Part. 6

16 1 0
                                    

"Assalamualaikum,"ucap Arash. Tangan kanannya mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam," seru suara seorang wanita dari dalam.

"Tumben telat, Bang, pulangnya?" tanyanya, saat melihat putra semata wayangnya pulang.

"Iya, Mak. Tadi ada tugas di kampus."

"Solat Maghrib dulu gih, nanti baru makan." Wanita paruh baya itu pun berlalu menuju dapur, Arash pun mengikuti.

"Eh, Mak. Itu jilbab dari pagi masih ijo aja. Mak blom mandi?" tanya Arash dengan nada menggoda.

"Nggak usah ngeledek, Bang. Sini duduk, Mak mau cerita." Perintahnya.

"Aduhai Mak Lia, ada apa? Tadi suruh Abang solat, sekarang suruh dengar Mak cerita. Mana yang harus Abang laksanakan dulu," ucap Arash sedikit terkekeh.

"Astghfirullah!" Mak Lia melempar tutup gelas di hadapannya, dengan sigap Arash merunduk.

Kluntang ....

Benda itu pun jatuh ke lantai.

"Ya Allah, Mak. Kenapa ihh. Mudah marah Abang becandain juga."

"Mak lagi nggak becanda, Mak serius, Abang." Mak Lia menyandarkan tubuhnya di kursi. Arash mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Kenapa, Mak. Bilang Abang?"

"Tadi Mak kecopetan di pasar."

"Astagfirullahal'adzim, Mak nggak apa-apa?" tanya Arash. Kedua tangannya menyentuh lengan, pipi, leher, juga wajah Mak Lia.

"Alhamdulillah, Mak nggak apa-apa. Cuma tadi pas belanja Mak nggak bisa bayar."

"Terus?" Wajah Arash mulai serius.

"Awalnya Mak batalin belanja itu, tapi si penjual bilang suruh Mak bawa. Ya akhirnya Mak bawa."

"Terus, Mak gimana bisa sampe rumah? Jalan kaki?" tanya Arash, asal.

"Mak di antar sama anaknya bapak itu. Mana cantik, baik, santun, insyaallah solehah."

"Siapa?" tanya Arash, penasaran.

"Itu dia, Bang. Mak belom sempat tanya nama dia siapa." Wajah Mak Lia tampak suram.

"Kok bisa Mak nggak tanya nama?"

"Iya, dia keburu pulang. Soalnya bapaknya itu telepon. Suruh cepat pulang. Takut kemalaman."

"Oh ...."

"Eh tapi, Bang. Dia pake baju jas sama kaya yang Abang pake."

"Maksud Mak, dia kuliah di kampus yang sama kaya Abang?"

Mak Lia mengangguk.

"Warna blazer nya apa?"

"Iya, sama kaya yang Abang pake. Jas kuning. Jurusan akuntansi."

Arash memutar otak, mencari siapa di antara teman sekelasnya yang memiliki ciri-ciri seperti yang Mak'nya bilang barusan. Juga dia memiliki seorang bapak yang berjualan sayur di pasar.

"Dah, lah Mak. Nanti Abang tanya di kampus. Abang mau solat Maghrib dulu. Nanti keburu habis waktunya."

"Ya sudah. Mak ambil wudhu, kita solat berjamaah." Mak Lia bangkit dari duduknya, dan mengambil wudhu.

**

Duarr ....

Sasha memperlambat laju motornya, segera ia menepi, lalu turun dari motornya. Terlihat jelas ban belakangnya bocor. Kedua matanya melihat sekeliling, mencari tambal ban terdekat, tapi tak ada.

"Pak, bengkel terdekat ada di mana ya?" tanyanya pada salah seorang pejalan kaki.

"Lurus, Neng. Sekitar lima ratus meter ada di pertigaan jalan, dekat konter." Lelaki itu pun berlalu setelah memberitahu tujuan Sasha.

Sasha terpaksa menuntun motornya, hari mulai gelap, dan jalanan tak seramai siang. Ia pun mempercepat langkahnya mencari bengkel terdekat.

Lampu konter menyala terang benderang, dan disebelahnya ada sebuah bengkel kecil.

"Maaf, Pak. Bengkelnya masih buka? Ban motor saya bocor." Sasha bertanya pada salah seorang lelaki yang sedang merokok.

"Oh, bisa, Neng." Lelaki itu pun mematikan rokoknya dan meletakkan di atas meja kecil, lalu mengambil alih motor Sasha untuk segera ditambal.

Sasha mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu mengetik sebuah pesan.

[Ayah, ban motor Sasha bocor, sekarang lagi ditambal di bengkel deket konter.]

Tak lama kemudian ada balasan.

[Oke, Ayah nyusul apa gimana?]

[Nggak usah, Yah. Sha bisa kok. Sebentar lagi juga beres ditambal motornya.]

[Oke, hati-hati, Sayang.]

[Iya, Ayah.]

Sasha menyimpan kembali handphone ke dalam tasnya, lalu mengeluarkan buku akuntansi, raut wajahnya seketika serius. Karena besok adalah wawancara penentuan.

Lima belas menit kemudian.

"Sudah beres, Neng." Lelaki itu menghampiri sasha.

"Oh, ya, Bang. Berapa?"

"Lima belas ribu aja."

Sasha mengambil uang pas lalu menyerahkan kepada lelaki itu.

Dengan cepat Sasha melajukan motornya. Dan, chittt ....

Sekuat tenaga Sasha mengerem motornya saat  seorang lelaki  menyebrang dengan tiba-tiba. Segera Sasha menepi dan menengok ke belakang. Terlihat seorang lelaki tergeletak di sana, Sasha lalu turun dan menghampiri lelaki tersebut.

Perlahan lelaki itu pun bangkit, dan berusaha untuk berdiri. Dari jarak tiga meter Sasha bisa melihat wajah lelaki tersebut dengan bantuan cahaya lampu jalan.

"Rizal ...?" gumamnya.

Meski sudah tiga tahun tidak bertemu muka saat perginya Rizal di malam pengantinnya, ia masih hapal gestur wajah lelaki tersebut. Perlahan Sasha melangkah mundur dan berlalu.

Lelaki itu pun bangkit, dan menepuk lengan juga kakinya yang kotor. Ia melihat Sasha yang sudah berada di atas motornya.

"Hey, Mba. Kamu nggak apa-apa?" teriak Rizal. Tapi dengan cepat Sasha Sudah berlalu.

My SunshineWhere stories live. Discover now