Thirty Seven

7.9K 860 157
                                    

"Udah Wen ketok aja sih," ucap Seulgi.

"Tau nih Kak, gak usah ragu-ragu lagi napa." Jennie menambahkan.

"Gak bakal digigit dibilang," ucap Jisoo.

"Iya-iya," ucap Wendy dan mengetuk pintu kamar Irene.

"Masuk," ucap Irene dari dalam kamarnya.

"Sana masuk Wen. Jangan ditutup rapat-rapat ya pintunya," pinta Seulgi.

"Ah iya. Jangan ditutup rapat-rapat ya Kak," imbuh Jisoo

"Mau nguping ya kalian berdua," selidik Wendy.

"Oh iya dong hehehe," kekeh Seulgi.

"Hehehe tau aja Kak," timpal Jisoo.

"Udah sana Kak masuk. Biarin aja dua manusia ini. Ntar Kak Irene nunggu lama. Good Luck," dukung Jennie.

"Okey. Emang kamu doang yang waras. Sisanya sinting semua," ucap Wendy sambil membuka pintu kamar Irene dan tidak menutupnya dengan rapat sesuai kata Jisoo dan Seulgi.

"Yee, padahal kan Jennie biasanya juga gila."

"Ssst diam ah Ji. Dengerin aja ini," ucap Seulgi sambil mengintip dan menguping dari sela-sela pintu.

Jisoo menaikkan bahunya dan mengikuti apa yang sedang Seulgi lakukan, sedangkan Jennie hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan dua saudarinya itu.

Wendy memasuki kamar Irene dan melihat Irene yang sedang membaca buku sambil menyender pada bagian belakang kasur. Ia mengambil posisi duduk di samping sang Kakak agar dapat berbicara dengan jelas.

"Ada apa Wan?" tanya Irene tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca. "Tumben pake ketuk pintu dulu. Biasanya langsung masuk aja. Lagi ada masalah?"

"Kak ... itu ... hmm ...." ungkap Wendy bingung menjelaskannya. "Gimana ya ampun jelasinnya ini," gumannya sambil menundukkan kepalanya.

Irene dapat dengan jelas merasakan atmosfer kegugupan Wendy. Bahkan suara gumanan Wendy saja bisa Irene dengar. Ia menghela napasnya pelan sebelum bersuara.

"Pergilah," ucap Irene masih tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca. Buku yang sebenarnya hanya alibi agar tidak terlalu terlihat betapa sedih dirinya.

"Maksud Kakak?" tanya Wendy menegakkan kepalanya dan menatap Irene dengan penuh tanda tanya.

Irene menutup bukunya lalu menatap Wendy. "Bukannya kamu mau izin tentang ambil beasiswa S2 di Kanada?"

"Gi ... gimana Kakak bisa tau duluan?" Tanya Wendy dengan wajah terkejutnya.

"Lisa yang kasih tau aku."

"Lisa bisa tau? Aku aja belum kasih tau dia Kak."

"Lisa cerita sama aku. Dia gak sengaja dengerin pembicaraan kamu sama Jennie di malam itu. Terus paginya langsunh lapor ke aku. Kamujangan marahin dan bilang Lisa ember ya."

"Iya Kak."

Setelah itu suasana menjadi hening. Wendy dengan rasa bingungnya dan Irene yang menunggu penjelasan lebih lanjut dari Wendy.

"Jadi ini mau diem-dieman aja?" Tanya Irene memecah keheningan.

"Enggak Kak. Aku bingung gimana jelasin ke Kakak," jawab Wendy.

"Tinggal jelasin aja apa susahnya sih Wen?" tanya Irene dengan nada suara yang agak di tinggikan. Sudah cukup sabar ia menunggu Wendy untuk mengatakan langsung padanya.

Wendy tersentak kaget mendengar nada suara Irene. Ia pun menundukkan kepalanya. "Aku dapet beasiswa S2 di Kanada Kak. Aku tau ini sehari sebelum kita ke makam Mama dan Papa. Jujur Kak, aku sebenarnya pengen Kakak jadi yang pertama kali tau duluan dibanding yang lain, tapi aku terlalu takut dengan jawaban Kakak yang takutnya gak izinin aku dan gak enak juga karena pasti Kakak bakal kerepotan ngurus rumah, ngurus perusahaan, dan Adek-adek."

Sisters Where stories live. Discover now