part 19

14 1 0
                                    



“Assalamualaikum ....” Rizal masuk ke dalam ruangan di mana ayah Sasha dirawat.
“Ngapain lagi lu ke sini?” Sasha menghadang langkah Rizal yang hendak mendekati ranjang. Mata bulat gadis itu menatap wajah Rizal yang terlihat senang.

“Ya Allah, Sha. Kapan lu bisa terima gue lagi? Harus pake cara apa lagi biar kita bisa kaya dulu lagi!” ucap Rizal dengan nada sedih. Gadis di hadapannya sama sekali tidak menyambut kedatangannya dengan senyuman. Masih tampak rona kebencian dari wajahnya.

“Apa ucapan gue kemarin kurang jelas? Gue nggak akan ngasih kesempatan kedua buat lu.”
Rizal berjalan mendekati sofa, meletakkan jinjingan parsel buah di atas meja, lalu duduk dengan santainya.
“Sasha ... sampai kapan pun gue nggak akan nyerah buat dapetin lu lagi. Gue mau nebus semua kesalahan di masa lalu.”
“Jangan mimpi ...!”
“Sha ....”
“Keluar ...!”
Rizal sangat paham, gadis di hadapannya masih belum mampu untuk memberikan kesempatan kedua. Tanpa perlawanan Rizal keluar dari ruangan bercat putih tersebut.

Sampai detik ini, hatinya masih tertutup untuk menerima cinta yang baru. Apa lagi kesempatan kedua untuk Rizal. Meskipun lelaki itu sudah mengembalikan semua uang yang pernah dia ambil, namun nyatanya Sasha belum bisa menerima. Hatinya masih sakit, juga luka yang lalu belum sembuh. Apa lagi sekarang telah hadir sosok baru yang membuatnya lebih baik.

Arash. Lelaki itu berhasil membuatnya jauh lebih dari sekadar bangkit, bahkan memberikan kekuatan baru padanya. Lelaki berkacamata itu benar-benar memberikan rasa nyaman yang sempurna, juga debar jantung yang jauh lebih indah dan berbeda dibandingkan saat dirinya masih menjalin hubungan dengan Rizal.
Sasha menepuk-nepuk kepalanya, kenapa dia harus memikirkan lelaki itu. Lelaki yang sama sekali tidak pernah menganggap dirinya ada. Bahkan setelah memberikan rasa nyaman Arash menghempaskan dirinya hingga ke jurang kekecewaan paling dalam.
Sasha menatap dirinya, sejak kemarin gadis itu belum mengganti baju, masih melekat di tubuhnya gamis yang ia pakai ke kampus kemarin. Sasha berjalan menuju sofa, menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata. Rasa kantuk mendera, dan ia pun hampir tertidur.

Drttt ... drttt ....

Mata gadis itu kembali terbuka saat ponsel di dalam saku gamisnya bergetar. Sasha memeriksa pesan pada aplikasi berlogo ponsel berwarna hijau tersebut. Pesan dari Doni.
[Sha ... lu nggak masuk?]
[Hummm ....] Pesan terkirim dan centang berwarna abu-abu berganti menjadi warna biru.
[Kenapa? Dicariin Arash, tuh.]
[Ngapain?]
[Kalian satu kelompok, kan?]
[Humm, bodo ah. Gue lagi sibuk.]
[Lu kenapa, Sha? Ada masalah apa? Cerita sama gue.]
Ahhh ... Sasha memang tidak pandai berbohong. Dari awal masuk dunia kampus, lelaki itu sudah dekat dengannya.

[Ayah sakit, Don.]
[Astagfirullah, sakit apa? Dirawat di mana?]
[Types, dehidrasi ringan dan kelelahan. Sekarang di rawat di rumah sakit harapan bunda dekat pasar.]
[Lu sama siapa di situ?]
[Gue sendirian. Lu kan tau di Jakarta gue nggak ada sodara. Cuma lu doang yang gue kenal.]
[Lu udah makan?]
[Belom, beliin gue makanan, Don. Mie ayam bakso ya.] balas Sasha diiringi emot nyengir. Gadis itu tidak segan meminta tolong apa pun pada Doni. Sejak awal masuk kampus, Doni sudah menjadi teman Sasha. Ditambah lagi, lelaki itu pernah menolong Sasha terhindar dari hukuman senior karena lupa membawa satu perlengkapan saat OSPEK.
[Oke, tunggu ya. Bentar lagi gue meluncur.]
[Thanks, Don.]

Sasha meletakkan ponselnya di atas meja, matanya kembali terpejam. Ia tak peduli dengan keadaan dirinya yang sama sekali belum ganti baju, setidaknya pakaian yang ia kenakan masih bersih dan bisa dipakai untuk solat di mushola rumah sakit.

Lima belas menit Sasha tertidur. Matanya kembali terbuka saat adzan Zuhur berkumandang. Ia bangkit dan berjalan keluar ruangan. Ia berjalan sempoyongan karena kepala yang masih berat juga sedikit mengantuk, ia pun duduk di kursi tunggu yang berjejer di depan kamar pasien.

“Assalamualaikum ....”

Sasha terlonjak kaget saat mendengar ucapan salam dari seorang lelaki. Di hadapannya berdiri Doni yang menenteng dua bungkus mie ayam pesanannya.

“Waalaikumsalam.” Sasha tersenyum ke arah Doni, bangkit dan mengambil alih jinjingan dari tangan lelaki itu.
“Thanks ya, Don,” ucap Sasha sambil membuka bungkusan plastik berwarna putih tersebut. Tanpa menunggu lama gadis itu pun mulai melahap makanan di tangannya.
“Sama-sama.”
“Lu sendirian kan?” tanya Sasha dengan mulut penuh mie ayam.
“Nggak ... gue berdua.”
“Sama ...?”
“Sama siapa lagi, kembaran gue, Arash.”
Gadis itu nyaris tersedak saat nama lelaki yang sedang ia hindari disebut namanya. Segera Sasha menyembunyikan kekagetan dengan terus melahap mie ayam dalam mangkuk yang terbuat dari sterofoam.

“Kembaran lu, mana?”
“Di belakang, lagi beli air minum.”
“Oh ... lu nggak makan?” Sasha menunjuk satu bungkus yang tersisa.

“Gue udah makan, tadi pas nunggu Arash nyari bahan buat skripsi gue makan duluan di kedainya, pas dia datang ya udah dibungkus aja.”

“Assalamualaikum ....”
Keduanya menoleh ke arah si pemilik suara. Arash datang dengan menenteng plastik merah berisi empat botol air mineral.

“Hay, Sha! Sehat?” tanya Arash. Sasha hanya terdiam, mulutnya menganga menatap sosok tinggi Arash yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu selalu terlihat memesona meski hanya mengenakan kaos dan celana jeans panjang.

Arash menjentikkan jari di depan wajah Sasha, “terpesona gitu lu ngeliat manusia seganteng gue?”

“Pede gila lu, prettt!” Sasha berpura-pura mengaduk makanan di tangannya, menghindari tatapan Arash. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Apa lagi di saat lelaki itu duduk di sebelahnya, menyantap mie ayam yang tergeletak di meja. Ingin rasanya Sasha menyandarkan kepala di bahunya. Meski bahu itu tidak sekekar milik Rizal, tapi hati gadis itu merasakan bahwa bahu milik Arash yang paling nyaman dijadikan untuk berkeluh-kesah.

“Ayah gimana, Sha? Udah baikan?” Doni memerhatikan Pak Yoga dari celah pintu kamar inap pasien yang sebagian terbuat dari kaca.

“Alhamdulillah, semalam sudah siuman. Kata dokter beberapa hari lagi udah boleh pulang. Tapi liat kondisi dulu.” Sasha membungkus wadah bekas makan, lalu membuangnya ke tempat sampah. Meraih sebotol air mineral dan meminum isinya hingga habis setengah.

“Habis nguli, Neng? Kayanya haus bener,” ledek Arash. Lelaki itu terus melahap makanan di tangannya tanpa memedulikan wajah Sasha yang memerah menahan marah.

“Kalo niat lu cuma buat nyari masalah sama gue, mending lu pergi dari sini, Rash.”
“Kalian ... bisa nggak jangan berantem. Ini rumah sakit.” Doni menatap ke arah dua sahabatnya yang duduk berdampingan.

“Temen lu nih yang duluan.” Sasha menunjuk ke arah Arash.
“Dasar cewek gila. Muka lu ngeselin!” Arash membalas menunjuk ke arah Sasha. Hatinya senang bisa kembali bertengkar dengannya.

“Kalian berantem terus, ayah Sasha sadar gue nikahin kalian,” ancam Doni.
“Ogah ...!” teriak Arash dan Sasha berbarengan, keduanya saling pandang. Jantung Sasha kembali berdebar kencang, setelah beberapa hari ini lemah karena menjauh dari Arash.

“Nah, kan. Gitu aja kalian kompak. Cocok dah.”
“Nggak usah asal kalo ngomong!” ucap Arash dan Sasha berbarengan lagi. Doni terkekeh melihat keduanya yang salah tingkah. Sasha meletakkan botol minuman di kursi. Wajahnya merona digoda Doni terus-menerus.

“Gue ke kamar mandi sebentar.” Sasha berlalu. Gadis itu menekan dada sebelah kirinya, degup jantung berdebar kencang, ia pun merasakan wajahnya terasa panas saat Arash mulai menggoda.

“Heh, Sha. Itu baju yang lu pake ke kampus kemaren, kan?” Arash menunjuk Sasha yang baru kembali dari kamar mandi.

“Peduli amat lu sama gue!” ketus Sasha.

“Anak gadis nggak boleh judes. Jodoh lu jauh ntar!” seru Arash.

“Jangan sok tau, lu. Udah kaya dukun bisa nebak jodoh gue.” Sasha berjalan mendekati keduanya, meraih tasnya dan mengambil dua lembar tissue guna me-lap wajah.

“Jodoh Sasha itu deket, gue liat kok dia lagi duduk makan mie ayam,” ucap doni. Sasha celingukan mencari sosok yang diucapkan Doni, satu-satunya lelaki yang sedang makan mie ayam cuma Arash. Meski di sekitar bangku tunggu banyak lelaki juga yang ikut duduk.

“Candaan lu garing, Don!” sembur Sasha. Lelaki berkulit hitam manis itu tersenyum simpul, “Don, gue minta tolong sama lu lagi, bisa?”

“Tolong, apaan?” tanya Doni.
“Jagain ayah sebentar, ya. Gue mau balik ke rumah. Belom ganti baju ini dari kemarin.”
“Boleh aja, lu pulang sama siapa?” tanya Doni. Ia meraih air mineral sampingnya.
“Gue naek angkot, lah. Kan motor gue di rumah.”
“Lu sama ayah ke sini naek apaan kemarin?” tanya Doni heran.
“Nanti aja gue ceritain. Sekarang nitip ayah, ya. Jagain. Gue bentar doang kok. Ganti baju sama bawa perlengkapan ayah juga.” Sasha meraih tasnya, dan hendak pergi.

“Udah sore loh, Sha. Jalan pasti macet. Arash aja anter lu, ya.”
“Ogah ... gue bisa jalan sendiri.” Cepat Sasha mencegah ucapan Doni.
Arash yang sedari tadi hanya diam mendengarkan keduanya ngobrol menimpali, “lu aja, Don yang anterin Sasha. Gue yang jaga ayahnya di sini,” usul Arash pada Doni.
“Nggak usah, gue nggak percaya sama manusia model kaya lu. Gue juga nggak mau ada apa-apa sama ayah klo gue biarin lu yang jaga.” Sasha masih dengan nada suaranya yang judes.

“Astagfirullah ... kalian berdua bikin gue gemes,” seloroh Doni, “Sha, lu diantar Arash biar cepet bisa balik ke sini lagi. Kalo pun naik kendaraan umum, udah pasti macet loh.”

Sasha memikirkan ucapan Doni, ada benarnya juga, diantar Arash pulang bisa lebih cepat untuk kembali ke rumah sakit.
“Heh, lu mau nggak gue anterin, kalo nggak gue mau tidur!” seru Arash. Ia pun membungkus kembali bekas sterofoam dan membuangnya ke tempat sampah.

Sasha bangkit, “niat nganterin nggak. Masih aja duduk!” Gadis itu berlalu dari depan ruangan, disusul Arash di belakangnya.

“Hati-hati, Rash!” seru Doni. Lelaki berambut ikal itu pun masuk ke dalam ruangan pasien. Doni memerhatikan lelaki paruh baya yang terbaring di atas ranjang, ia lalu berdiri di sebelah kanan, tangan kirinya menyentuh kening juga leher.

“Sasha ...,” ucap Pak Yoga lirih.

“Ayah ....” Doni meraih tangan kanan Pak Yoga dan menciumnya ta’zim. Lelaki berambut sedikit ikal itu sudah terbiasa memanggil dengan sebutan ‘Ayah, karena sudah dianggap seperti anak sendiri oleh lelaki paruh baya itu.

“Eh, Doni di sini? Udah lama?” tanya lelaki itu pelan, karena tenaganya belum pulih benar.
“Udah, Yah ... Ayah gimana keadaannya.”
“Alhamdulillah, sudah agak baikan. Ngomong-ngomong, Sasha ke mana?”
“Dia pulang, Yah. Katanya mau ganti baju. Nanti juga balik lagi, nggak lama.” Doni meraih kursi dan duduk di samping ranjang.

“Sama siapa?”
“Sama calon menantu, Ayah.” Doni terkekeh mengucapkan kalimat itu.

“Apa? Pacar Sasha? Emang anak Ayah punya pacar?” tanya Pak Yoga heran, karena selama ini Sasha tidak pernah bercerita sedang dekat dengan seorang lelaki.

“Nggak kok. Sasha diantar sama temen Doni namanya, Arash,” ucap Doni, menenangkan lelaki paruh baya tersebut. Sasha adalah wanita yang baik, tidak pernah sekalipun ia bertingkah aneh, gadis itu sangat berbakti dan sangat menyayangi ayahnya.

“Arash ...?”
“iya ....”
“Lelaki berkacamata, hidungnya mancung, tinggi, ganteng maksimal, tapi ngeselin setengah mampus,” ucap Pak Yoga dengan polosnya.

“Apa, Yah? Ayah udah pernah ketemu Arash?” tanya Doni heran. Padahal lelaki paruh baya itu belum pernah bertemu dengan Arash, bagaimana bisa tahu ciri-ciri sahabatnya itu.

“Nggak, Ayah pernah baca tulisan Sasha. Tulisannya gitu. Juga Ayah sering liat Sasha bengong sendiri saat bikin tulisan tentang lelaki bernama Arash.”

“Oh ... gitu. Tapi, Yah. Arash meskipun kata Ayah orangnya ngeselin, tapi dia itu baik, loh.” Doni membela.

“Tapi bagi Ayah, siapa pun lelaki yang bikin Sasha anak Ayah nangis, nggak akan Ayah maafkan, meski dia punya wajah ganteng kaya apa pun!”

Doni tertawa mendengar ucapan Pak Yoga, “ya udah. Ayah istirahat lagi, ya. Doni mau rebahan dulu di sofa. Ayah cepet sehat, aku kangen sayur cap cay buatan Ayah.” Pak Yoga tersenyum simpul lalu mengangguk, matanya pun kembali terpejam. Doni beranjak dari kursi menuju sofa, lelaki itu pun menyandarkan punggungnya lalu memejamkan mata.

**

“Sha, lu kenapa nggak masuk kemarin?” tanya Arash. Sasha yang duduk di boncengan tak menjawab. Bentuk motor Arash yang sedikit tidak normal membuat  Kedua tangan Sasha dengan kokoh memegang besi di bagian belakang motor milik Arash. Lututnya pun sekuat tenaga menahan beban tubuhnya agar tidak condong ke depan dan bisa jadi dadanya akan bersentuhan dengan punggung Arash.

“Lu cepetan deh, Rash. Gue udah sengsara ini duduk di boncengan lu!” Sasha merasakan dirinya sudah tidak sanggup menahan beban berat tubuhnya sendiri.

“Tangan lu jangan pegangan belakang, coba. Pegang depan aja sih. Gue nggak rabies kok!”
“Bukan soal lu rabies. Lu bukan muhrim gue dodol!”

“Demi langit dan bumi. Lu bawelnya Masya Allah, Sha! Pegangan punggung gue, itu ada tas gue. Pegangan itu aja. Ribet!” Arash mengucapkan dengan nada tinggi. Kesal ia pun tak memedulikan gadis di belakangnya yang tak merespon perintahnya.

Motor besar itu pun memasuki sebuah gang, dan berhenti di depan sebuah rumah bercat putih.

“Alhamdulillah ....” Sasha melompat dari boncengan. Segera ia membuka pintu gerbang, dengan langkah yang sedikit bergetar ia masuk ke dalam rumah. Meski masih sedikit gemetar, Sasha dengan cepat mandi dan berganti pakaian, usai solat Zuhur, ia pun merapikan pakaian Pak Yoga dan memasukkannya ke dalam sebuah tas.

Tubuhnya terasa sedikit segar setelah membersihkan diri, ia pun beranjak ke luar rumah. Usai mengunci pintu ia menuju teras. Mencari sosok Arash. Motor gede lelaki itu terparkir tepat di depan gerbang, tapi ia tak melihat si pemilik. Matanya berkeliling mencari sosok, tapi tak ia jumpai. Ia pun kembali ke dalam dan duduk di teras, tangannya meraih ponsel yang ia letakkan di dalam tas.

[Don, ayah gimana? Udah siuman belom?] Sasha mengirimkan pesan pada Doni. Hanya tertera satu centang abu-abu. Mungkin saja lelaki itu tertidur atau sedang ke kamar mandi. Karena tak kunjung dibalas, Sasha memasukkannya kembali ke dalam tas.

“Udah ...?” tanya Arash yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan.
“Dari mana?”
“Sholat Zuhur gue. Tadi nyari masjid terdekat.”
“Oh ... ya udah, hayu.” Sasha berdiri dan hendak meraih tali tas yang berisi pakaian ayahnya, tapi tangannya tertahan saat tangan lelaki itu juga hendak membantu membawakan tas tersebut. Gadis itu menatap tangannya yang berada dalam genggaman Arash. Wajah Sasha mendongak, matanya menatap Arash yang juga sedang menatapnya. Hati Sasha luluh dengan sikap hangat lelaki di hadapannya, berulang kali ia mencoba untuk melupakan dan pergi, berulang kali itu juga ia gagal.

Arash merasakan hangat dari tangan yang berada dalam genggamannya, sedikit desir indah menjalar ke setiap denyut nadinya.

“Tangan lu, minggir. Gue bisa bawa ini sendiri. Jangan manjain gue, bisa!” seru Sasha. Membuat Arash melepaskan genggamannya. Arash merasakan rasa hangat di wajahnya, juga debar di dada, lelaki itu berbalik dan berjalan menuju motornya terparkir, lalu memasangkan helm agar gadis itu tidak melihat wajahnya yang merona.

Sasha menekan keras dadanya yang berdetak lebih cepat, rasanya seperti habis berolahraga keliling lapangan, ia pun merasakan telapak tangan yang berkeringat. Sasha menjinjing tas tersebut dan menaruhnya di atas motor.

“Kenapa cuti kuliah? Ada apa?” tanya Arash. Sasha tidak berani menatap mata lelaki berkacamata itu, wajahnya tertunduk, tubuhnya berdiri mematung dekat motor, “kenapa ngehindarin gue? Salah gue apa lagi?” Arash berjalan mendekat dan berdiri di belakang Sasha. Gadis itu masih diam, tubuhnya sulit digerakkan apalagi harus membalikkan badan menghadapi pertanyaan Arash.

“Bukan urusan lu!”
“Tentu saja itu urusan gue! Lu itu partner skripsi gue ....”
“Oh ... jadi lu butuhin gue cuma buat skripsi?” Sasha menggenggam erat tali tas. Wajahnya merah padam, lelaki yang sangat ia rindukan tak pernah menganggap dirinya spesial.
“Maksud gue bukan itu!”
“Lalu apa?” gadis itu membalikkan badan, kepalanya mendongak memandang wajah Arash.
“Kenapa hindarin gue? Salah gue apa sama lu?”
“Kenapa nanya gue? Bukannya lu udah nggak mau tau urusan gue? Nggak mau tau juga perasaan gue!”

“Apa? Sasha ... jangan bikin gue bingung!”
“Berhenti pura-pura bodoh, Arash!” Sekuat tenaga Sasha menahan hatinya, juga menahan air matanya agar tak jatuh.
“Gue nanya, Sasha! Lu kenapa bersikap aneh ke gue?”
“Karena lu udah punya Vera! Gue nggak mau di-cap sebagai orang ketiga!” seru Sasha.
“Gue sama Vera nggak ada hubungan apa-apa!”
“Itu menurut lu! Pernah nggak lu tanya Vera, gimana perasaan dia ke lu?”
“Tapi keadaan ini nggak ada kaitannya sama Vera, Sha! Lu yang berubah, Kenapa?”
“Karena gue suka sama lu!”
“Kenapa bisa suka sama gue?” Dengan santainya Arash mengatakan kalimat itu.
“Karena gue nyaman!”
“Tapi gue nggak pernah ngerasa udah bikin lu nyaman.”

“Itu menurut lu, selama ini lu udah perhatian sama gue, peduli saat gue dalam masalah. Juga selalu ada saat gue butuh temen curhat. Dan tanpa lu sadari gue sayang sama lu. Gue mau hubungan ini lebih dari sekadar teman.”

“Sorry, Sha. Gue nggak ada maksud bikin lu kaya gini. Lillah ... gue bantu lu karena gue nggak mau lu berlarut-larut dalam keterpurukan.”

Gadis itu terdiam, wajahnya kembali menunduk sedih. Rasa yang selama ini Arash beri hanya sekadar ilusi, cuma rasa iba.

“Gue kehilangan lu sebagai sahabat gue, Sha!”
“Gue tau, gue juga paham. Lu mana mau suka sama janda!” Sasha mengangkat wajahnya dan menatap tubuh Arash yang tinggi.

“Sasha ...!” Bentak Arash.
“Gue paham kok, Rash! Nggak perlu lagi lu jelasin kaya apa buat gue sadar. Cukup sadar diri aja gue. Kita itu kaya langit dan bumi. Meski mampu saling memandang, tak akan pernah bisa menyatu!”
“Kenapa lu nggak balikan sama Rizal?”
Kedua alis Sasha bertaut, batinnya meronta. Kenapa lelaki yang dicintainya malah meminta agar dia rujuk dengan Rizal.

“Kenapa lu tiba-tiba nyuruh gue rujuk? Apa yang kalian bicarakan di belakang gue?”

Bola mata Arash memutar memandang sekeliling, tidak seperti tadi matanya yang selalu tertuju pada Sasha.
“Jawab gue!” seru Sasha.
“Maksudu lu apa? Gue nggak ngerti!”
“Lu nggak tau apa pura-pura bodoh? Please berhenti bersikap kaya gitu.”
“Rizal masih sayang sama lu, Sha! Apa salahnya mencoba lagi?”

“Lalu apa lu bakal jamin dia nggak bakal ninggalin gue lagi? Siapa lu yang maksa gue buat balikan lagi?”
“Rizal masih pantas buat dapatin kesempatan kedua itu, Sha! Bukannya puisi-puisi lu bakal dia cetak di halaman pertama di buku kan?”
“Nggak ada hubungannya, Arash!”

“Ada, Sha! Itu sebagai bukti dia bener-bener serius ngajak lu balikan. Dan berharap semoga hati lu bisa luluh dan terima dia kaya dulu lagi.”

“Sejauh itu lu tau perkembangan hidup gue. Asli ...  lu kaya  Tuhan yang turun ke bumi.” Sasha lelah berdebat terus-menerus dengan Arash.

“Nggak usah ngelantur, Sha! Gue ngomong gini karena setiap orang berhak diberikan kesempatan kedua.”

Sasha mengigit bibirnya yang bergetar, selama ini yang ada dalam hatinya hanya ada Arash. Meski yang selama ini terjadi hanyalah pertengkaran yang terjadi di antara mereka, tapi dari sanalah tercipta rasa nyaman, juga rasa sayang yang sulit untuk diungkapkan.
Drtt ... drttt ....

Ponsel di dalam saku blazer Arash bergetar, sebuah panggilan masuk. Tertulis di layar HP nama Vera. Lelaki itu pun menekan tombol hijau.
“Halo ... kenapa, Ve?”

Sasha berjalan melewati Arash, kembali masuk ke dalam rumah. Kaki kurusnya melangkah menuju dapur, tenggorokannya terasa kering setelah berdebat dengan Arash. Dari dalam Sasha melihat Arash yang masih mengobrol dengan Vera di ponsel. Ia pun mengunci pintu saat Arash memutuskan panggilan telepon.
“Udah ...?” tanya Sasha. Lelaki berkacamata itu pun mengangguk. Tangannya meraih helm milik Doni dan menyerahkan pada Sasha, tangan kanannya meraih kunci dan mulai menghidupkan mesin. Sasha memerhatikan lelaki di dekatnya. Debaran itu tak kunjung mereda, Arash benar-benar telah menghidupkan kembali rasa cinta yang telah sekian lama mati.

Sebuah mobil hitam berhenti di hadapan Arash dan Sasha. Mata gadis itu menyipit saat melihat si pemilik turun dari kendaraannya.
“Rizal ...?” gumam Sasha.

“Hay, Sayang. Kenapa nggak bilang kalo mau pulang ambil baju ayah? Tau gitu kan gue yang anterin tadi!” Rizal berjalan mendekati Sasha yang berdiri di sebelah Arash. Tanpa memedulikan lelaki berkacamata itu, Rizal meraih tas pakaian yang berada di atas motor, lalu tanpa permisi membawanya ke dalam mobil.

Sasha hanya bisa pasrah, saat melihat pemandangan itu, hati kecilnya berharap ada sedikit perlawanan dari Arash agar mencegah Rizal melakukan itu semua. Tapi lelaki berkacamata itu hanya diam tak bergeming. Bahkan saat Rizal meminta agar dirinya yang mengantar Sasha kembali ke rumah sakit pun, Arash dengan santai mengangguk.

Gadis itu merasakan hatinya perih, sakit. Ini adalah pertama kalinya Sasha jatuh cinta, juga merasakan diperlakukan spesial oleh seorang laki-laki. Sasha belum pernah merasakan debaran indah sebelumnya, rasa ini jauh lebih indah, berbeda saat dirinya masih bersama Rizal dahulu.

Sasha melepaskan helm yang dikenakan, memberikannya pada lelaki berkacamata. Gadis itu memandang wajah Arash yang tertutup helm, lelaki itu dengan santai mengikat helm Doni dengan tali di jok paling ujung. Dari  awal berjumpa hingga sekarang, Sasha sama sekali tidak mampu menebak isi hati Arash meski dari raut wajahnya. Dengan pasrah, Sasha masuk ke dalam mobil saat lelaki itu memintanya. Dari balik kaca, Sasha masih bisa melihat tubuh Arash yang masih diam berdiri di depan pintu pagar rumahnya.

My SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang