xxxiii

12.5K 2.1K 123
                                    

Perempuan yang berdiri di depan ruang kelas itu membawa buket bunga, tampak familier bagi Yanu. Ia menghentikan langkah, bersandar di tembok, menunggu kelas berakhir. Otaknya teringat pada perempuan yang duduk di kansas bersama Laras. Perempuan yang seperti lampu bagi gadis itu.

Claire? Clara?

Ternyata anak FIB juga, rupanya.

Yanu tidak berniat menyapa, namun perempuan itu yang lebih dulu menyapanya.

"Oh, Yanu, ya?" sapa perempuan itu. Yanu kikuk mengangguk.

"Halo, Teh," gumamnya.

"Masih dipakai sidang, ruangnya," ujar perempuan itu. Clarine? Oh, ya. Benar. Clarine.

Yanu menggeleng kecil, lalu menunjuk ruangan di sebelah.

"Kelas sebelah, Teh."

"Sasindo?" tanya Clarine lagi. Yanu menggeleng.

"Sasing, Teh."

Perempuan itu tersenyum kecil. "Nggak masuk sasing keturutan juga tuh anak punya teman anak sastra." Perkataan Clarine pelan, seakan ditujukan untuk diri sendiri.

Yanu menoleh, mau tak mau tersenyum. "Malah lebih tahu banyak tentang sastra dari pada anak sastra beneran, Teh," timpalnya. Senyum Clarine semakin lebar.

"Padahal, sebelum SMA dia nggak baca banyak karya sastra, loh. Heran juga, nggak, sih? Biasanya yang model seperti itu memang udah dekat dengan buku sejak kecil."

Yanu hanya tersenyum tipis. Mengingat bacaan Laras yang beraneka ragam, ia juga agak heran. Bagaimana bisa gadis itu melahap begitu banyak buku dalam waktu yang terbilang singkat? Laras pernah bilang kalau kecintaannya terhadap dongeng berawal dari tradisi lisan. Bedtime story Laras waktu kecil adalah rekaan spontan yang dituturkan oleh ibu dan ayahnya, tidak butuh buku yang dikarang oleh orang lain.

Mungkin karena inilah Laras yang sekarang Yanu kenal membuat dongeng-dongengnya sendiri.

"Tapi ada bagusnya dia nggak masuk sastra," gumam Clarine. Yanu menelengkan kepala.

"Kenapa gitu, Teh?" tanyanya heran. Clarine mengangkat bahu.

"Jadi dia bisa menulis apa pun yang dia mau tanpa terikat bayang-bayang teori yang diajarkan," ujar Clarine. Yanu mengerutkan kening.

"Maksudnya?"

Clarine tertawa kecil. "Laras suka nulis cerita, tahu nggak?"

Yanu mengangguk kecil. Clarine melanjutkan, "beberapa hal lebih baik kalau dimakan waktu mentah, kan? Tulisan Laras juga gitu," jelas Clarine.

"Oh."

Clarine memandang lurus ke depan, entah pada selasar yang dilewati mahasiswa lalu lalang atau lebih jauh lagi. Yanu melirik profil wajah perempuan itu, yang tampak tenang, seperti patung. Ada sesuatu dalam ujung lengkungan bibir Clarine yang membuat Yanu merasa perempuan itu tengah menyesali sesuatu. Entah apa itu.

"Aku gak punya ambisi banyak untuk jadi penulis profesional, tapi suka nulis. Sejak masuk sastra, tulisanku mati. Semuanya berubah jadi sampah begitu dibaca ulang. Gak pernah puas, selalu membanding-bandingkan dengan teori-teori yang sudah dipelajari. Eventually I stopped, and I quit."

Yanu memasukkan kedua tangan ke saku jaket, menghela napas begitu pelan. Clarine menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil.

"Sori. Malah melantur," kata perempuan itu. Yanu menggeleng.

"Udah biasa, Teh. Laras lebih aneh kalo melantur," jawab Yanu ringan. Clarine tertawa mendengarnya.

"Dekat banget, ya?" Ada setitik jahil dalam pertanyaan Clarine.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang