ii

34.9K 3.7K 192
                                    

Kedua gadis itu beranjak dari brooklyn dan menyeberang jalan utama kampus, melewati depan panggung mungil tempat di mana Hani menyumbang suaranya yang rendah dan agak serak, melalui sepanjang jajaran stand-stand makanan-minuman-unit mahasiswa-jurusan, hingga mencapai stand Sastra Inggris yang dipenuhi kertas dekorasi warna biru muda dan ungu.

Laras berdiri di depan meja penuh tumpukan booklet dan kertas. Di depannya, seorang pemuda dengan rambut agak mengikal di tengkuk sedang menunduk. Koreksi, bukan menunduk, tapi menempelkan kepalanya di atas meja.

"Kak? Saya mau ambil sertifikat," sapa Laras pelan. Si pemuda mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Laras. Matanya yang seperti mata rubah menatap Laras dengan lekat dari balik kacamata bulat, seakan Laras adalah alien yang perlu dikarantina terlebih dahulu. Kemudian, seperti terkejut, seperti baru bangun dari melamun, pemuda itu mengangguk-angguk.

"Oh, iya. Atas nama siapa, Teh?" tanyanya dengan suara berat. Wah, beneran baru bangun tidur apa, ya? batin Laras diam-diam. Farii berdiri di sampingnya, sibuk memperhatikan sekelompok mahasiswa yang bermain skateboard.

"Bungah Larasati," jawab Laras. Pemuda itu mengangguk lagi.

"Sebentar, ya, Teh," katanya, lalu menunduk mencari-cari di bawah meja. Laras melongok ke dalam. Stand Sastra Inggris sepi, hanya ada si pemuda penjaga stand dan dua orang mahasiswi yang duduk di atas tikar sambil menatap laptop. Oh, rupanya sedang menonton drama Korea.

Tak lama kemudian, kepala pemuda penjaga stand tersebut muncul kembali. Di tangannya, terdapat selembar kertas sertifikat. Si pemuda mengangsurkan sertifikat itu pada Laras.

Laras menyambutnya dengan mata berbinar-binar. Meskipun sekarang dia terjebak dan baik-baik saja selama lima semester di jurusan Biologi, Laras punya rencana cadangan untuk masa depannya. Mungkin, dengan modal berbagai seminar kepenulisan yang diikutinya, nantinya ia punya kesempatan terjun ke bidang apa pun itu yang berhubungan dengan perbukuan.

Namun, mata Laras memicing ketika meneliti sertifikat tersebut. Namanya, ada salah ketik di namanya.

"Eh, permisi, Kak. Nama saya salah," ujar Laras hati-hati. Pemuda itu, yang sedang mencari-cari sesuatu di buku besar, kini mengembalikan perhatiannya pada Laras.

"Salah apanya?" tanyanya datar.

Laras menunjuk baris namanya. Di sana, tertera "Bunga Larasati". Si penjaga stand memandangnya bingung.

"Bungah. Pakai H," koreksi Laras.

"Bukan Bunga?" tanyanya lagi, mengonfirmasi. Laras menghela napas. Ini memang bukan pertama kalinya terjadi. Orang-orang selalu salah mengira namanya adalah "Bunga". Padahal nama pertamanya "Bungah". Untung saja nama panggilannya Laras, meskipun pasaran tapi tidak akan disalahsangka.

Si pemuda menggaruk-garuk rambutnya yang menyentuh tengkuk, lalu menoleh ke belakang, kepada dua mahasiswi yang sedang duduk di tikar.

"Teh, ini ada yang typo namanya."

Seorang gadis dengan kerudung warna biru dongker menoleh, kedua alisnya bertaut di tengah. Gadis itu berdiri dan menghampiri si pemuda, lalu menunduk di atas meja.

"Yah, nggak bawa printer," keluhnya, kemudian ia beralih pada Laras. "Maaf ya, Teh. Kalau kami benerin dulu, nanti dikabarin lewat Line, gimana?" tawarnya. Laras melipat bibir. Tidak masalah, sih. Tapi malas juga kalau harus bolak-balik mengambilnya.

"Nanti dianterin, deh." Si teteh berkerudung biru menambahi tawarannya.

"Oke deh," jawab Laras ringan. Enak juga, jadi ia tidak perlu wara-wiri.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang