Part. 3

33 2 4
                                    


"Sha, tadi Rizal telepon ke HP Ayah." Pak Yoga menyambut kepulangan anak semata wayangnya, dan berdiri di ambang pintu.

"Humm." Sasha duduk di kursi teras, membuka sepatu lalu menyimpannya di rak yang terletak di sisi kanan rumahnya.

"Dia ...."

"Cukup, Pak. Aku nggak mau dengar apapun tentang lelaki itu!"

"Tapi, Sayang."

"No ...!" Bapak bungkam mendengar ucapan Sasha dengan nada membentak. Ini pertama kali gadis itu berkata dengan nada tinggi pada Bapaknya.

"Rizal ingin kembali, dan memperbaiki kesalahannya sama kamu."

"Maaf, Pak. Sha udah nggak minat. Jangankan Rizal, lelaki manapun nggak akan Sha terima. Trauma!"

"Nggak boleh gitu. Hidup itu harus maju. Kamu jangan patah semangat, Sayang." Bapak menyentuh bahu Sasha.

"Nggak, Pak. Sha mau fokus kuliah."

"Rizal sebenarnya anak yang baik, hanya saja ...."

"Pak, cukup. Sha nggak mau dengar apapun tentang lelaki yang tidak tahu malu itu. Apa Bapak nggak sakit hati?" Sasha menatap tajam ke arah lelaki paruh baya di sebelahnya, tampak kekhawatiran yang mendalam di sana.

"Pak, aku bukan anak kecil lagi. Harusnya Bapak punya rasa empati sedikit saja. Sha capek." Gadis itu pun bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan sang Bapak yang masih berada di teras.

Gadis itu membalikkan badan, Pak Yoga kini sudah duduk di kursi, kepalanya tertunduk dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya.

"Pak. Maaf jika kata-kata Sha bikin Bapak sakit hati. Sha nggak mau jatuh ke dalam lubang yang sama." ucapnya, lirih, dan berjalan mendekati Pak Yoga yang masih tertunduk.

Pak Yoga menarik napas panjang, terdengar berat saat beliau mengembuskan nafas.

"Sayang, Rizal anak yang baik. Bapak tahu betul karakternya."

"Tolong, Pak. Jangan paksa Sha untuk menerimanya lagi."

"Ya sudah jika itu keputusanmu. Bapak nggak akan ikut campur lagi."

"Makasih, Pak. Sha masuk dulu, mau ganti baju."

"Kalo lapar, ada makanan di meja."

"Humm." Sasha beranjak dari teras menuju kamar. Meletakkan ransel di atas meja, lalu merebahkan diri di atas kasur. Perlahan bayangan kelam satu tahun yang lalu kembali hadir di hadapan.

**

"Saya terima nikah dan kawinnya Sasha Aprilia Binti Yoga Wijayanto dengan mas kawin dua puluh gram emas beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai."

Jantung gadis yang memakai riasan pengantin berdebar-debar saat Rizal berjabat tangan mengucapkan Ijab Qabul dengan penghulu, disaksikan Bapak dan juga kerabat turut serta mendoakan pernikahan mereka.

"Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu melirik bapak-bapak yang duduk di samping kiri dan kanannya.

"Sah ...," seru keduanya bersamaan.

"Barakallah lakuma wabaraka'alaikuma wajama'a bainakuma fi khair." Semua orang yang hadir mengangkat kedua tangannya, dan Sasha ... jangan ditanya, sudah pasti ia bahagia. Bisa bersanding dengan orang yang selama satu tahun ini berada di sampingnya. Dan kini status mereka sudah halal di mata Agama.

Selesai proses ijab qobul, diteruskan sungkem kepada orang tua, juga tak lupa sanak saudara. Air mata Sasha tak mampu lagi tertahan saat ia menyentuh tangan Bapak. Bapak yang selama ini menjaganya dengan baik selepas ibu wafat. Beliaulah kekuatan Sasha untuk terus berdikari.

"Pak, mohon kiranya maafkan semua kesalahan Sha. Selama ini sudah banyak membebani Bapak. Ikhlas kiranya Bapak melepas Sha, hidup dengan Rizal yang sekarang sudah sah menjadi suami Sha."

Gadis itu membenamkan wajah di kaki Bapak, sementara kedua tangan Pak Yoga berada di atas kepala Sasha.

"Bapak ikhlaskan semuanya, Sayang. Tanggungjawab Bapak sudah selesai. Berbahagialah kamu dengan Rizal. Doa restu Bapak selalu menyertai, dan semoga kalian selalu rukun."

Selesai sungkem, dilanjutkan dengan saweran dan terakhir Sasha dan Rizal duduk di kursi pelaminan. Mimpi menjadi raja dan ratu sehari kini bukan hanya sekadar mimpi.

Satu persatu tamu undangan berdatangan. Tamu dari teman-teman Sasha, teman kantor Rizal, teman kerja Bapak Sasha yang kebanyakan kaum pria. Para tamu menyalami pengantin dan memberikan doa serta restu.

Rasa lelah berdiri seharian menyalami para tamu yang hadir, tiada terasa jika dibandingkan dengan senyum Bapak, dan Bu Rita, Ibu Rizal yang duduk mendampingi di atas pelaminan. Karena pernikahan ini jugalah dasar senyum dan kebahagiaan mereka.

Pukul sembilan malam, tamu undangan mulai sedikit yang datang, kaki Sasha terasa ngilu dan sudah tidak kuat lagi berdiri di atas pelaminan. Gadis yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu memutuskan masuk ke dalam rumah dan ingin segera melepas hiasan mahkota pengantin yang sedari subuh bertengger manis di atas kepalanya.

Bi Iyah membantu Sasha mengangkat ekor gaun yang panjangnya hampir dua meter, dan Sasha kewalahan menjinjing nya, mereka pun  turun dari atas pelaminan.

Bapak, dan Ibu Rizal sudah satu jam yang lalu berganti pakaian. Di dalam kamar, ingin rasanya segera tidur terlelap, tulang di badan Sasha rasanya mau patah semua, tapi baju yang serba ribet, belum hiasan di kepala yang beratnya hampir dua kilo, juga riasan wajah yang tebalnya aduhai harus segera ia lucuti. Sedangkan Rizal, sudah berganti pakaian lebih dulu di kamar mandi.

Sasha pun meminta Bi Iyah membantu melepas segala aksesoris di kepala, juga melepas gaun berwarna putih yang melekat di badan dan menggantinya dengan baju tidur hadiah dari sang mertua.

"Mana Rizal?" Terdengar suara perempuan yang berteriak.

"Rizal ... di mana kamu?" Teriakannya semakin keras dan tepat di depan kamar pengantin.

"Rizal ...!" Suara perempuan itu kini memekik di depan pintu.

"Tolong buka, Bi." Bi Iyah pun membuka pintu.

Tampak seorang wanita cantik berambut sebahu, berdiri di ambang pintu. Tapi entah Sasha malah lebih fokus ke arah perutnya yang sedikit buncit. Jika ia perhatikan, dengan body yang ramping, memiliki perut sedikit buncit sepertinya ia sedang hamil.

"Kamu siapa?" tanya Sasha.

"Mana, Rizal!" tanyanya dengan nada membentak.

"Ada urusan apa lu sama laki gue!" tanya Sasha lagi dengan nada yang sama. Sasha tak peduli dengan keadaan rumah yang masih banyak tetangga yang ikut membantu membereskan perabotan.

"Gue cuma ada perlu sama, Rizal."

"Heh, gue tanya sama lu. Ada urusan apa sama suami gue!" Ingin rasanya Sasha menerkam wanita yang berteriak-teriak di malam pengantinnya.

"Gue mau Rizal tanggung jawab. Gue hamil anaknya dia!" serunya tak tahu malu.

Bagai tersambar petir mendengar penuturan wanita yang tak jelas asal-usulnya. Dada Sasha sakit seperti dihantam benda tajam, seketika pandangannya menjadi gelap.

My SunshineWhere stories live. Discover now