09. Ada apa?

152 54 24
                                    

"Arka, gue dateng!" teriak gue. Sekilas Arka hanya tersenyum simpul dengan wajah pucat nan lesu. Aneh, biasanya dia paling seneng kalo gue dateng. Kenapa ya? Gue menaruh bungkus makanan favoritnya. "Makasih, gue belom laper," jeda sejenak, "tenang aja, entar gue makan," ucapnya setelah melihat tatapan sedih gue

"Kenapa? Kalo ada apa-apa cerita ya. Lo gak semangat kayak sebelumnya."

Dia hanya termenung. Please, sekali lagi gue takut ada apa-apa.

"Lo ada masalah? Cerita ke gue, gue pacar lo tau!" Tetap saja tak ada balasan dari dia. Ih, aneh anjir, harusnya gue yang buat kode-kode ini malah dia. Apa dia udah enggak nyaman sama gue? Lah, yang maksa jadian siapa, woy? Dari sorot matanya yang lesu seakan berkata,

"Ini adalah sebuah masalah yang ga bisa gue ceritain!

Gue merasa penasaran. Ada apasih dengan dia? Dan jadi kesel dicuekin kayak begitu. Inget, Ka, luka yang lo buat jaman LDKS belom sembuh, luka ditolak sama gebetan gue jaman SMP belom benar-benar hilang meskipun gue perlahan udah lupa. Jangan beraninya buat luka baru dan buat gue trauma sama kata cinta.

"Lo gak jawab gue. Gue tinggal, nih!" Gue merasa sakit hati karena benar-benar tak ada gubrisan dari dia. 

"Tinggal aja."

Sakit. Pakai banget.

Apa masalah Arka sih? Apa itu masalah besar? Atau jangan-jangan dia...

Gue menggelengkan kepala. Pikiran negatif gue udah kejauhan. "Jangan mikir gitu, Lyo!" rutuk gue pelan. Gue memencet tombol lift. "Tunggu!" teriak seorang lelaki. Gue tersentak dan memencet tombol untuk membuka pintu lift.

Lelaki itu memasuki lift.

Gue baru sadar! Dia pake seragam Bhinja! Siapa ini? Sesekali gue paksa untuk menelan ludah. Ganteng banget, benar-benar penyejuk buat kepala gue yang panas karena rentetan masalah tanpa jawaban dari Arka.

"Nama kamu siapa? Seragam kita sama," kekehnya pelan sambil memamerkan lesung pipi.

"Gue Lyo, gak yakin kalau lo gak tau soal gue," ucap gue sok manis. Lumayan kan buat cadangan gue kalo putus sama sialan? Astaghfirullah, enggak boleh gitu Lyo! Lelaki itu mengangguk

"Tapi, aku beneran gak tau kamu," sangkalnya sopan. Berharap banget enggak, sih? Baru juga jadi Ketos, jarang muncul ke publik udah berasa paling dikenal.

"Gue Ketos Bhinja. Hahaha, gue kira lo tahu. Tapi emang gue kerjanya dari belakang layar, sih."

"Maaf, maaf banget kalau aku lancang. Aku gak tau kamu Ketos. BTW, namaku Nata. Kelas Bahasa." Sopannya bukan main-main, seriusan, deh. Tapi itu buat dia punya karismanya tersendiri. Manisnya gak tanggung-tanggung.

"Santai." Gue benar-benar kehilangan jati diri gue sebagai anak Ansos. Lagian bakal aneh juga gue diam aja pas diajak ngobrol kalau cuma berdua. 

Tiba-tiba gue sadar, kok liftnya kagak jalan jalan, dah?

Apa jangan-jangan gue lupa pencet? Eh beneran gak dipencet, hahaha. Gue segera memencet lantai 1 alias tempat pintu keluar. Gue lagi enggak bawa mobil. Males.

"Lantai berapa, Nata?"

"Sama, kok."

Setelah kejadian awkward tadi, suasana menjadi hening dan entah kenapa atmosfer kayak gini membuat gue jadi terus keinget dan malu sendiri sama kejadian pencet tombol.

TING!

"Gue duluan ya! Dah, Nata!" ucap gue. "Lho kita kan selantai?" Dia tertawa. Ya Allah, Gue kenapa sih?

"Aduh, maaf lupa!" Gue berlari menuju pintu keluar tanpa menunggu jawaban Nata.

Gue terhenyak sebelum menyeberang. Entah kenapa ada kebahagiaan yang enggak pernah gue rasain selama bersama dengan Arka sebulan ini saat gue bersama Nata. Gue merasa ada yang beda aja dari Nata.

Dia itu anak kelas bahasa yang enggak begitu famous, dia satu angkatan sama gue, dia ganteng, halus gak kasar ataupun nakal, senyumnya manis bikin jantung berdebar, dan dia itu outgoing. Lumayan 'kan sifat nakal dan tertutup gue bisa terkurangi?

Gue juga ngerasa gue lebih cocok sama dia. Terlebih lagi, kalo gue pacarin, yang jealous- in gue lebih dikit dan gue ga takut ditinggalin lulus duluan.

TIN! TIN!

"WOY MAU NYEBRANG APA GAK SIH? KOK MALAH BERHENTI?! LAMPUNYA UDAH IJO WOY!"

Lamunan gue terhenti. Ada apa?

Akhirnya, seseorang menarik tangan gue balik ke trotoar.

"Eh, lo kalo mau nyebrang jangan sambil ngelamun." Senyuman familier menyapa gue. Nata.

"Maaf gue banyak pikiran, mikirin pacar gue," sahut gue asal. 

"Rumah lo dimana?" tanya Nata mengalihkan. LHA! LHA! BELOM APA APA UDAH NANYA RUMAH?

"Emang kenapa? Mau nganterin lo? Gue aja enggak liat ada motor atau mobil lo. "

"Gue ada motor! Gue tuh tadi keluar mau beli es krim yang ga ada di kantin rumah sakit. Terus gue ngeliat lo ngelamun ditengah zebra cross." tawanya. Ketiga kalinya gue merasa malu di depan dia.

"Rumah gue di belakang rumah sakit. Btw, tadi lo pas kenalan sama gue kan ngomongnya baku tuh kayak 'aku-kamu' gitu tapi kenapa jadi 'lo-gue' sih?" tanya gue.

Itu adalah pertanyaan unfaedah yang gue keluarkan setelah gue simpan di benak.

"Gue diajarin sopan santun sama nyokap. Kalo belum kenal harus baku dulu udahannya baru deh. Hahaha, rumah kita searah ternyata." Dia menarik pelan tangan gue.

Sampailah kita di depan motor Ninja milik Nata. "Nih helm." Dia menyerahkan helm. As always, gue membiarkan tali helm tidak terkait.

Bego! Gue lagi jalan sama orang yang baru aja temenan bukan sama Arka.

Yaudah gue kaitin sendiri. Gue naik ke motor.

Sebelum motor melaju, gue bertanya lagi. "Emang rumah lo dimana? Katanya searah."

"Oh. Rumah gue di Jalan Pepaya," ucapnya. Gue terhenyak. Rumah gue juga disitu!

Enggak perlu waktu lama buat sampai di jalan sekitaran rumah gue. "Rumah lo yang mana?" kejut Nata ketika berada di ujung jalan. "Hah?"

"Rumah lo yang mana?" ulang Nata dengan suara yang jauh lebih keras.

"Oh, itu yang warna putih."

"Hah?"

"Hah, hah, mulu kayak tukang keong," sambar gue sebal.

"Lo kan juga tadi, gak jelas. Rumah kita depan-depanan, hahaha."

Seriusan? Oh, jadi anak yang suka ikut Om Adrian masuk ke rumah gue itu dia. Kenapa mukanya berasa asing banget pas pertama kali liat? Tapi kalau diingat-ingat, setiap ada tamu gue masuk kamar, sih. Ya sudah, makasih, Nata.

Up tiap Jumat
Jangan lupa voment dan share
Lup yu ❤️









Ketos Ansos [REUPLOAD] ✅ Where stories live. Discover now