xxx

12.8K 2.2K 117
                                    

Perpustakaan Bahasa Inggris lengang ketika Yanu tiba. Hanya ada bapak penjaga perpustakaan yang sedang bermain Solitaire di komputer ditemani secangkir kopi. Dua orang mahasiswi duduk di bangku baca pojok, berdiskusi dengan suara rendah.

Yanu menyimpan tasnya di loker, hanya membawa laptop, botol air mineral, dan alat tulis di tangannya, lalu menempelkan Kartu Tanda Mahasiswa ke pemindai. Ia menuju salah satu meja di dekat angin-angin, meletakkan barang bawaannya di sana. Hari ini, ia berencana mengerjakan tugas teori kritik sastra yang beberapa hari ini sudah ditundanya dengan alasan malas. Sebenarnya bukan salah Yanu juga, sih, karena teman-teman kelompok susah luar biasa untuk diajak berkumpul. Jadilah ia memutuskan untuk menggunakan metode bagi tugas. Teman-teman yang lain mengerjakan pendahuluan dan latar belakang teori kritik yang mereka dapatkan, sedangkan ia mengerjakan contoh penerapan teori tersebut.

Karya sastra yang dipilihnya untuk tugas ini adalah cerita pendek karya Fitzgerald. The Curious Case of Benjamin Button bercerita tentang seorang Benjamin Button yang saat lahir langsung berusia 80 tahun, dan bagaimana dia menjalani hidupnya dengan keadaan yang tak lazim tersebut di tengah tuntutan norma dan kebiasaan yang berlaku. Yanu rasa, cerita itu sangat cocok dan menarik untuk dibahas, apalagi melalui teori yang berhubungan dengan sosial-budaya.

Saat membaca ulang cerita pendek tersebut, Yanu mau tak mau ingat kemarin saat Laras membicarakan mengenai mortalitas manusia. Mereka berdua duduk di lantai teras kontrakan Yanu, baru saja menghabiskan mi yamin yang dibeli sepulang dari kampus. Ihsan juga turut duduk di teras, sedang mengerjakan tugas bersama teman-temannya.

"Manusia, tuh, ya, begitu tua bakal jadi bayi lagi," kata Laras sambil menusukkan sedotan pada kotak susu.

Yanu yang baru saja menengak air putih melirik gadis yang duduk di sampingnya. Laras memang bisa dengan sangat random mengeluarkan trivia yang diketahuinya. "Gimana?"

"Secara alamiah, nih, ya, di usia bayi, risiko kematian manusia bakal lebih tinggi dari pada usia-usia produktif, lalu resikonya menurun seiring bertambah usia, tapi pas mulai masuk usia tua risikonya naik lagi kayak waktu bayi. Kalau digambarin, mortality rate manusia sejalan dengan bertambahnya umur bentuknya kayak huruf U," lanjut Laras. Yanu masih terdiam mencerna, menutup botol minum.

"Itu baru dari sisi sistem imun dan fisiknya, belum lagi dari sisi psikologis. Aku pernah baca ada fenomena yang namanya second childhood dan age regression, di mana orang yang lanjut usia mulai bertingkah seperti anak kecil. Mulai dari kebutuhan mereka akan perawatan sampai pola pikir gara-gara gangguan kesehatan mental macem dementia."

Yanu mengangguk-angguk. Kata-kata Laras ada benarnya.

"Hmm, jadi inget waktu Nenek sakit, Mama pernah bilang gitu juga. Ngurusin orang tua kayak ngurus bayi. Pakai popok, rewel, ngomongnya nggak jelas ... ya, bukan ngeluh, sih. Tapi ya gitu," timpal Yanu sambil mengingat-ingat hari-hari terakhir neneknya yang hanya bisa terbaring di tempat tidur.

"Kalau kata ibuku sih, gini. Kalau bayi ngurusnya bikin senang, kan, soalnya pasti excited gedenya bakal seperti apa, ada harapan-harapan yang mungkin bisa dipenuhi. Kalau ngurus orang yang lansia gitu sedikit banyak bikin kesel. Selain nggak lucu seperti bayi, karena kita tahu kalau masa hidupnya tinggal sebentar lagi. We expect nothing but death," sambung Laras menanggapi.

"Mungkin itu alasan buat orang untuk ninggalin orang tua mereka di nursing home," gumam Yanu. Laras melipat kotak susu yang telah kosong, lalu melemparkannya ke tong sampah di sisi teras.

"Makanya, 'kan? Padahal kan, semua itu emang lingkaran yang mesti diselesaikan. Emang itu ekspektasinya: waktu bayi diurusin orang tua, pas udah gede kita ngurusin orang tua. Tapi susah, karena pada dasarnya manusia egois."

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang