POSSESIVE BROTHERS | Part 1

150K 8.9K 39
                                    

—————

Playlist : Princess Don't Cry - Aviva

—————

     "Steela, tolong bawakan semua makanan ini ke meja makan."

     "Baiklah!"

Gadis itu segera bangkit dan meraih piring dengan berbagai lauk dan membawanya ke arah meja makan.

Namanya Steela. Dia adalah anak dari wanita yang bekerja membantu di rumah besar ini. Steela tahu bahwa ia bukanlah anak kandung dari wanita tersebut, tapi ia sudah menggapnya sebagai ibunya sendiri.

     "Bisa gak kerjanya di percepat?!" bentak Risa, anak bungsu di keluarga ini. Seperti yang terlihat, ia tidak menyukai Steela.

     "Maaf.." sahut Steela pelan. Tangannya bergerak mengatur sarapan untuk di sediakan di atas meja makan.

Terdengar langkah kaki yang menuruni tangga tepat setelah ia menyajikan makanan terakhir di meja tersebut.

     Suara berat terdengat di sebelahnya, "Wah! Baunya enak, terima kasih." lelaki itu tersenyum ramah yang Steela balas dengan senang hati.

Dia adalah kak Aiden, anak sulung keluarga Elano. Berperawakan tinggi atletis dengan rambut hitam legam.

Risa mendengus malas melihatnya, gadis itu menatap tajam. Mengerti akan hal itu, Steela segera beranjak untuk pamit kembali ke dapur.

Diam-diam ia mencuri pandangan pada keduanya, Mereka mengenakan baju seragam yang terlihat rapi dan elegan. Tanpa dicegah, pikirannya mulai berkelana membayangkan tubuhnya juga dibalut seragam sekolah. Apa akan terlihat bagus?

     Steela segera menggelengkan kepala, Mana mungkin aku bisa sekolah di tempat elit seperti mereka? bibirnya mengukir senyum sendu.

     "Steela?"

Panggilan itu membuyarkan lamunannya. Steela berbalik mendapati sang ibu yang berkacak pinggang di hadapannya.

     "Jangan terbiasa melamun." tegurnya, "Pergilah ke supermarket, stok bumbu dapur sudah menipis."

Steela tersenyum kecil dan mengangguk. Ia segera beranjak ke garasi dan mengeluarkan sepedanya.

Sesampainya di supermarket, gadis itu langsung mengambil beberapa bumbu dapur seperti merica dan garam, lalu membayarnya di kasir.

Gadis itu mengayuh sepeda pelan, siang itu benar-benar terik. Ia menyingkirkan anak rambut yang menempel di dahinya akibat keringat.

Steela membulatkan mata saat suara klakson mobil terdengar persis dibelakangnya, ia tidak sempat menghindar saat tubuhnya terdorong dan menimpa aspal.

     Brukk!!

Kesadaran Steela terenggut saat merasakan sesuatu yang kental mengalir dari kepalanya.

***

     "Astaga!"

Seorang wanita memekik saat mobilnya terguncang pelan, matanya melirik ke sisi kemudi.

     Tampaklah wajah suaminya yang sudah pucat. "Ada apa?" tanya sang istri. Tanpa menjawab, pria itu langsung keluar dari mobil.

Keduanya terkejut mendapati tubuh yang tergeletak tidak jauh dari mobil mereka. Hingga tanpa berpikir panjang, pria itu langsung menggendong gadis malang tersebut dan membawanya masuk ke dalam mobil.

Mereka berkendara dengan panik. Di belakang, sang istri merapikan rambut yang menutupi sebagian wajah gadis itu dan segera memekik terkejut.

Jantungnya berdetak cepat menyadari bahwa ia mengenal wajah tersebut, wajah yang sangat mirip dengannya sewaktu masih muda.

     "Mas, lihat gadis ini.." Panggilnya pelan. Suaminya yang tengah menyetir melirik ke belakang dan ikut terkejut.

     "D-dia.." Wanita tersebut segera memeriksa pergelangan tangan gadis yang tidak sadarkan diri itu, mencoba mencari tanda yang juga terdapat di anaknya dahulu.

Jantung keduanya berdetak cepat saat melihatnya. Tanda itu ada—walau samar, membuat wanita tersebut tak dapat menahan air matanya.

Ia menatap haru suaminya yang juga berkaca-kaca, berusaha untuk tetap fokus menyetir. Aura keibuannya membuat sang istri tidak bisa berhenti menangis.

     "Oh tuhan, kita menemukannya..." Ia memeluk kepala gadis itu dan mengecupnya berkali-kali.

Sesampainya di rumah sakit, Steela langsung dibawa ke UGD sedangkan pasangan suami istri itu menunggu di kursi.

Pria itu setia merangkul istrinya—yang masih berderai air mata. Mereka tidak percaya akan dipertemukan dengan sang putri seperti ini.

Lama menunggu hingga dokter keluar dari ruangan tersebut.

     "Apa yang terjadi?!" tanya sang suami panik.

     "Pasien sedang beristirahat. Karena cepat ditangani, ia sudah melewati masa kritisnya." Keduanya menghembuskan nafas lega.

     "Anda bisa menjenguknya esok hari."

     Saat dokter itu ingin berbalik, dia ditahan Satrio. "Tolong lakukan tes DNA pada gadis tersebut."

     "Untuk proses itu, anda memerlukan izin dari orangnya—atau dalam kasus ini, walinya." jelas sang dokter.

     Satrio menjawab, "Saya ayah kandungnya. Lakukan tes banding antara darahnya dan darah saya."

Dengan raut mengerti, dokter itu mengangguk paham sebelum berlalu pergi.

Dengan perasaan campur aduk, pasangan itu pulang. Niat mereka untuk jalan-jalan berdua batal karena kejadian tak terduga ini.

Mereka akhirnya dijemput oleh supir pribadi menuju mansion megah yang terletak lumayan jauh dari pemukiman.

Sesampainya di sana, keduanya duduk di sofa ruang tengah. Jam masih menunjukkan pukul 11 siang, menandakan putra-putra mereka yang belum pulang.

Anne memandangi foto berbingkai besar yang menunjukkan silsilah keluarga kecil. Di foto tersebut, semuanya menunjukkan senyum bahagia. Sungguh, mengingat masa-masa dulu membuatnya rindu.

Sampai ketika sang putri hilang membuat keluarga itu terpecah belah. Keempat putranya juga berubah drastis, seolah hati mereka beku tanpa kehadiran sang adik.

***
26-01-2020

Possesive Brothers✔️Where stories live. Discover now