xxxv

11.8K 2.2K 237
                                    

Saat Yanu sampai di kontrakan, ia menemukan Saka duduk di lantai ruang tamu bersama Ihsan dan seorang gadis. Di atas meja, bungkus makanan ringan dan kaleng minuman berserakan.

"Kagak, Can. Ini pakai yang uji t berpasangan kalau ada pretest-postest gini. Kan mau diukur beda rata-rata sebelum dan sesudah. Sampelnya masih sama." Saka mencoba menjelaskan. Yanu yang tengah lewat melirik ke arah dua mahasiswa psikologi tingkat satu yang rupanya sedang les statistik pada Saka.

"Weits, ada Yanu. Udah balik, lo?" sapa Saka saat ia menangkap pandangan Yanu. Yanu hanya mengangkat sebelah alis.

"Lo bahkan udah balik lebih awal," tanggapnya, yang membuat Saka tertawa ringan. Yanu duduk di sofa, meluruskan kakinya.

"Dikejar-kejar Ican mulu gue," keluh Saka. Pemuda itu membolak-balik modul yang ada di tangan.

"Beramal ilmu, dong, Kang. Apa guna punya kenalan anak statistika kalau gak difungsikan," timpal Ihsan. Saka mendengus keras.

"Oh, Udin juga dulu kalo ada tugas ke elo, ya," gumam Yanu sambil mengingat-ingat tiap kali Rahdian marah-marah gara-gara mata kuliah statistika.

Saka mengibaskan tangan cepat. "Kagak mah. Si Udin gak level nanya sama gue. Dia maunya belajar sama cewek."

Yanu mendecak. "Lah. Emang ketahuan sih bentukannya," komentar Yanu.

"Untung masih gini-gini aja gue masih ngarti. Kalo udah yang lain-lain, bubar deh. Teos aja ngulang ini. Mana kena dosen Pak Herlambang, lagi. Apaan judulnya doang teori, isinya malah itungan integral turunan semua. Click bait, anjir." Saka malah curhat sepenuh hati. Padahal Yanu tidak paham dengan yang dibicarakan Saka. Ia cuma merebahkan diri di sofa.

"Nah, ini kan cuma uji-uji, Kang. Kagak pake integral turunan," sahut Ihsan yang tengah menonjok-nonjok tombol kalkulator.

"Uji mulu. Hidup gue udah terlalu banyak ujian," gusar pemuda bermata galak tersebut.

"Tapi, Kang Saka nggak menyesatkan, kan? Kok gue jadi nggak yakin gini, Can," gumam seorang gadis teman Ihsan yang memang sering main ke kontrakan.

Saka melotot mendengarnya. "Gini-gini metstat gue dapet A, ya."

Ery, si gadis mungil dengan rambut berwarna terang tersebut hanya bisa nyengir.

"Bukannya bisa minta diajarin Dodit, Can? Mirip-mirip, nggak, sih? Statistik, matematika," komentar Yanu sambil mengamati dua mahasiswa psikologi yang duduk di lantai, tengah menghadapi buku setebal ensiklopedia.

"No no no no. Mirip tapi bedaa. Anak matem paling belajar ini cuma satu semester. Kami ngomongnya peluang-peluang dan naksir-naksir mulu. Segala macam diramal, udah kayak ilmu dukun. Anak matem ujian kagak pake kalkulator dan gak dikasih tabel, gue mah pake," sambar Saka. Yanu menatap pemuda itu datar. Ia tidak mengerti maksud Saka. Di matanya, semua angka-angka dan hitung-menghitung sama, berakar dari matematika.

Yanu beranjak dari sofa, meninggalkan Saka beserta Ihsan dan Ery larut dalam sesi belajar. Ia menaruh tasnya di kamar, lalu menuju kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki. Setelah sesi bersih-bersih, pemuda itu menyambar sebuah buku dan kembali ke ruang tamu, duduk di sofa sambil membaca.

Selama beberapa waktu Yanu larut dalam petualangan mantan narapidana yang mencari dewa-dewa di tanah Amerika. Erangan kesal Ihsan dan pertanyaan-pertanyaan dari Ery serta penjelasan dari Saka menjadi musik latarnya. Sesuatu tentang data kategorik dan numerik. Sesuatu mengenai kai-square? entah apa pun itu.

"Lo ikut, gak?" Rahdian tiba-tiba muncul di ruang tamu sambil memutar kunci motor di jari telunjuk.

"Ke mana? Gue nggak ada rencana basket atau rencana apa pun, ya," balas Yanu tanpa mengalihkan perhatian dari American Gods yang tengah dibacanya.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang