Part. 7

18 1 0
                                    

Rizal berjalan tertatih menjauh dari trotoar, lalu duduk di sebuah bangku plastik di sebuah warung pinggir jalan. Ia memperhatikan sekeliling jalan yang sudah tak ramai, sembari tangannya memijat kaki yang sedianya terkilir.

"Pak, pernah liat gadis ini?" tanya Rizal pada bapak pemilik warung, seraya menyodorkan sebuah poto seorang wanita dengan seorang pria, sudah tentu lelaki itu dirinya sendiri.

Bapak pemilik warung menggelengkan kepala, dengan pasrah ia kembali menyimpan poto tersebut. Sudah bertahun-tahun Rizal mencari sosok Sasha.

"Bagaimana bisa aku mencari sasha di Jakarta. Kota ini terlalu luas untuk mencari seorang wanita," gumamnya.

Setelah dirasa tak sakit, Rizal bangkit dan kembali berjalan. Entah kemana.

**

Pltakk ....

Bu Yus melempar penghapus kayu ke arah Sasha. Semua mahasiswa menatap ke arahnya. Wajah Sasha pucat saat bola mata wanita keturunan Batak itu menatapnya.

Lemparannya meleset, benda itu pun jatuh ke lantai.

"Sasha. Kenapa melamun?" tanya Bu Yus dengan logat bicara khas Medan.

"Maaf, Bu. Kepala saya agak sedikit pusing. Kalau boleh saya ijin ke ruang kesehatan."

"Ya sudah. Daripada kamu di sini nanti malah mengganggu konsentrasi teman-teman yang lain."

"Makasih, Bu." Sasha meraih tasnya, lalu keluar dari kelas menuju ruang kesehatan.

Bagaimana tidak pucat, semalaman dia tidak tidur, bayangan wajah Rizal kembali hadir dalam ingatan. Ditambah kehadiran Rizal di depan mata yang tak pernah ia sangka sebelumnya.

Kepala Sasha terasa semakin berat, langkahnya semakin tidak teratur, dengan cepat tangannya memegang kursi kayu yang berjejer di teras kelas.

"Lu kenapa, Sha?" Arash tiba-tiba berdiri di sampingnya.

"Eh, lu, Rash. Gue nggak apa-apa kok." Sasha berusaha tersenyum.

"Boong, lu. Muka pucet udah kaya mayat begitu masih bilang nggak apa-apa. Hayu gue anter ke ruang kesehatan." Arash mengulurkan tangannya.

"Nggak, usah. Gue bisa jalan sendiri."

"Nggak usah batu. Hayu cepetan pegang tangan gue. Lu pingsan ntar kalo nggak ada pegangin."

"Lu ngapain di sini? Bolos kelas?" tanya Sasha sembari memegangi kepalanya.

"Habis dari toilet gue."

Sasha tak menjawab, kepalanya semakin terasa pusing.

"Udah, hayu sini pegangan sama gue."

"Pegang, lu? Bukan muhrim dodol!"

"Heh, baju tangan panjang begini lu nggak bakal nyentuh gue. Udah sini cepetan. Lu udah pucet banget."

Mau tidak mau, Sasha berpegangan pada lengan Arash. Hanya ibu jari dan telunjuknya yang memegangi baju Arash. Lelaki itu selalu saja menjadi malaikat penolong juga pelindung dirinya.

Dari balik papan mading kampus, sepasang mata menatap tajam ke arah Sasha dan Arash. Mulutnya mengatup menahan amarah.

Arash melirik gadis yang memegangi lengannya yang tampak berpegangan dengan ragu-ragu. Lelaki itu berjalan menyeimbangi langkah Sasha yang berjalan pelan. Tidak seperti sosok Sasha yang biasanya yang ceria, tegas, cara berjalan yang nyaris kaya orang lagi berlari, juga sedikit cengeng, tapi kali ini ia dapati sosok Sasha yang lemah dan butuh perlindungan.

"Lu megang yang kuat, napa. Jijik gitu pegangan gue?"

Sasha melirik tajam lelaki jangkung di sebelahnya, juga bibir yang ia monyongkan.

"Lu, bisa nggak jangan ngeselin?"

"Lagian lu begitu, megang baju gue. Pegang lengan gue bener-bener, biar lu nggak jatuh dodol."

"Lu, bawel banget sih!" Sasha sewot.

"Lu yang nggak bisa nurut." Arash pun tak mau kalah.

"Ya udah, ruang kesehatan udah deket. Sono lu balik ke kelas." Sasha melepas pegangannya. Tampak pada baju Arash bekas pegangan seperti cubitan.

"Oke. Gue balik ke kelas. Lu istirahat." Arash membalikkan badannya, meninggalkan Sasha di depan rumah kesehatan.

"Arash!" panggil Sasha.

Lelaki berkacamata itu pun menoleh, "Apaan? Mau gue temenin tidur di dalam?"

"Otak lu mesum. Nggak jadi bilang." Sasha masuk ke dalam ruangan, menutupi wajahnya yang terasa panas. Jatuh cinta kah ia?

**

Usai meminum obat yang diberikan petugas kesehatan Sasha berbaring di ranjang. Kedua matanya tertutup rapat.

Seorang wanita memakai baju moca masuk ke dalam ruang kesehatan. Bola matanya memutar melihat satu persatu ranjang yang dihalangi gorden putih di ruangan tersebut.

Langkahnya terhenti pada ranjang yang tertutup rapat oleh gorden di sudut ruangan. Gadis itu mendekati Sasha yang sedang tertidur.

Bola mata itu melihat tajam pada tubuh Sasha. Ia melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Ck, apa istimewanya wanita ini! Sampe Kak Arash betah dekat sama dia," gumamnya.

Sasha membuka mata, menyadari dirinya kedatangan seseorang. Ia lalu bangkit dan duduk di tepi ranjang.

"Eh, kamu yang kemarin? Cari siapa?" tanya Sasha.

Gadis itu gelagapan tak tahu harus menjawab apa. Dengan cepat ia membalikkan badannya dan keluar dari ruangan tersebut.

"Ngapain Vera di sini?" tanya Sasha dalam hati.

My SunshineOnde histórias criam vida. Descubra agora