Shameful Night

344 105 34
                                    

* * *

Malam ini aku sedang berada di ruang tamu bersama Kak Nathan dan Edward. Kami sedang bermain karambol. Aku sebal karena di antara mereka hanya aku yang paling banyak tepung sagu di wajah. Jelas saja aku kalah, karena mereka berdua sedangkan aku sendiri.

"Main monopoli aja, sih," keluhku.

"Gak bisa gitu lah, belum kelar, nih." Edward menyentil biji karambol.

Aku berdecak. "Ayo, sih, gue udah cemong juga."

Kak Nathan tertawa. "Sebentar lagi, sayang."

"Ah elah Kak-"

Tok Tok Tok

"Aku aja yang buka!" Aku bangkit dari posisiku.

Edward menahan tanganku. "Eh, udah kalah mau cabut lagi! Biar gue aja." Edward bangkit berdiri dan membuka pintu.

Aku mendengus dan kembali duduk di sofa. Kulihat yang datang adalah si kembar. Edward dan Albert bersalaman ala mereka. Alvaro memasang ekspresi datar. Edward dan si kembar duduk di sofa.

"Wah, ada apa gerangan ke sini?" tanya Kak Nathan.

"Tadi gue dan Al lagi cari makanan, terus mampir aja ke sini." jawab Albert.

"Apaan tuh yang di plastik?" tanya Edward seraya menunjuk plastik yang Albert bawa.

"Ini martabak telur untuk Mira dan Kakak Ipar." Albert menaruh plastik itu di meja, tepat di samping papan karambol.

"Untuk gue mana?" tanya Edward.

"Masih di tukang martabak." Albert terkekeh.

Jujur, aku merasa sangat risi. Bukan, bukan karena percakapan Albert dan Edward. Tetapi karena pria menyebalkan itu sedari tadi menatapku dengan senyum jahil di wajahnya. Apa yang salah denganku?

"Lagi pada main apa, sih? Sampai Mira yang cantik bisa cemong gitu?" tanya Albert.

Aku memegang wajahku. Astaga! Wajahku masih dipenuhi tepung sagu. Pantas saja Alvaro menatapku dengan senyum jahilnya. Ya Tuhan, betapa malunya aku. Aku pun segera bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahku.

Saat kembali ke ruang tamu aku berusaha untuk setenang mungkin. Anggap saja tidak terjadi apa-apa. Kulihat Kak Nathan dan Edward tidak lagi bermain karambol, melainkan mulai mempersiapkan permainan monopoli. Aku berdecak. Padahal aku sudah tidak mood bermain monopoli karena malu pada si kembar.

"Ayo, Mir! Tadi katanya mau main," ucap Edward.

"Udah gak mood."

"Yah, ayo dong, Mir!" seru Albert.

"Ogah."

"Cemen." cibir Alvaro.

Aku melototinya. "Ayo! Siapa takut?!"

Kami pun mulai memainkan permainan monopoli. Urutan main dimulai dari yang tertua, Kak Nathan yang melempar dadu terlebih dahulu, kemudian si kembar, lalu Edward, dan yang terakhir adalah aku. Menurutku ini sangat tidak adil. Mengapa urutannya tidak dari yang termuda saja?

Selama permainan Kak Nathan lah yang membeli negara paling banyak. Aku hanya membeli beberapa negara saja karena setengah permainan aku mendekam di penjara. Aku bisa melihat Alvaro nampak senang saat aku di penjara dan dengan bebasnya dia melewati negara-negaraku.

"Mir, minggu depan Kakak mau ke Bandung." ucap Kak Nathan seraya menghitung uangnya.

"Ikut dong!" ucap Edward dan Albert bersamaan.

"Gue ngomong sama Mira, woy!" Kini giliran Kak Nathan yang melempar dadu. Dia berhenti di Negara Malaysia. "Beli, dong." Kak Nathan memberikan uang padaku, karena aku adalah Bank.

Aku memberikan sertifikat tanah pada Kak Nathan. "Mau ngapain, Kak? Aku ikut, ya! Mau beli hotel atau rumah?"

"Hotel lah, kan, orang kaya." ucapnya bangga. "Kakak mau magang selama sebulan di sana. Kamu menginap di rumah siapa gitu, Mir? Kasihan Kakak kalau kamu sendirian di rumah." Kak Nathan memberikan uang pembayaran hotel padaku.

"Di rumah gue aja, Mir." ucap Edward dan Albert bersamaan.

Aku menerima uang dari Kak Nathan, menaruh hotel di negara barunya. "Di rumah Ed aja, Kak."

"Yah, Mira. Di rumah Albert aja, Mir." bujuk Albert. Sebenarnya aku mau-mau saja menginap di rumah Albert. Selain aku sudah akrab dengan dengan Papah-Mamahnya, aku juga akrab dengan Albertnya. Tetapi, ada dia.

"Yaudah, gini aja. Gue sebagai Kakaknya Mira yang menentukan." ucap Kak Nathan.

"Kak, lo baru kakaknya, gue sahabatnya." sahut Edward.

"Lo baru sahabatnya, gue masa depannya." timpal Albert seraya melempar dadu.

"Gue yang mau nginap, kok, kalian yang ribet, sih?" ketusku.

Di tengah konflik menentukan aku akan menginap dimana saat Kak Nathan di Bandung, Alvaro hanya diam tak memberi solusi sedikut pun. Dia dengan asyiknya memakan martabak telur di meja. Setahuku, martabak itu untukku dan Kak Nathan, lalu mengapa pria itu yang memakannya?

"Kamu menginap di rumah Albert dan Alvaro." tegas Kak Nathan.

"Tapi, Kak-"

"Sebelum berangkat ke Bandung gue ke rumah kalian, ya. Mau minta izin sama orang tau kalian untuk Mira menginap di rumah kalian." ucap Kak Nathan pada si kembar.

Aku hanya bisa pasrah. Jika Kak Nathan sudah menetapkan suatu keputusan, tidak akan bisa diganggu gugat. Dengan sangat terpaksa aku menginap di rumah kembar menyebalkan.

Edward merangkul bahuku, lalu berbisik tepat di telingaku. "Tenang. Saat lo nginap di sana, gue culik lo lewat jendela."

* * *

Malam semakin larut. Kantuk mulai menghampiri kedua mataku. Aku menguap. Mataku sangat berat rasanya. Bahkan sudah berkali-kali aku memejamkan mata. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Udahan, ya." ucap Kak Nathan.

"Yah, tanggung, Kak," ucap Edward.

"Yaudah, udahan. Mira udah ngantuk itu." ucap Albert.

"Tanggung." ucap Alvaro.

"Yaudah, lo main aja sana berdua." ketusku. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Kak Nathan kemudian memejamkan kedua mataku.

"Kalau ngantuk tidur di kamar, jangan di sini. Kakak gak mau gendong kamu, kamu berat."

Aku berdecak. Memangnya aku berat? Tidak. Beratku hanya lima puluh lima kilogram saat terakhir kali menimbang. Untung saja badanku tidak gempal seperti Tamara. Aku berjalan menuju kamar dengan langkah gontai. Mataku begitu berat rasanya.

"Mir, awas!!"

Dug!

"Aduh," Aku meringis seraya memegangi dahiku yang terbentur tembok.

Albert menghampiriku. "Mira gak pa-pa, Mir?" Dia menangkup kedua pipiku.

Aku tersenyum. "Enggak."

Albert membuka pintu kamar dan menuntunku menuju ranjang. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Albert duduk di pinggir ranjang, kemudian menyelimutiku. Tangannya terulur mengelus rambutku.

"Mau di-Nina-Bobo-in? Atau di-Mira-Bobo-in?"

Aku mencubit lengannya pelan. "Gak dua-duanya."

Albert tertawa kecil. "Tidur, Mir."

"Sana makanya,"

"Tidur dulu, baru Albert keluar."

Aku pura-pura memejamkan mata. Setelah cukup lama, aku bisa merasakan Albert mengelus rambutku. "Mimpi indah, sertakan aku di mimpimu." bisik Albert mencium keningku.

Kudengar suara deritan pintu. Aku tersenyum dan membuka mataku. "Thanks for everything, Albert Samuel."

* * *

Story About Miracle [ON GOING]Where stories live. Discover now