Trouble

246 86 20
                                    

* * *

Pikiranku sangat kacau, semua masalah berkecamuk di kepalaku. Aku yang mulai mencintai Alvaro, Kak Nathan dipanggil oleh Bu Jennifer karena aku, Albert yang tidak masuk sekolah hari ini. Aku yakin masalah yang Albert hadapi cukup besar. Aku juga yakin Albert dan Alvaro pasti sedang ada masalah, dan itu menjadi masalah bagiku karena aku penasaran dengan masalah mereka.

Kata csnya Albert, Albert tidak pulang ke rumahnya semalaman. Tante Catlin—Mamahnya si kembarhttp—sangat khawatir dengan keadaan Albert, aku juga khawatir. Ada apa dengan si kembar sebenarnya? Aku dan csnya Albert sudah coba menghubungi Albert, tetapi ponselnya tidak aktif.

Kak Nathan yang duduk di sampingku hanya diam dan sesekali meng-iya-kan ucapan Bu Jennifer. Kami sedang berada di ruang BK saat ini. Bu Jennifer menceritakan bagaimana keseharianku di sekolah, seberapa sering aku bolos di jam pelajaran dan berapa kali aku keluar masuk ruang BK dalam sebulan. Aku hanya diam mendapati tatapan sinis dari Kak Nathan.

Kulihat pintu ruangan ini terbuka. Hans dan kedua orang tuanya memasuki ruangan ini. Aku terkejut bukan main saat melihat kedua orang tua Hans. Aku seperti ditampar oleh pahitnya kenyataan. Orang tua Hans adalah Lauren sekretaris Ayah dan Wilson Ayahku.

"Silakan duduk, Tuan, Nyonya." ucap Bu Jennifer.

Mereka duduk di sofa di hadapanku. Lihatlah, bahkan mereka tidak bereaksi sedikit pun saat melihat aku dan Kak Nathan.

"Putra saya nakal ya, Bu?"

"Jadi begini Tuan dan Nyonya, Hans menyukai Miracle sejak kelas sepuluh, tetapi Miracle tidak. Kemarin Hans menggoda Miracle dengan memegang dagu dan mencium rambut Miracle. Miracle tidak terima dengan kelancangan putra Tuan dan Nyonya, hingga Miracle menampar dan memelintir lengan Hans." jelas Bu Jennifer.

"Menurut saya juga perbuatan Hans sangat tidak baik dan sangat tercela. Jadi wajar jika Miracle melawannya. Entah apa yang terjadi jika Miracle diam saja dan tidak melawan, Hans pasti akan berbuat lebih." lanjut Bu Jennifer.

Aku tersenyum sinis. "Maaf, Bu. Saya pernah mendengar pepatah bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi wajar saja jika Tuan Muda Hans seperti itu, mungkin Ibunya juga seperti itu."

Lauren menghela napas kasar.

"Miracle, tolong maafkan anak Om, ya." ucap Ayah.

Anak? Akulah anakmu, Ayah...

"Ya, semoga Hans tidak mengulanginya lagi. Anda harusnya bisa mendidik Hans dengan baik. Lihatlah, saya dan Kak Nathan tumbuh menjadi pribadi yang baik meskipun tanpa seorang Ayah. Ya, walaupun saya kadang melanggar peraturan sekolah, setidaknya saya tahu cara berinteraksi dengan orang lain. Etika itu sangat penting dimana saja."

Kak Nathan menggenggam erat tanganku sekadar untuk menguatkanku. Seakan Kak Nathan juga merasakan apa yang aku rasakan. "Kami permisi, Bu." ucap Kak Nathan pada Bu Jennifer. Kak Nathan membawaku keluar ruangan ini.

Kak Nathan memelukku erat sesampainya di parkiran sekolah. "Sabar, sayang."

"Om! Ayah minta aku untuk panggil dia 'Om', sedangkan dia adalah Ayah aku, Ayah kita," ucapku disela isak tangis. "Dan, Ayah bilang Hans adalah anaknya. Aku anaknya, kita anaknya, Kak."

"Berengsek." umpat Kak Nathan.

