Part. 16

21 1 0
                                    


Pagi ini cuaca cukup cerah, tapi tidak bagi Sasha. Terlihat garis hitam di mata bagian bawah. Juga lipatan mata yang sedikit bengkak. Yang melihat pun sudah bisa menebak, habis menangis semalaman, juga kena insomnia. Kejadian di pantai kemarin sore membuat hatinya kembali sakit, juga tidak bisa tidur.

Gadis itu dengan tenang menikmati bekal sandwich yang dibawanya dari rumah, mengambil notebook dan sebuah pulpen. Sasha lebih suka menghabiskan waktunya dengan menulis. Isi hatinya tercurahkan dalam bait puisi di dalam benda itu.

Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, sedangkan kelas sudah selesai, saatnya untuk bersantai sejenak, menikmati bekal di depan kelas sebelum pulang.

“Hay, Sasha.” Doni menepuk bahu Sasha dengan ceria, di sebelahnya Arash berdiri. Enggan menyapa karena sudah dipastikan gadis itu masih marah padanya. Sasha melihat sekilas ke arah Doni, lalu kembali fokus menulis.

“Puisi karya siapa tuh? Bagus juga.” Lelaki berambut ikal itu duduk di sebelah kiri Sasha, lalu mengambil sepotong sandwich yang tergeletak tanpa permisi. Gadis itu membiarkan Doni makan bekalnya, karena lelaki itu adalah orang pertama yang menjadi temannya. Meski tidak terlalu akrab, tapi komunikasi mereka lancar, dan selalu baik-baik saja.

“Lu bisa nulis puisi, Sha?” tanya Doni dengan mulut penuh sandwich. Sasha mengangguk. Tangannya meraih kotak bekal yang kosong, lalu menyimpannya dalam tas.

“Oya, itu di Mading ada lomba nulis puisi loh. Masukin gih, siapa tahu menang.” Arash membuka suara, sudah dia duga, gadis itu tidak menjawab usulan darinya. Melirik ke arahnya pun tidak, padahal wujudnya asli sedang duduk di sebelah Doni.

“Iya, benar. Gue daftarin mau nggak?” Doni menawarkan diri. Sasha mengalihkan pandangan ke arah lelaki di sampingnya, senyumnya merekah, diiringi dengan  anggukan kepala. Sasha kembali merapikan notebook juga alat tulisnya, memasukkan ke dalam tas, dan beranjak menuju ruang komputer. Disusul Arash dan Doni di belakangnya.

Menyusuri koridor kampus yang penuh mahasiswa, ketiganya berjalan menuju ruang komputer. Di ruangan itu semua mahasiswa bebas menggunakan fasilitas kampus.

“Kak Arash!” Vera muncul menghalangi jalan ketiganya. Sasha dengan tak acuh berlalu serta menarik ransel Doni. Lelaki berkulit hitam manis itu pun pasrah saat Sasha menyeretnya berlalu melewati Vera yang berdiri di depannya.

“Kalo udah kelar, gue tunggu di parkiran, Don!” teriak Arash. Lelaki itu melambaikan tangannya, karena sudah terlalu jauh dari posisi Arash berdiri.

Kepala gadis itu dipenuhi pertanyaan tentang kisah Arash dan Vera. Ingin rasanya Sasha bertanya, tapi dengan semua sikap yang ditujukan Arash padanya, sudah ia dapati kesimpulan bahwa lelaki itu enggan menjawab pertanyaannya.

Sasha berusaha fokus dengan layar pipih di hadapannya. Doni meraih sebuah kursi di sebelah dan duduk di samping gadis itu. Komputer menyala, jemari lentik Sasha mulai mengetik lima buah puisi untuk lomba.

“Sudah selesai!” Sasha menyandarkan punggungnya ke kursi, giliran Doni yang mengambil alih, naskah puisi karya Sasha ia kirimkan melalui email yang tertera pada selebaran di Mading.

“Oke, finish!” ucap Doni mengembuskan nafas puas diri. Ia menatap Sasha yang melamun.

“Mikirin apaan, Sha?” Doni mencolek lengan Sasha. Gadis itu menoleh, lalu tersenyum, “gue nggak apa-apa kok. Eh, by the way udah beres kan?. Yu balik.” Sasha bangkit dari duduknya, namun lengannya dicekal Doni.

“Lu bengong mikirin apaan, Sha?” tanya Doni penuh selidik. Bola mata gadis itu berputar, berusaha mencari alasan.

“Apaan sih, Don? Gue nggak mikirin apa-apa kok.” Sasha berdiri dan lagi-lagi Doni mencekal dan membuat gadis  itu kembali pada posisi duduk.

“Nggak usah bohong sama gue. Kita udah temenan lama. Jujur aja sih. Lu cemburu liat Arash bareng Vera?” Doni menatap lebih dekat ke wajah Sasha yang menunduk. Kedua mata gadis itu terpejam, Doni melihat bahu temannya itu bergetar. Bulir bening jatuh ke pangkuan Sasha. Gadis itu menangis.

“Sha ....”  Doni menyentuh bahunya, “ada apa-apa cerita ke gue. Gue akan bantu lu semampu yang gue bisa.”

Sasha meraih tissue dari dalam tas, menyeka kedua matanya yang basah oleh air mata. Tapi ia belum sanggup untuk menatap Doni. Lelaki itu menyandarkan punggungnya di kursi, menanti dengan sabar sahabatnya untuk bercerita.
Sasha mengangkat wajahnya dan menatap Doni yang duduk di sebelah, “Don, gue mau tanya. Arash sama Vera pacaran ya?”

Lelaki itu mengangkat alisnya sebelah, mencoba mencerna pertanyaan Sasha.
“Nggak. Kata siapa?”

“Kok mereka bisa dekat banget. Sama gue Arash judes dan nggak peduli. Sok dingin pula.”
“Vera itu adik kelas gue. Dan Arash murid pindahan dari Aceh waktu kelas dua SMA. Makanya bisa kenal dekat. Dan memang dulu mereka sempat dekat dan pacaran, tapi nggak lama.”

“Putus ..? Kok bisa?”
“Gue nggak tahu.” Doni menggelengkan kepalanya, tangannya meraih komputer dan mematikan benda itu, “udah yuk. Balik. Gue ada perlu sama adek gue.” Lelaki hitam manis itu pun bangkit, disusul Sasha, lalu keduanya keluar dari ruang komputer.

“Thanks ya, Don. Udah bantuin gue.” Sasha menepuk lengan Doni, “ gue balik dulu. Dah ....” Gadis itu melambaikan tangannya ke arah Doni, berlalu meninggalkan lelaki itu.

“Halo ... lu di mana?”
‘ Gue di tempat biasa ...,' terdengar suara Arash dari seberang telepon.
“Oke, gue ke sana.”

Doni mematikan panggilan telepon, lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya, bergegas menuju parkiran hendak menemui Arash di kedai, tempat biasa mereka menghabiskan waktu bersama.

**

“Vera mana, Rash?” lelaki hitam manis itu mencari sosok gadis bermata indah milik Vera. Saat ia hanya mendapati sosok Arash yang duduk sendirian menikmati es kopi. Lelaki berkacamata itu duduk di sudut kedai dan sedang membaca sebuah buku novel karya penulis ternama. Doni meletakkan tasnya di meja, lalu memesan minuman yang sama.

“Tadi Vera ngapain?” tanya Doni.
“Minta gue buat anterin dia beli buku. Tapi gue tolak.”

“Tadi gimana?” Arash mengalihkan pembicaraan, lalu menutup buku, meletakkannya di atas meja,  menyeruput minuman miliknya dan menatap Doni.

“Beres, Bro. Tenang aja.”
“Oya, emang siapa sih yang ngadain lomba puisi di kampus.” tanya Arash penasaran.
“Nih, brosur kecil yang gue ambil tadi di Mading.” Doni menyodorkan selembar kertas dan meletakkannya di atas meja. Arash meraih benda itu, membacanya dengan saksama.

“Rizal? Ini siapa, Don?” Telunjuk lelaki itu mengarahkan pada Doni, lelaki hitam manis itu pun melihat lebih dekat nama yang ditunjuk temannya.

“Oh, dia editor sekaligus owner di event puisi ini.” Doni memalingkan wajah dari brosur di tangan Arash, dan menyeruput es kopi yang baru saja diantar oleh seorang pelayan.

Lelaki berkacamata itu memandang dengan teliti nama yang tertera di sana. Rizal ... nama yang sama dengan lelaki yang neror Sasha belakangan ini. Apa mungkin itu dia? Atau hanya sekadar nama saja yang sama. Kepala Arash terasa panas memikirkan hal itu, ia lalu meraih gelas minum di hadapannya, dan meminum isinya sampai habis.

“Oya, lu sama Sasha lagi kenapa?” Doni melirik Arash. Lelaki itu mendapati gelagat aneh di wajah sahabatnya.

“Kenapa apanya?” Arash berpura-pura bingung dengan pertanyaan Doni.

“Kalian berantem? Kok kayanya kalian lagi perang dingin? Cerita ke gue coba.”

“Nggak ada apa-apa, Doni. Lu kan tau gue kaya gimana sama orang.”

“Iya deh, iya. Arash yang sok cool, cuek, judes. Dan sifat buruk semua ada di diri lu.” Doni berkata dengan mimik wajah yang dia buat lucu. Dan itu membuat Arash tertawa.

“Oya, tadi Sasha nangis loh, Rash!” Doni meraih gelas minuman, hendak meminum isinya, tapi tertahan oleh tangan Arash.

“Nangis? Kenapa?” selidik Arash.

“Nggak tau. Dia nggak cerita apa pun ke gue!” Doni menepis tangan Arash, lalu menyeruput minuman miliknya.

Arash bangkit dan meraih tasnya, “mau ke mana?” tanya Doni.

“Ke kuburan ... ya mau nyamperin Sasha dodol. Gue takut terjadi sesuatu sama dia.”
“Dia udah balik tau!”

Langkah Arash terhenti, “kenapa nggak bilang dari tadi sih, Don!” lelaki berkacamata itu membalikkan badannya, menatap ke arah Doni.

“ Kenapa sih sama kalian berdua? Ada rahasia apa yang kalian sembunyikan dari gue?”

“Kepo, lu!”

Lelaki itu berlari keluar kedai. Segera ia melajukan motornya, kembali ke kampus. Usai memarkirkan kendaraan, lelaki berhidung mancung itu mencari motor milik Sasha yang terparkir.

Mata coklatnya melihat motor matic berwarna merah yang berada di sudut parkiran, tanda si empunya masih berada di sekitar kampus. Kaki jenjangnya menelusuri kelas, mencari sosok Sasha. Kelas, kantin, juga perpustakaan yang biasa gadis itu datangi. Lelah, Arash menyandarkan diri di kursi yang berada di depan kelasnya.

“Lu di mana sih, Sha?” lirihnya. Lelaki berkacamata itu menyandarkan kepalanya ke dinding, ia pun memejamkan mata, berusaha mengingat ke mana saja Sasha pernah pergi. Seketika memorinya mengingat sebuah tempat di mana pertama mereka bertemu, “atap gedung ...!”

Seperti mendapatkan kekuatan baru, Arash sekuat tenaga berlari menuju atap gedung, tempat pertama kali mereka berjumpa.

“Sasha ...!” teriak Arash. Napasnya terengah-engah setelah menaiki puluhan anak tangga tanpa berhenti. Gadis berkerudung cokelat menoleh saat namanya dipanggil. Tapi bibir manisnya masih diam. Tak menjawab panggilan lelaki yang sudah mencarinya berkeliling kampus. Arash memegangi lututnya yang terasa mau lepas, Sasha memandangnya dengan wajah datar, pandangan gadis itu pun kembali fokus pada buku di pangkuannya.

Arash berjalan mendekat, memerhatikan Sasha yang sedang duduk tanpa peduli akan kehadirannya.

“Jangan kaya gini bisa? Gue udah minta maaf kemarin. Lalu salah gue yang mana lagi? Betah amat Sha diemin gue kaya gini.” Arash mengambil posisi duduk di sebelah kanan, wajahnya memandang lurus pada Sasha, sedangkan gadis itu dengan tenang tetap menulis. Lelaki itu tak tahan dengan sikap kekanak-kanakan gadis di hadapannya.

“Sha ...!” Arash merebut buku di pangkuannya, gadis itu menatap Arash dengan tatapan tidak suka.

“Balikin buku gue!”  bentak Sasha. Berusaha merebut kembali buku yang berada di genggaman Arash. Dengan sigap lelaki itu mengelak, dan Sasha tidak berhasil merebut kembali bukunya. Berulang kali mengambil barang miliknya, tapi Arash dengan lincah mengelak dari tangan Sasha yang berusaha mengambil.

Plukk ....

Sebuah foto terjatuh dari dalam buku. Lelaki berkacamata itu mengambil benda tersebut, “foto siapa nih, Sha?”

Arash memerhatikan, foto dua orang wanita yang memakai gamis yang sama, dengan motif kotak-kotak berwarna hitam putih, duduk di atas rumput di sebuah halaman masjid. Lama lelaki berkacamata itu mengamati selembar potret di tangannya, matanya mengamati salah satu dari wanita di foto tersebut, “Kaya Mak gue, Sha.” Telunjuknya mengarahkan pada salah satu wanita di foto tersebut.

“Jangan ngarang, lu. Ini foto Ibu gue waktu di Dayah dulu. Dan itu sahabatnya yang paling setia.” Sasha merebut foto juga buku dari tangan Arash. Lelaki itu tak melawan saat benda di tangannya kembali pada si pemilik.

“Dayah? Emang lu asli mana sih?” tanya Arash penasaran.

“Kepo ...!” Sasha memasukkan bukunya ke dalam tas.

“Eh, tapi. Gue kenal masjid yang ada di foto. Itu masjid letaknya nggak jauh dari rumah gue di kampung.”

Sasha tidak memedulikan ucapan Arash, langkah kaki itu tidak dapat dihentikan dan tetap berjalan turun dari atap gedung. Lelaki itu membiarkan Sasha dengan kehendak hatinya, rasanya percuma jika memaksa.

My SunshineWhere stories live. Discover now