xxxvii

12.5K 2.2K 395
                                    

"Jadi, kapan aku dikenalin sama Laras ini?"

Yanu menoleh pada Anggi yang berdiri bersedekap di sampingnya, dilimpahi cahaya matahari yang mulai hilang dan lampu jalan yang satu per satu dinyalakan. Mereka sedang berada di belokan gerbang tol Cileunyi, menanti bus jurusan Bekasi yang akan digunakan Anggi sebagai moda transportasi. Di antara riuh manusia dan mesin kendaraan, pertanyaan Anggi terdengar jelas di telinganya.

"Nggak tahu," jawab Yanu sambil membuang pandangan pada barisan truk dan bus yang mengantre di depan pintu tol.

"Kenapa nggak tadi aja?" kejar Anggi lagi. Yanu melirik kakaknya, yang terlihat seperti anak kecil dengan tampang penasaran terpasang di wajah.

"Percuma. Anaknya lagi ngilang."

Anggi mengerutkan kening. "Lah, gimana?"

Yanu menghela napas dalam-dalam. Debu dan asap knalpot kendaraan terhisap masuk ke kerongkongannya, membuat pemuda itu terbatuk. Anggi menyodorkan botol air mineralnya.

"Ya, ngilang. Gue nggak kontakan sama dia," ujar Yanu setelah meneguk air.

Anggi medesah pelan. "Aku kira kamu masih sama Silvia."

Yanu makin terbatuk.

Benar dugaannya. Anggi tahu tentang Silvia. Entah dari mana.

"Gue gak ada apa-apa sama Silvia," gumam Yanu. Anggi hanya meliriknya dengan sudut bibir terangkat, mengejek.

"Lagian, lo tahu dari mana sih, Nggi?" tanyanya heran. Anggi berjinjit, menepuk belakang kepala Yanu. Membuat pemuda itu mengaduh perlahan.

"Kamu nyadar, dong. Kepala kamu itu transparan banget." Setelah itu, Anggi terkekeh geli.

"Emang bener, ya?" gumam Yanu pelan. Anggi makin terpingkal.

"Kamu tuh, gampang banget ditebak," sambung Anggi. Yanu mengangkat alis.

"Ada beberapa waktu aku bisa nebak-nebak. Waktu kamu nyebut-nyebut Silvia. Kayak, pas kamu kelas dua SMA."

Yanu sibuk mengingat-ingat masa yang disebutkan Anggi. Kapan ia membicarakan tentang Silvia? Terlebih lagi dengan Anggi. Apa waktu itu, saat ia dan Anggi duduk di lantai ruang baca sambil menyusun buku mereka sesuai penulis?

"Nggi, lo mikir gak sih, orang Indonesia ketinggalan banget peradabannya?"

Anggi yang tengah menumpuk serial Harry Potter mengangkat kepala.

"Kayak, mau tahu sejarah bangsa sendiri aja susah. Soalnya nggak ada record-nya. Beda kayak bangsa lain yang punya sistem pencatatan di kerajaan," lanjut Yanu.

"Ada, Nu. Prasasti. Kitab-kitab macam Nagarakertagama dan Pararaton gitu kan ada," balas Anggi. Yanu menggeleng.

"Tapi yang kitab itu juga baru mulai dari zaman Majapahit. Yang banyak malah catatan dari orang asing. Telat banget, nggak, sih, Nggi? Budaya literasi kita?"

"Iya, sih. Abad kedelapan di Iraq udah ada Baitul Hikmah dan madrasah-madrasah yang jadi tujuan orang menuntut ilmu. Di Tiongkok, zaman dinasti Tang udah ada teknologi printing. Lebih jauh lagi, ada bangsa Yunani, Mesir, Mesopotamia. Ya bener, sih, kan emang lahirnya peradaban di sekitaran situ."

"Kita orang pinggiran, kali, ya," gumam Yanu menimpali. Anggi tertawa.

"Sebenernya, makin ke sini makin dipengaruhi juga sama agama, sih. Soalnya literasi itu jadi alat penyebaran agama. Nenek moyang kita di masa dulu, 'kan, menyembah alam. Aturan-aturan mereka dituturkan lewat lisan dan kebiasaan."

"Iya juga, ya. Karena ada kitab suci jadi umatnya pada bisa baca," gumam Yanu.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Anggi. Ia kini tengah mengelompokkan buku-buku nonfiksi.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang