vii

16.9K 2.6K 133
                                    

Rencana awal Yanu adalah langsung pulang setelah dari pameran. Tapi tidak semudah itu kalau sudah tersangkut Rahdian. Pemuda yang bisa ditemukan di mana-mana itu—unit, kos, kantin setiap fakultas— menahannya dengan dalih bahwa Yanu harus mengembalikannya ke tempat kos dengan selamat.

"Apa hubungannya, Nying?" tanya Yanu tak habis pikir, dahinya berkerut. Rahdian menyeringai. Rasanya Yanu ingin mencabut gigi taring Rahdian yang menyembul.

"Gue tadi berangkat sama siapa?" Rahdian balik bertanya.

"Gue."

"Yang bawa motor lo apa gue?"

"Gue," jawab Yanu, masih tak paham.

"Masa lo tega ninggalin gue." Kerutan di dahi Yanu semakin dalam.

"Buset, manja amat. Pacar gue aja ga semanja lo," komentar Saka yang sedang lewat, sebuah kotak nasi di tangannya. Pacar Saka, yang ternyata adalah teman Laras, sudah pergi dari satu jam lalu.

Rahdian tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Seringai jahil kembali muncul di mukanya yang menyebalkan.

"Cuy, Silvia barusan nge-Line gue. Katanya mau mampir," kata Rahdian akhirnya.

Oh. Tiba-tiba saja Yanu mencelos mendengar nama Silvia disebutkan. Gadis itu pasti baru saja pulang dari les bahasa Mandarin.

"Emangnya kalau Silvia mampir, gue gak boleh balik?" gumam Yanu tenang. Padahal, kalau diumpamakan, kepala Yanu sekarang terlihat seperti meme kartun anjing sedang minum teh di ruangan yang terbakar.

"Emangnya lo gak mau ketemu dia?" balas Rahdian telak.

"Gue ke perpus, kalo gitu," ujar Yanu, menyerah. Rahdian tergelak.

"Dasar bucin," ejeknya.

"Siapa yang bucin, juga," bantah Yanu. Ia tidak punya ide sama sekali bagaimana Rahdian bisa tahu kalau dia diam-diam menyukai Silvia. Yanu tidak pernah bercerita pada siapa-siapa. Atau mungkin kepalanya terlalu transparan?

Jadilah Yanu duduk di perpustakaan gedung tersebut, mengeluarkan paperback East of Eden yang sudah entah berapa bulan mendekam di ranselnya. Ia baru membaca sepertiga bagian dari novel setebal tujuh ratus sekian halaman tersebut. Pantas saja setiap hari ia merasa ranselnya berat.

East of Eden tidak mudah untuk dibaca, setidaknya bagi Yanu. Novel berkisah tentang kronologi dua keluarga tersebut berjalan sangat lambat, berat dengan sisipan cerita Kain dan Habel dari Injil. Menurut Yanu, Steinbeck sangat ambisius dalam menulis novel ini, dengan tema kebaikan lawan keburukan dan juga pilihan-pilihan yang melahirkannya. Meski begitu, Yanu harus mengakui bahwa karakter-karakter dalam buku tersebut begitu kuat, terutama Cathy Ames sang antagonis utama.

Yanu awalnya tidak tertarik membaca novel ini, kalau tidak gara-gara Anggi. Kakak perempuannya itu mengiriminya email berisi daftar panjang 1001 Books You Must Read Before You Die, lengkap dengan daftar buku mana yang sudah dia baca, dan buku mana saja yang sudah mereka punya.

"Jangan lupa bilang kalo udah beli. Biar nggak dobel," kata Anggi mewanti-wanti.

"Masih ada sembilan ratus sekian yang belum kita punya. Emang mau beli semua?" tanya Yanu sangsi. Anggi memang aneh. Perempuan itu tidak hobi belanja tas maupun sepatu. Gajinya dihabiskan untuk beli buku. Meski entah kapan dibacanya, yang penting beli dulu.

"Namanya juga usaha. Nanti aku transfer tiap bulan." Ditawari begitu, mana bisa Yanu menolak. Setelah itu Anggi benar-benar tanpa absen mengiriminya uang untuk beli buku. Sehingga, paling tidak sebulan sekali Yanu selalu dapat ditemui di Periplus atau Gramedia sambil membawa daftar dari Anggi.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang