xxix

12.4K 2.2K 368
                                    

Hari ini di kelas puisi dan musik kontemporer, mereka mendiskusikan tentang lagu-lagu Bob Dylan.

Yanu hanya tahu beberapa lagu Bob Dylan, seperti Make You Feel My Love yang kembali dipopulerkan oleh Adele. Atau Knockin' On Heaven's Door yang dikaver oleh banyak penyanyi. Atau Like A Rolling Stone yang entah dari mana pernah didengarnya.

Dosen mereka, seorang lelaki nyentrik yang juga merupakan penulis lagu yang cukup terkenal di kalangan musisi, memulai kelas dengan pertanyaan sederhana.

Saat kamu menyukai suatu lagu, apakah itu berdasarkan musik atau lirik?

Jawaban yang diberikan oleh para mahasiswa beragam. Yang menjawab musik dulu baru lirik, berargumen bahwa musik adalah hal yang universal. Lirik ditulis dalam bahasa tertentu, yang bisa saja tidak dikuasai oleh pendengarnya, apalagi di zaman globalisasi seperti ini. Lagi pula, lihat saja, musik-musik klasik tidak mempunyai lirik.

Yang menjawab bahwa lirik dulu baru musik beralasan bahwa memahami lirik adalah jiwa dari lagu tersebut. Lirik yang dapat beresonansi dengan pendengar, yang bisa membangun suatu ikatan emosional melalui kata-kata dan cerita di dalamnya, membuat sebuah lagu jauh lebih bermakna. Lihat saja jumlah lirik yang dijadikan kutipan oleh orang-orang: sebagai status media sosial, caption Instagram, sampai kata-kata penyemangat diri.

Dosen mereka menengahi, mengatakan bahwa preferensi antara musik dan lirik, seperti preferensi yang lain, adalah hal yang personal. Lalu, beliau mulai membicarakan tentang lirik. Lirik sudah ada sejak zaman Yunani kuno, sebagai suatu bentuk dari puisi yang biasanya diiringi oleh musik dari lira. Hal ini berkembang menjadi folk song dan nursery rhyme, yang kemudian mendasari komposisi lirik dan musik dalam lagu-lagu modern.

Kembali ke Bob Dylan, sang dosen menampilkan lirik lagu Mr. Tambourine Man di layar dan menyuruh peserta kelas untuk membacanya. Yanu tidak tahu bagaimana lagu tersebut terdengar, namun baginya lirik itu cukup menarik. Bait-baitnya ditulis dengan kata-kata yang indah, dilapisi majas berima. Yanu paling suka dengan bait keempat: And take me disappearing/ through the smoke rings of my mind/ Down the foggy ruins of time/ Far past the frozen leaves/ The haunted frightened trees. Citra dari bait-bait tersebut bagaikan dilemparkan ke dalam pikiran, ada kekuatan dalam kata-kata. Yanu dapat merasakan hembusan dingin udara yang berkabut, bohon-pohon rapat dan menjulang, gulungan asap di kejauhan.

Barulah setelah itu dosen mereka memutar video Bob Dylan muda membawakan lagu itu secara langsung. Gitar dan harmonika, melodi yang sederhana. Pembawaan lepas penyanyi di atas panggung.

Diskusi tentang lirik lagu-lagu lain dari penerima Nobel Sastra tahun 2016 tersebut berlangsung hingga jam kuliah berakhir. Tugas mereka untuk minggu depan adalah menentukan satu judul lagu untuk dipresentasikan analisis liriknya di depan kelas. Kelas ditutup dengan dosen mereka bernostalgia tentang musik masa muda.

Yanu merapikan buku-buku, memasukkannya ke dalam ransel, lalu keluar dari kelas. Teman-teman satu kelompoknya mengajak ke taman dekat kantin untuk membicarakan mengenai lagu yang akan mereka bahas untuk minggu depan.

"The 1975, lah. Gila aja, lo. Nana atau Somebody Else sebagus itu liriknya," kata seseorang yang mengenakan kupluk. Temannya yang membawa gitar mengernyitkan dahi.

"Apaan tu 1975? Emang ada apaan tahun segitu?" si pemuda bergitar yang kerap dipanggil Wawan rupanya tidak sambung.

"The 1975 band, sianjing," ujar si kupluk oranye yang nama aslinya adalah Dhika.

"Urang kaga ngarti band begituan. Passenger aja lah, Let Her Go udah paling bener."

"Udah mainstream itu. Cari yang lain, dah," protes satu pemuda lainnya yang tampangnya seperti kelinci, lalu menambahkan, "gue saranin lagunya IU itu bagus-bagus semua liriknya," katanya serius.

Parade NgengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang