part. 10

17 0 0
                                    


"Sasha, kamu di mana, Sayang?" Rizal memandangi langit-langit kamar. Pikirannya mengembara mencari sosok Sasha. Hatinya rindu, juga marah. Saat ia melihat orang yang paling ia sayang, berboncengan dengan lelaki lain.

"Siapa lelaki itu?" batinnya, "Bodoh, kenapa aku nggak catat  plat motor lelaki itu sih. Ck!" gerutu Rizal dalam hati.

Rizal berdiri dan menuju kamar mandi, berharap setelah mandi perasaannya sedikit lebih baik.

Usai mandi dan berganti pakaian, Rizal duduk di sofa yang terletak di sudut kamarnya, berteman segelas kopi susu, Rizal membuka laptop, jemarinya sibuk mengetik.

Rizal berusaha fokus pada layar pipih itu, tapi sia-sia. Bayangan wajah Sasha terus saja menghantui pikirannya. Kesal, ia kembali menutup laptopnya, merebahkan diri di kasur, lalu memejamkan mata.

**

Tinnn ... tinnn ....

Sasha yang sedang menyiapkan bekal berlari ke pintu depan. Dari balik pagar, terlihat sosok Arash di sana.

"Ngapain lu di sini? Kangen sama gue, bilang!" Sasha nyerocos dengan pedenya dari balik pagar.

"Pede lu gila, gue udah baik hati ke sini, malah lu suudzon." Arash menimpali tak kalah judes.

"Nggak usah pura-pura. Kangen sama gue kan lu?" ledek Sasha.

"Heh, gue ke sini mau anter lu ke kedai kemarin. Emang lu nggak mau ambil motor?" Arash melepas helm dan merapikan rambut dengan jarinya.

"Oh, iya. He-he-he, gue lupa." Sasha nyengir kuda, "Eh, lu udah sarapan?" Sasha mengalihkan pembicaraan.

Arash menggeleng, "Belom, gue biasa sarapan di kampus sih, bareng Vera." Arash mengucapkan kalimat itu tanpa rasa bersalah.

Sasha menggenggam erat pagar besi itu.

"Oh, tunggu bentar, ya. Gue ambil tas dulu." Sasha masuk ke dalam dengan perasaan tak menentu. Ingin rasanya menolak ajakan Arash, tapi sudah tidak ada waktu lagi. Sudah siang juga, sudah pasti akan terlambat ke kampus jika Sasha menggunakan angkutan umum, dikarenakan jalanan yang macet pula.

Sasha meletakkan beberapa sandwich dalam kotak bekal yang berbeda, lalu memasukkan ke dalam tasnya.

"Hayu ...," ucap Sasha dengan raut wajah cemberut. Arash dengan mudah menangkap sinyal tidak bagus di wajah Sasha.

"Lu kenapa manyun? Tadi biasa aja. Kenapa sekarang malah kaya mau hujan plus geledek?" Arash menatap lekat di wajah Sasha. Gadis itu membuang jauh pandangan ke arah lain.

"Marah ...?" tanya Arash.

Sasha tak menjawab, kedua tangannya asyik memainkan tali helm miliknya.

"Kalau mau marah, ya sana. Marah aja dulu. Kalo udah kelar marahnya kasih tau gue, kita langsung berangkat."

Sasha menatap wajah Arash, lelaki itu kembali memakai helm full face miliknya. Sasha berjalan kembali ke dalam rumah, mengunci pintu juga pagar, lalu mengenakan helm. Kedua tangan Sasha meraih bahu Arash, kakinya pun menginjak pedal dan duduk manis di boncengan.

"Siap, Nona?" goda Arash.

Sasha tersenyum simpul saat Arash menggodanya. Ia lalu menutup kaca helm, agar Arash tidak melihat wajahnya yang merona. Kedua tangannya berpegangan pada ransel Arash, takut-takut lelaki yang memboncengnya akan ngebut seperti kemarin sore.

Arash melajukan motornya ke jalan besar, banyak kendaraan lain mulai memadati jalanan. Lelaki di hadapannya mahir berkendara, meski jalanan ramai Arash mampu menyalip dan menghindari kemacetan.

"Sudah sampe, Nona. Adakah tempat lain yang hendak Nona kunjungi?" Arash meledek Sasha yang tak kunjung turun dari boncengan. Gadis itu malah melamun.

"Ngeledek gue mulu. Jatuh cinta lu ntar," ucap Sasha berusaha turun dari boncengan.

Sasha membenarkan letak gamisnya yang sedikit terlipat, lalu membuka helm. Pengait helm milik Sasha sedikit berkarat membuat Sasha susah melepaskan.

"Kenapa?" Arash turun dari motor dan meletakkan helmnya di stang.

"Nggak apa-apa." Sasha membalikkan badan menghindari pandangan Arash, tangannya tetap berusaha membuka pengait helm. Sia-sia . Terpaksa membiarkan benda tersebut tetap di kepalanya.

"Sini, gue bukain!" Arash berdiri di hadapan Sasha, tangannya hendak meraih pengait helm.

"Heh, mau ngapain lu? Megang gue? Bukan muhrim!" Tubuh Sasha mundur ke belakang, saat tangan Arash nyaris menyentuh dagunya.

"Otak lu jelek. Gue mau bantuin lu buka itu helm. Kalo nggak butuh bantuan, ya udah." Arash membalikkan badannya, hendak masuk ke dalam kedai.

"Eh, buru bukain. Tapi jangan megang gue. Bukan muhrim!" Ancam Sasha.

Tubuh tinggi Arash kembali menghadap Sasha, tangannya meraih pengait yang menempel di dagu Sasha. Gadis itu memicingkan mata, juga merasakan dadanya sedikit berdebar. Wajah Arash hanya berjarak beberapa senti dari dirinya. Ini adalah kali pertama Sasha bisa sedekat ini dengan lelaki yang dipuja satu kampus.

Dengan sedikit tarikan Arash berhasil membuka pengait itu. Helm pun terlepas dari kepala Sasha.

Tanpa Arash sadari, sikapnya terhadap Sasha membuat seorang lelaki yang berada dalam mobil di seberang jalan terbakar api cemburu. Sudah dari subuh mobil hitam itu terparkir di sana.

"Sial! Berani benar lelaki itu menyentuh Sasha!" Lelaki itu memukul stang kemudi. Marah.

Di simpang jalan, seorang gadis menatap dengan sinis, juga jijik pada Sasha, "Punya nyali juga dia dekat dengan Arash!" Kedua tangan gadis itu menggenggam erat ransel di bahunya. Kesal.

"Makasih ya, Mas. Udah jagain motor saya," ucap Sasha pada seorang lelaki pemilik kedai. Pria itu pun mengangguk pada Sasha dan Arash.

Usai berbasa-basi, Sasha pun berlalu dari kedai. Arash mengikuti dari belakang.

"Gue duluan ya, Rash. Ada kelas pagi." Sasha melambaikan tangannya, melajukan motor ke arah jalan besar.

Drttt ... drttt ....

Ponsel Arash bergetar, sebuah chat masuk.

[Kak, di mana?] Vera mengirimkan chat.

[Kedai kopi, tempat biasa.]

[Aku ke sana, ya!]

[Oke!]

Arash kembali masuk ke dalam kedai usai memesan kopi hitam panas. Lalu membaca sebuah buku.

My SunshineWhere stories live. Discover now