xxv

13K 2.3K 249
                                    

Yanu membongkar raknya, mengeluarkan buku-buku dan menumpuknya di lantai. Pemuda itu mengambil lap, menggunakannya untuk membersihkan debu yang bersarang di dalam rak dan pinggiran buku.

Ditinggal liburan selama satu bulan, debu-debu menutupi perabot di kamarnya. Ia sudah membersihkan kamar begitu sampai di kontrakan. Namun, urusan buku yang kena debu lain lagi. Halaman-halaman akan berubah warna, awalnya bercak-bercak cokelat kekuningan di pinggir, kemudian menjalar ke seluruh permukaan kertas.

Berbeda dengan Anggi yang suka dengan buku-buku tua dengan halaman menguning dan catatan kaki yang ditorehkan dengan tinta bolpoin, Yanu menyukai buku-bukunya dalam keadaan bersih. Kalau perlu mencatat atau menandai sesuatu, ia akan melakukannya menggunakan post-it atau sticky notes. Meski begitu, Yanu tidak banyak mempermasalahkan hal-hal tersebut, kecuali kalau bukunya sampai basah. Wah, kalau sudah begitu, perlu menyalakan tanda emergency satu.

Buku di kamarnya telah berkurang, berpindah ke rak buku besar di rumah. Liburan kemarin, Yanu membawa pulang satu ransel penuh. Buku-buku tersebut tertumpuk menyedihkan di kamarnya, karena gara-gara Anggi kena mutasi, rak besar sudah tidak cukup menampung koleksi lagi.

Pemuda itu menyusun buku-bukunya: sastra Amerika, sastra Inggris, lalu terjemahan dari berbagai negara, disusul buku-buku dalam Bahasa Indonesia. Tangannya berhenti bergerak saat matanya tertumbuk pada kopi lama 1984 yang terjatuh dari tumpukan. Buku tersebut lusuh, pinggirannya menguning dengan catatan kaki dalam tulisan tangan, halamannya terlipat sebagai penanda. Yanu meluruskan halaman yang tertekuk dengan jemarinya, lalu menyisihkan buku itu ke meja.

Kopi 1984 tersebut bukan miliknya, melainkan punya Laras yang tertinggal entah kapan. Ia jadi berpikir, apa gadis itu tidak bingung mencari, ya? Tapi, mengenal Laras, gadis itu mungkin bahkan tidak tahu kalau bukunya tertinggal.

Ketika Yanu keluar kamar setelah membereskan buku-bukunya, ia menemukan Rahdian dan Ihsan duduk di sofa ruang tamu. TV menyala menampilkan reality show tentang keseharian polisi menangani kasus di sekitar. Anehnya, kedua temannya tersebut tidak menonton layar monitor, Mata mereka lekat pada ponsel di tangan Ihsan.

Yanu duduk di samping Ihsan, matanya melirik penasaran pada dua anak manusia yang berdempet-dempetan tersebut. Tapi pemuda itu tidak mengatakan apa pun, lantas mengarahkan fokusnya pada bapak polisi yang sedang menanyai sekelompok pemuda di warnet.

"YAH! Kepencet like, gimana atuh Bang?" Seruan panik Ihsan membuat Yanu menoleh. Raut muka Ihsan tampak memelas menatap Rahdian yang tertawa-tawa.

"Follow aja, Can. Follow doang kagak dosa," tanggap Rahdian sambil menyengir kuda.

Seperti mendapat pencerahan, Ihsan mengangguk mantap.

"Loh, ini kan, si teteh? Yang sering ke sini," celetuk Ihsan lagi setelah beberapa saat.

"Cakep juga, ya," gumam Ihsan.

"Cakepan aslinya," timpal Rahdian santai.

"Benar juga," Ihsan mengiyakan.

"Lah, lo kagak follow Laras, Nu?" tanya Rahdian, membuat Yanu memicingkan mata.

"Apaan?"

"Instagram?"

"Kagak. Emang kenapa?" Yanu balik bertanya. Rahdian memberinya tatapan yang tak bisa Yanu artikan.

"Ya, gak apa-apa, sih," ujar Rahdian sambil mengangkat bahu.

"Gue kirain ceweknya Bang Yanu," timpal Ihsan asal. Mata Yanu makin memicing.

"Ngaco lo, Can," gumam Yanu.

"Abisnya sampe dibawa ke kamar." Alasan polos tersebut terlontar dari mulut Ihsan. Rahdian menunjuk Yanu dengan jarinya yang dibentuk seperti pistol.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang