xxvii

13K 2.3K 500
                                    

Semua ini gara-gara cerita yang sedang ditulisnya. Laras berulang kali mengatakan hal itu pada dirinya sendiri.

Bukan hal yang baru jika ia jatuh cinta pada karakter rekaannya, karena karakter-karakter itu terwujud dari keinginan terdalamnya. Kalau sudah begitu, ia akan susah berhenti memikirkan karakter-karakter itu. Seperti pemuda di toko buku yang meminjam sosok Yanu.

Sosok itu tak hanya muncul ketika ia menatap baris-baris kata yang telah dirangkai. Sosok itu muncul di waktu-waktu yang menurut Laras tak patut. Interval kosong antara lampu yang dimatikan dan mimpi pertama saat ia tidur. Saat ia menuruni tangga setelah kelas berakhir. Ketika ia bersama teman-temannya berbincang di kantin.

Laras masih enggan mengakuinya, karena ia sendiri tidak yakin. Batas antara karakter yang bercokol di kepalanya dan sosok Yanu yang sebenernya terlalu kabur, terlalu baur.

Nampan terakhir berisi gelas-gelas ukur telah selesai dilap hingga kering. Laras menyimpan gelas-gelas tersebut di rak dengan hati-hati, kemudian kembali ke mejanya. Laboratorium masih riuh dengan mahasiswa yang tengah merapikan bekas-bekas praktikum. Gemercik air dari kran beradu dengan keramik wastafel dan beling.

Roni, partner Laras kali ini, menumpuk kertas catatan menjadi satu, lalu menyisipkan kertas-kertas tersebut ke dalam map plastik. Saat Laras kembali ke meja, Roni mengacungkan map tersebut.

"Gue fotokopi dulu, Ras." Kemudian pemuda itu berlalu bahkan sebelum Laras mengangguk.

Gadis itu menuju loker untuk mengambil tasnya, lalu keluar dari laboratorium. Dari laboratorium sebelah, Yashinta baru saja keluar sambil melipat jas putihnya.

Keduanya bertukar pandang sesaat, lalu tawa mereka pecah.

"Pusing?" tebak Yashinta.

"Situ juga, kan?" balas Laras sambil melepas jasnya, lalu memasukkannya ke dalam ransel tanpa dilipat dahulu.

"Males bikin laporannya," kata Yashinta.

"Pusing bikin analisisnya," tambah Laras.

"Perasaan udah belajar biostat tapi masih bego statistik aja. Kesel aku tuh," gerutu Yashinta. Laras tertawa kecil. Ia melepaskan ikatan rambutnya, lalu menyisir helai-helai hitam dengan jemarinya.

"Minta ajarin Saka, atuh, Yas," usul Laras. Yashinta hanya tertawa mendengarnya.

Farii yang tidak ada praktikum hari ini muncul dari arah tangga, membawa kotak donat di tangannya.

"Mau donat, nggak?" tawar gadis itu.

"Gratis, ya?" tanya Laras. Farii menatapnya tajam.

"Enak aja. Bayar, lah. Ini danusan," sergah Farii.

"Ngapain masih danus, Rii?" tanya Yashinta heran. Tangannya mencomot donat bertabur bubuk gula.

"Oh? Titipan dari anak keilmuan," kata Farii menyebutkan salah satu departemen dalam himpunan.

"Ras, beli gih. Pas tinggal dua. Gue satu, lu satu." Laras melotot mendengar nada memaksa dari Farii, namun tak urung mengambil donat meises cokelat dari kotak tersebut.

"Dih, malak," gerutu Laras. Farii tersenyum lebar sekali, memamerkan deretan gigi, lalu mengulurkan tangannya.

"Tiga ribu, ya, neng."

"Lah! Mahal anjir."

Meski sambil berdumal, Laras meletakkan lembaran rupiah di tangan Farii. Ia pernah sekali tersasar menjadi anggota danus sehingga sedikit banyak mengerti penderitaan mereka. Yashinta juga melakukan hal yang sama.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang