xlii

15.8K 2.3K 495
                                    

Makan dulu Ras
Kamu sering keterusan sampai malem

Dua baris pesan baru yang baru saja diterimanya membuat Laras mengalihkan perhatian dari laporan yang tengah dikerjakannya. Gerakan tangan terhenti sejenak, membuat tinta dari bolpoin merembes di kertas folio bergaris, meninggalkan bulatan noda hitam. Dengan tangan kirinya yang bebas, ia menggeser pemberitahuan tersebut ke kanan, lalu kembali fokus pada laporannya.

Dua puluh menit kemudian, Laras meletakkan bolpoin, memijit-mijit pelipisnya dan beranjak dari kursi. Ia mengambil kardigan dari gantungan di daun pintu, menyambar ponsel dan kunci, lalu keluar kamar. Angin menggelitik leher dan langit gelap tanpa hiasan bintang menyambutnya saat ia menyusuri jalanan menuju warung tenda ayam goreng tak jauh dari tempat kos.

Ia membuka kuncian layar ponsel, melirik sejenak pada jam digital yang terpampang di sana. Setengah sembilan malam. Pantas saja perutnya terasa seperti dipelintir sedari tadi. Lapar.

Gadis itu memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu nerapatkan kardigannya. Warung tenda tujuannya ramai oleh pembeli, menyesaki lahan sempit di pinggir jalan, beratapkan terpal yang dipancang dengan tiang-tiang bambu.

Setelah menyebutkan pesanannya, Laras duduk di kursi panjang, menatap lalu-lalang kendaraan dan orang yang berjalan di tepiannya. Klakson bersahut-sahutan beradu dengan raungan mesin dan suara percakapan. Suara seseorang memanggil namanya.

Namanya?

Laras yang dari tadi sibuk menatap jalan raya sambil menghitung truk yang lewat tersentak. Matanya mencari titik fokus, sumber suara perempuan dengan nada cukup rendah. Saat ia menemukan sosok yang menyapanya, sudut bibirnya terangkat menjadi senyum tipis.

"Vi?" sapanya pelan. Silvia masih menenteng tasnya, serta memeluk setumpuk buku dan kertas yang dijilid. Pasti baru pulang.

"Malem banget?" tanya Laras kemudian.

"Iya, dari sekre dulu," jawab Silvia. Gadis itu duduk di samping Laras, kemudian menggerakkan tangan, mengisyaratkan seorang pemuda untuk turut duduk.

Laras menatap sekilas pemuda asing tersebut, yang rupanya adalah teman Silvia. Ia menggeser duduk, memberi jarak. Sejurus kemudian, Silvia larut dalam percakapan dengan si pemuda, sesuatu tentang forum mahasiswa nasional entah apa.

Silvia mengucapkan sesuatu, lalu mereka berdua tertawa. Tangan pemuda itu terangkat, dengan ringan menyentuh puncak kepala Silvia. Membuat Silvia mengumpat pelan, seakan sedang bercanda, lalu mendorong tangan tersebut. Di mata Laras, keduanya terlihat seperti sepasang tokoh utama dalam drama yang tadi sore ditontonnya.

Bagi Laras yang terlalu sering melihat tatapan seperti itu, gampang baginya untuk mengerti. Pemuda itu; caranya memandang Silvia, gerakan tubuhnya. Bagaimana matanya tidak meninggalkan sosok Silvia barang sebentar pun.

Seperti banyak pasang mata lain yang memandang Silvia.

Tak lama kemudian, si pemuda berdiri, mengucapkan sesuatu dan melambaikan tangan. Silvia membalas lambaian tangan itu, tertawa renyah. Pemuda itu berlalu, diiringi tatapan Silvia, serta Laras yang berganti-ganti menatap kedua sosok itu.

Detik selanjutnya, Silvia menoleh dan menangkap mata Laras yang mengamatinya. Alis gadis itu terangkat, bertanya-tanya.

"Kenapa, Ras?"

Laras menggeleng cepat. "You guys are cute," komentarnya singkat.

Silvia tertawa renyah. "Dilarang mikir yang aneh-aneh," ujarnya setelah tawa tersebut reda. Laras mengangkat sebelah alis, sudut bibirnya berkedut geli.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang