i

77.8K 4.8K 221
                                    

Bazar di kampus selalu menjadi hal favorit Laras.

Pertama-tama, ia jadi bisa jajan beraneka ragam makanan dalam satu tempat. Dari takoyaki ke sosis bakar ke kerak telor, semuanya ada. Dari yang mengayomi lidah nusantara hingga cita rasa mancanegara, semua tersedia. Meski harganya sedikit lebih mahal daripada gorengan danus di jurusan, ya tidak apa-apa. Namanya juga sekali-kali, once in a blue moon kalau bahasa Inggrisnya.

Kedua, ia bisa duduk di brooklyn kampus bersama Farii sambil menonton penampilan akustik membawakan lagu-lagu populer dari Coldplay sampai Adera. Farii (iya, dobel i di belakang), adalah teman sekelasnya yang kebetulan kosnya juga paling dekat dengan tempat kos Laras. Mereka dengan cepat berteman sejak semester satu, walau tidak selalu satu kelas.

Farii bongsor, berpipi tembam, kalau tertawa kedua matanya lenyap. Rambutnya selalu ditata dengan poni rapi menutupi dahi. Kata Farii, dahi adalah aib terbesarnya. Laras suka menggoda temannya itu, Rii, coba lu potong bob deh. Biar mirip Dora. Farii hanya tertawa kecut. Itu mah masa lalu. Farii mengaku bahwa fase Dora-nya sudah terjadi waktu zaman SD dan SMP. Laras jadi geli membayangkannya. Jujur saja, di pikiran Laras, imaji Farii adalah selalu dengan rambut panjang yang dicatok lurus tanpa cela.

Farii kini sedang menikmati okonomiyaki, menusuk-nusukkan sumpit bambu ke martabak telur dan kol ala negeri sakura tersebut. Laras ikutan mencomot sesekali, membuat Farii memandangnya dengan tatapan penuh perhitungan tapi tak mengatakan apa-apa.

"Enakan yang di Jatos," komentar Laras setelah mencicipi. Sumpit di tangan Farii berhenti bergerak, lalu berganti arah menunjuk muka Laras, seakan ingin mencolok muka temannya.

"Ga usah protes, minta gue juga," sungut Farii. Laras mengangkat bahu. Ia lantas merapikan ikatan rambutnya yang longgar, menggelitik tengkuk. Gerah, pikirnya. Laras paling tidak betah membiarkan rambutnya terurai begitu saja.

"Protes apanya. Gue kan cuma mengeluarkan pendapat," elak Laras sambil menggelung rambut panjangnya di atas kepala, kemudian menambahkan, "iya gak sih? Enakan yang di Jatos?" tanyanya lagi.

Farii menurunkan sumpitnya, lalu mengangguk-angguk sambil memandangi si okonomiyaki yang sudah tak berbentuk lagi, seakan berkontemplasi.

"Ya juga, sih," gumamnya akhirnya, memberi persetujuan. Laras, tersenyum penuh kemenangan, meraih gelas plastik berisi teh susu ala Thailand dari salah satu gerai terkenal.

Para penampil di seberang jalan kini mengalunkan Champagne Supernova, lagu lawas dari band rock asal Inggris, Oasis. Laras tidak menyukai musik rock, tapi jika mendengar versi akustik seperti ini, dia jatuh hati. Ditambah lagi, sang vokalis, gadis mungil bermata sendu yang duduk di kursi plastik, mempunyai warna suara yang khas. Kata Farii, namanya Hani, anak Sastra Indonesia dan satu angkatan mereka. Farii tahu karena Hani merupakan teman satu kosnya.

"Lucu banget si Hani, ya ampun, gemes," celetuk Laras. Farii terkekeh mendengarnya.

"Lu mau dikenalin?" tanya Farii. Laras mengangguk semangat.

"Dasar, lu tuh koleksi cewek buat apa, sih?" Farii menggeleng-geleng tak habis pikir. Laras tertawa kecil. Orang-orang sering menganggapnya aneh, karena ia lebih mudah tertarik pada perempuan. Bukan apa-apa, ia sering mengagumi orang-orang, terutama perempuan, yang dimatanya terlihat "lebih". Misalnya Hani. Suaranya bagus, jelas berbakat menyanyi, dan berani tampil di depan banyak orang. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh Laras. Sesuatu yang bahkan jika Laras berusaha sampai menangis darah pun, tak akan pernah diraihnya.

"Girls support girls, atuh, neng," jelas Laras. Farii meringis mendengarnya. Gadis itu meremukkan kotak styrofoam bekas wadah okonomiyaki dan melemparkannya ke tempat sampah.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang