xix

13K 2.3K 261
                                    

Malam tahun baru Laras dihabiskan dengan membaca dan mengulas kembali materi biokimia.

Berkat beberapa kelas yang tertunda, ujian akhir semester pun ikut mundur teratur. Laras sudah terbiasa dengan hal seperti ini, mau waktu semester ganjil maupun genap. Dosen kadang sangat tidak diprediksi. Sedikit-dikit, kelas maju. Sedikit-dikit, kelas mundur. Memangnya undur-undur?

Tapi, ia juga memaklumi. Pekerjaan dosen, meskipun utamanya mengajar, tanggung jawab mereka juga terletak di penelitian. Guna mencerdaskan bangsa dan sumber daya manusia, konon katanya. Makanya, kalau ibu mengomel mengenai jadwal pulangnya yang selalu tak tentu, Laras hanya tertawa menenangkan.

Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit. Laras menutup modulnya dan meregangkan tangannya. Perlahan, ia bangkit dan menyibak gorden. Di luar, langit masih kelam.

Ia menyalakan ketel listrik dan menuang susu bubuk ke dalam gelas. Sembari menunggu, pesan-pesan ucapan tahun baru di berbagai grup-grup kelas, grup panitia yang sudah bubar dari jaman entah kapan, grup angkatan- mulai meramaikan ponselnya. Ia duduk berselonjor di kasur, menggulir-gulir layar dengan cepat.

Ia tidak membalas pesan-pesan di grup. Namun, ia membalas ucapan selamat tahun baru dari teman-temannya. Sana, teman SMA yang kadang masih bertukar kabar. Yashinta dan Farii, meskipun mengucapkan di grup percakapan khusus mereka bertiga. Clarine, yang mengirimkan foto dari Sydney empat jam lalu. Happy New Year, Ras. I'm sending this from the future. Membuat Laras tersenyum-senyum macam orang bego.

Lalu ada pesan dari Yanu. Selamat tahun baru. Sederhana dan singkat. Seperti Yanu.

Kembang api meledak di luar. Laras menaruh ponselnya dan memandang ke luar jendela. Warna-warna menghiasi langit malam, merah dan hijau dan oranye, percikan cahaya putih seperti kilat, menyemburkan titik-titik dan sulur, berdengung-dengung memekakkan telinga.

Tahun baru ketiga ia tidak bersama keluarganya.

Meski toh, keluarganya tidak merayakan tahun baru. Ibu dan Ayah pernah sekali mengajak mereka ke alun-alun untuk menyaksikan pergantian tahun baru. Waktu itu, Laras berusia delapan tahun. Alun-Alun luar biasa ramai, penuh orang berjualan. Bayu, adiknya yang berpipi tembam meniup-niup terompet, gaduh bersahut-sahutan dengan terompet orang lain. Bara tampak bosan, lebih memilih bermain gim tetris di ponsel milik Ibu. Ayah heboh mencoba mengabadikan suasana malam itu, kamera terkalung di lehernya.

Lalu, hujan turun lima menit sebelum pergantian tahun. Awalnya gerimis, yang berangsur deras diiringi angin. Ibu dengan sigap menggendong Bayu, berlari menuju mobil di tempat parkir. Bara berlari-lari di belakang mereka. Ayah menggandeng Laras, menutupi kepala putrinya dengan jaket. Mirip seperti adegan di film dan drama.

Setelah pengalaman kehujanan di tersebut, keluarganya sepakat untuk tidak ke mana-mana saat tahun baru. Mending tidur nyenyak di rumah, menarik selimut hangat menutupi tubuh.

Laras jadi rindu rumah. Yang hangat dan dia bisa tidur lelap saat malam tahun baru tanpa terganggu bunyi kembang api dan raungan motor yang entah kenapa terdengar riuh.

Satu pesan baru diterimanya saat ia menuang air panas ke dalam gelas. Ia memiringkan kepala untuk mengintip layar ponselnya dengan tangan masih mengaduk cairan dalam gelas, bubuk susu menyatu dengan air.

Masih di nangor?

Laras membalas pesan tersebut, menulis, masih terjebak ujian diikuti emoticon muka sedih. Setelah itu pesan balasan diterimanya lagi, dan ia juga membalas lagi. Mereka membicarakan tentang ujian dan pulang kampung dan buku yang mereka baca. Ada Salman Rushdie dan Arundhati Roy hingga Tolkien. Ada Lewis Caroll dengan permainan logika dan sajak omong kosongnya.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang