Part. 4

27 2 0
                                    


Sasha membuka matanya, memegang kepala yang terasa berat. Ia pun bangkit ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian, karena sejak pulang kuliah tadi ia malah ketiduran dan belum sempat berganti pakaian.

Wajahnya terlihat sedikit segar setelah ia mengganti pakaian, namun sorot matanya tak menampakkan keceriaan. Bagaimana tidak kejadian beberapa tahun lalu yang benar-benar menghancurkan hatinya. Membuat malu keluarga besarnya, kini hadir kembali dalam mimpi.

Dengan langkah gontai ia berjalan menuju dapur.

"Sha, mau makan?"

"Astagfirullah!" seru Sasha kaget mendengar namanya dipanggil.

"Kenapa, kok bengong begitu?"

"Nggak bengong, Ayah aja yang bikin Sha kaget."

"Itu namanya bengong, lah kamu aja Ayah perhatikan cuma berdiri di depan meja makan. Ngapain coba?" Selidik Pak Yoga.

"Ngg ... tadinya Sasha mau manggil Ayah buat makan bareng."

"Ayah udah makan, kamu makan aja. Ayah cuma mau ambil minum. Habis makan, tidur. Besok kuliah, kan?" Pak Yoga berlalu usai mengambil segelas air.

"Humm." Sasha duduk dan mulai menyantap makanan yang ada di hadapannya.

**

Baru pukul tujuh, Sasha sudah rapi dan siap berangkat ke kampus. Kendaraan roda dua kesayangannya pun sudah ia panaskan, setelah pamit pada ayahnya, Sasha pun melajukan motor berwarna merah muda tersebut, menerobos jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan yang lain.

Tiga puluh menit perjalanan, beruntung Sasha bisa lolos dari kemacetan. Meski dia seorang wanita, kemampuannya berkendara tidak diragukan lagi. Keuletan dan kerja keras Pak Yoga mendidik Sasha menjadi sosok wanita mandiri tidak sia-sia.

Sasha melepas helm dan menaruhnya dalam bagasi, setelah semua dirasa aman dan terkunci, kakinya melangkah menuju kelas. Langkahnya terhenti saat ia dapati sosok Arash.

"Arr ...." Sasha hendak berteriak memanggil, namun suaranya tercekat saat sosok Vera muncul dari balik punggungnya. Mengenakan gamis indah, juga hijab yang membuatnya terlihat lebih anggun juga cantik. Sungguh serasi saat ia berdiri di samping Arash.

Sasha merasakan perih di hatinya. Gadis itupun pun menarik napas panjang, menata kembali kekuatan dan perlahan berjalan seperti biasa.

Arash melewati Sasha tanpa menegurnya, pria berkacamata itu tetap asyik mengobrol dengan Vera. Sikap dingin juga rasa tak pedulinya tiba-tiba kembali. Sasha menghentikan langkah lalu membalikkan badan, Arash benar-benar tidak ada di sana. Ia sudah lenyap bersama Vera, gadis sempurna pujaan semua lelaki.

Sasha menyeka air matanya dengan ujung hijab, berusaha meredam gejolak di dadanya. Sesampainya di kelas, ia berusaha menenggelamkan diri dalam tebalnya buku, juga berusaha konsentrasi dengan wawancara yang akan segera ia hadapi.

Wawancara berakhir, dan ia puas dengan apa yang lakukan. Sasha berhasil menahan diri dan tetap konsentrasi dengan kuliahnya. Usai kelas ia pun melakukan rutinitas favoritnya, menyendiri di atap kampus.

Atap gedung jurusan akuntansi adalah tempat yang nyaman. Selain atapnya yang memang rapi, juga jarang ada yang datang, kecuali dirinya, juga lelaki yang baru-baru ini ia ketahui suka tidur di dalam gudang. Arash.

Sasha meletakkan tas kecilnya di lantai, lalu duduk pada kursi kayu yang berada di sudut. Atap gedung yang memiliki atap ia rasa nyaman untuk menyendiri, tak perlu ia khawatir hujan atau panas, ia akan tetap aman berada di sana, kecuali jika Arash memergoki dirinya dan ikut campur.

"Lu, di sini lagi?" Arash muncul tiba-tiba dan mengagetkan Sasha.

"Lu kaya setan, suka bener tiba-tiba muncul. Untung jantung gue sehat." Sasha berdecak sebal.

"Kalo nggak sehat, gimana?" tanya Sasha sewot.

"Mati!" ucap Sasha tanpa menoleh kepada lawan bicaranya. Hatinya masih sedikit kesal soal tadi pagi yang ia rasa keterlaluan. Bagaimana bisa ia pura-pura tidak melihat saat ia berjalan di sampingnya.

"Jadi setan, dong!" Arash benar-benar menguji kesabaran gadis itu.

"Iya, gue jadi setan dan menghantui lu!" Sasha memalingkan wajahnya, menatap Arash yang berdiri di belakangnya. Arash tersenyum simpul, memunculkan lesung pipi di wajahnya, dan membuat pria itu terlihat semakin aduhai.

"Ngapain lu di sini?" tanya Arash.

"Nyari jodoh," jawab Sasha asal.

Bhaha ... hahaha ...

Arash tertawa terbahak-bahak, lalu duduk di sampingnya. Sasha menatap heran juga takjub pada Arash. Ia seperti melihat dua sisi pribadi berbeda. Di satu sisi saat ia bersama Vera, bisa tahan untuk tidak usil, tapi saat berdua seperti ini, usilnya setengah mampus.

"Ada yang lucu?" tanya Sasha sinis.

"Judes amat, Neng. Cepat tua loh." goda Arash.

"Bodo amat."

"Btw, Amat udah pinter." Arash tetap dengan sikapnya yang santai.

"Iya, sekarang gantian lu yang oon!" Sasha tetap dengan ucapannya yang masih dengan nada tinggi.

Arash memegangi perutnya yang keram, sedari tadi tak kunjung berhenti tertawa.

"Sorry!" ucap Arash. Tawanya terhenti dan raut wajahnya mulai serius.

"Apa!" jawab Sasha singkat. Enggan melihat lawan bicaranya, matanya tetap memandang lurus ke depan.

"Soal tadi pagi." Arash melirik sekilas ke arah Sasha.

"Sadar?"

"Humm," gumam Arash.

"Nggak apa-apa. Santai aja."

"Humm. Oke." jawab Arash, singkat.

"Dah, ah. Mau balik." Sasha meraih tasnya dan berlalu meninggalkan Arash.

"Hati-hati, Sha." Arash memandang Sasha yang berlalu.

Tanpa menoleh ia pergi, sekuat hati ia menyadarkan dirinya agar tak lemah. Dirinya tidak pantas untuk Arash, satu-satunya wanita yang pantas ada di sampingnya adalah Vera. Dan Sasha merasa dirinya bukan orang yang pantas untuk bersaing dengan Vera untuk mendapatkan Arash.

Sasha menuruni tangga terakhir, saat dirinya hendak keluar gedung ia berpapasan dengan gadis yang sedang ia pikirkan. Vera.

"Eh, maaf, Kak. Liat Arash, nggak?" Vera celingukan mencari sosok Arash. Ingin rasanya ia berlaku tanpa menjawab, tapi ia rasanya tak sopan.

"Maaf, Arash siapa ya? Saya nggak kenal."

"Masa sih Kakak nggak kenal sama Arash. Satu kampus aja kenal siapa dia," tanya Vera dengan nada sedikit sombong.

"Duh, maaf ya. Saya benar-benar nggak kenal. Coba tanya sama mahasiswa lain. Mungkin ada yang tahu di mana orang yang kamu cari."

"Loh, bukannya Kakak satu jurusan sama Arash. Bohong Kakak nggak tahu Arash ada di mana?"

"Di kelas saya nggak ada namanya Arash. Katamu dia satu jurusan sama saya, tapi saya nggak kenal sama dia." Sasha mulai tersulut emosi.

"Coba kamu tanya sama yang lain, satu jurusan bukan berarti satu kelas. Ini kampus mahasiswa banyak. Jadi maaf, saya buru-buru."  Sasha berlalu meninggalkan Vera yang masih ingin menanyainya.

Setelah memakai helm, ia melajukan motornya. Pulang.

My SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang