16. Suka

119 40 10
                                    

Otak gue yang masih diisi oleh Alanta pada malam kemaren tersela oleh kasak-kusuk di kalangan siswi hari ini. Semua penyebabnya adalah Nata. Adinata Dewananta. Pagi ini, Nata kembali di beri penghargaan karena menjuarai Olimpiade Bahasa Perancis.

Meskipun, gue tidak sedekat itu lagi dengan dirinya semenjak kejadian itu. Yang di rumah.

"Hai, gimana lo hari ini?" Setelah beberapa hari ia tidak menyapa gue secara langsung, ia melakukan itu.

"Baik. Wah, lo keren juara lagi! Pasti orang tua lo bangga banget. Sama cewe yang lo taksir pasti bagian dari cewek yang apresiasi lo ini!" seru gue dengan semangat menggebu-gebu.

Nata tertawa kecil dan membalas perkataan gue dengan sebuah pertanyaan, "Bukan apa-apa. Masa dia cuma ginian aja bangga.

"Ya, keren gitu lho!" Dia hanya menyungging senyum lagi.

"BTW, gue nggak sibuk kok. Lo mau pulang bareng nanti?"

"Iyaaa, Arka yang suruh gue pulang bareng sama lo. Soalnya dia ada PM."

"Tumben. Yaudah, nggak masalah. Jam 4?" Gue mengangguk dan mencoba mernagkul bahu lebar Nata yang sebenarnya tak mampu gue gapai.

"Jangan sok-sokan ngerangkul lo kalo nggak nyampe!" Gue mencebik malas dan menjauh dari Nata, tetapi Nata malah meraih tangan gue lalu menggenggamnya erat.

"Nggak usah ngambek, deh, harusnya lo seneng sahabat lo berprestasi."

"I-iya ... jangan pegang gue ju-"

"Owh, sori." Dia langsung melepaskannya.

"Yo, awas kek lo! Ganggu pemandangan aja! Emang lo siapa dia, sih?" sewot Janet, ia memberikan gestur tangan agar Nata dan gue melepaskan tangannya. Gue menatap Janet heran, gue merasakan adanya ketegangan pada sikap Janet.

Masa iya dia suka Nata?

"Kenapa lo? Suka dia?"

"Ngg-gak gitu!!!"

Janet memutar bola matanya, "Lo nggak jawab pertanyaan gue, lo ini siapanya do-Nata?" tanya Janet dengan memalingkan wajahnya dari pandangan Nata yang memandangnya dengan tatapan ilfeel.

"Doi, maksud lo? Pffft ... gue tetanggaan sama dia," ujar gue.

"Oh, gue kira lo punya hubungan khusus," desirnya.

"Emang kenapa?" Nata meremas tangan gue tanda gue harus menyudahinya, tapi sepertinya gue terlalu tenggelam dalam acara olok mengolok ini.

"Ada," lanjut gue membuat Nata dan Janet sama terkejutnya, " cuma sahabat, khusus, 'kan?"

"Ya. Nggak peduli juga, sih, gue." Ia melenggang pergi sementara gue dan Nata melanjutkan perjalanan menuju kelas. Tumben, Nata tidak banyak omong setelah itu.

"Udah. Sana lo ke kelas, belum pamerin trofi, 'kan?"

"Iya. Yo, sebenarnya lo anggap gue sahabat aja, ya?" tanya dia tiba-tiba dan membuat gue sedikit kaget. Ini suatu pernyataan yang nggak gue duga.

"Maksud-"

"Ah, udah lupain aja? Udah, deh, masuk sana."

Pertanyaan tanpa jawaban itu menggantung di kepala gue selama gue berjalan ke kelas. Namun, semua dibuyarkan oleh tawa Tama dan Arleen yang sedang bermain game.

Akhirnya, ya, mereka main bareng lagi setelah bertengkar. Arleen juga pada akhirnya tidak mempermasalahkan soal Tama yang terlalu sering bermain game.

"Haduh, anjir! Eh, lo udah nggak main, sih! Player sekarang aneh-aneh!" Dia masih tertawa meskipun sudah berpindah tempat.

"Udah, elah! Ketawa lo jelek," ejek gue, tapi memang fakta ketawa Arleen tidak semenawan penampilannya.

Ketos Ansos [REUPLOAD] ✅ Where stories live. Discover now