terlontar adalah sebuah dusta. Jauh di dalam hatinya, telah tercipta sebuah singgasana megah dari rasa nyaman yang Arash berikan selama ini.

Sasha membalikkan badan, meninggalkan Vera yang masih diam di belakang. Hatinya pedih, berakibat matanya berair. Iya, Sasha menangis. Menangisi kebohongan tentang perasaannya terhadap Arash, juga kebodohannya mencintai lelaki yang sudah memiliki kekasih.

**

Mata lelaki itu menyapu sekeliling kampus. Mencari seorang gadis si pemilik mata bundar. Sasha. Usai mengunjungi kelas akuntansi hingga aula yang tadi pagi dipakai belajar, Rizal belum juga menemukannya.

Sasha berjalan menuruni tangga, tangan kanannya menyeka air mata dengan ujung hijab biru yang dikenakan. Gadis itu tak menyadari saat sepasang mata berjalan mendekatinya.

"Lu kenapa, Sha?"

Terkejut. Dengan cepat Sasha menyeka kedua matanya saat ia saat mengenali siapa si pemilik suara.

"Nggak apa-apa." Gadis itu berbohong. Tanpa menoleh, Sasha mempercepat langkahnya menuruni tangga. Arash menatap sosok Sasha yang perlahan menjauh.

"Kenapa sih, lu nggak pernah mau jujur sama gue, Sha?" gumam Arash.

Langkah gadis itu terhenti saat matanya menangkap sosok Rizal di seberang jalan. Lelaki berkulit hitam manis itu terlihat sedang mencari informasi. Terlihat saat langkah kakinya terhenti kepada beberapa mahasiswa dan memperlihatkan sesuatu. Sasha membalikkan badannya, berjalan mendekati Arash yang masih berdiri di tangga.

"Tolongin gue lagi!" Sasha menatap wajah Arash dengan tatapan mengiba. Berharap lelaki berkacamata itu bersedia membantunya.

Dengan tatapan dingin, Arash memalingkan wajahnya dan berjalan menaiki tangga.

"Arash ...!" Sasha menarik tas ransel lelaki itu. Langkah pria berhidung mancung itu terhenti, lalu memutar badannya, menghadap Sasha.

"Apa?" Sifat judes Arash kumat.

"Tolongin gue lagi ... please!" Sasha menangkup kedua tangannya di dada.

"Minta tolong sama gue, bayar!" Selalu saja begitu. Arash senang menggoda Sasha yang sedang kebingungan.

"Ya Allah, Rash. Gitu amat sama gue." Gadis itu merajuk di hadapan pangeran kampus.

"Kalo nggak mau bayar. Gue nggak mau nolongin lu!" Arash kembali memutar tubuhnya, kakinya kembali menaiki anak tangga.

"Ya udah. Lu mau apa?"

Bibir tipis itu menyunggingkan senyum kemenangan. Tubuh tinggi itu kembali berhadapan dengan Sasha. Gadis itu menyerah menghadapi lelaki keras kepala di hadapannya.

"Nanti gue pikirin, apa mau gue sebagai bayarannya. Sekarang apa yang harus gue tolong," ucap Arash dengan santai dan penuh kemenangan.

"Di seberang sana ada lelaki yang kemarin, bantuin gue biar dia nggak bisa nemuin gue." Mohon Sasha.

Raut wajah Arash mendadak menjadi serius. Hatinya dipenuhi tanda tanya, kenapa Sasha yang biasa galak dan tak acuh, sekarang mendadak seperti seekor ayam yang sedang menghadapi serigala.

"Siapa sih, dia? Lu kok bisa takut bener sama itu lelaki?" Arash bertanya dengan mimik serius.

"Lu nggak usah banyak nanya. Bantuin gue aja sih!"

"Gue nggak mau bantuin lu, kalo lu nggak mau jelasin soal itu cowok!" Lelaki berhidung mancung itu mulai mengancam.

Kedua mata Sasha kembali berkaca-kaca. Hatinya masih lemah, kenapa ia harus menghadapi situasi sulit ini secara bersamaan.
Gadis itu membalikkan tubuhnya. Kembali menuruni tangga.

"Ya udah kalo nggak ikhlas bantuin gue. Sorry ...." Sasha berlalu meninggalkan Arash.

Sasha menutupi wajahnya dengan ujung hijab. Dengan cepat ia memakai helm, dan melajukan motornya. Sebuah mobil hitam menghalangi dari depan.

Mata gadis itu membulat saat ia tahu siapa pemilik mobil tersebut. Rizal!

My SunshineDonde viven las historias. Descúbrelo ahora