Ayah yang menyakiti Ibu hingga Ibu seperti saat ini. Ayah juga yang menyakiti perasaanku. Bagi seorang anak gadis, ayah begitu berarti di hidupnya. Percayalah, tak ada anak yang menginginkan ayahnya selingkuh.

Dari semua perbuatan Ayah, aku masih menganggap Ayah adalah Ayahku, orang tuaku. Tetapi mengapa karena Ayah telah memiliki keluarga baru, Ayah tak lagi menganggapku sebagai anaknya? Bagaimana pun juga, aku tetap anaknya, aku lah darah dagingnya.

"Kayak Teletubies,"

Aku dan Kak Nathan melepaskan pelukan kami. Aku menghapus air mataku.

"Eh Albert, bikin kaget aja lo." kekeh Kak Nathan.

"Gue Alvaro, Kak." balas Alvaro.

"Hehe sorry, masih belum bisa bedain. Pulang naik apa, Al?"

"Taxi, Kak."

"Bareng aja, yuk!" seru Kak Nathan. 

Alvaro tersenyum sebagai tanggapan.

Kak Nathan memasuki mobil dengan Alvaro di samping kemudi. Sedangkan aku duduk di kursi belakang. Kak Nathan melajukan mobilnya. Aneh sekali, sekarang baru pukul sepuluh, mengapa Alvaro sudah pulang? Kalau aku memang sudah mendapat izin dari Bu Jennifer tadi. 

Aku tidak mengangkat suara sama sekali saat Kak Nathan dan Alvaro berbincang-bincang. Aku berusaha memejamkan mataku dan nyatanya sulit sekali. Kata-kata Ayah tadi masih mengiang-ngiang di kepalaku.

"Al, baru jam sepuluh, kok, udah pulang? Cabut lo, ya?" tanya Kak Nathan.

"Izin pulang, ada acara keluarga." jawab Alvaro.

Bisa kupastikan Alvaro berbohong. Acara keluarga? Albert saja sedang tidak ada di rumah. Tante Catlin bahkan sedang mengkhawatirkan keadaannya.

"Di kelas lo sebangku sama siapa, Al?"

"Sama Mira."

"Mira di sekolah kayak gimana, sih, Al?"

"Suka bolos, tidur, berantem." Alvaro melirikku sekilas dari cermin.

Astaga, ingin sekali aku menjahit mulutnya itu. Tidak Bu Jennifer, tidak Alvaro, sama saja. Sama-sama suka mengadu.

"Menurut lo Mira orangnya gimana, Al?"

Nanya mulu kayak Dora!

"Cantik, baik," Alvaro diam sejenak memberi jeda. "tapi ceroboh, pelupa lagi."

Bagus sekali, awalnya dia memujiku hingga pipiku merona, lalu dia menjatuhkanku. Hilang sudah rona di pipiku. Aku tetap diam tak membuka suara.

Kak Nathan tertawa kecil. "Mira memang ceroboh sedari kecil, kemarin aja mau ke kamar kejedot tembok."

"Kemarin juga, hampir jatuh karena tali sepatunya belum diikat, untung ada gue, Kak, coba kalau enggak," timpal Alvaro.

"Gosip mulu, Netizen!" ketusku.

Mereka tertawa.

Saat sampai di rumah-setelah mengantar Alvaro ke rumahnya-aku dan Kak Nathan mendapati Albert yang sedang terduduk di depan rumah kami. Aku membawa Albert memasuki rumah. Kak Nathan hanya diam menyimak pembicaraanku dengan Albert.

"Lo kemana aja? Semua nyariin lo!"

Albert menatapku. Matanya seakan menunjukkan dia begitu lelah. Dia memelukku erat, aku membalasnya. Awalnya Kak Nathan tidak terima, namun aku segera mengisyaratkan Kak Nathan untuk diam, dan dia pun diam. Aku mengusap-usap rambut Albert. Kak Nathan memasang wajah tertekuk melihat adiknya berpelukan dengan pria muda menyebalkan seperti Albert.

"Gue ribut sama Al." ungkap Albert lalu melepas pelukan.

"Ribut kenapa?"

Albert mengulurkan jari kelingkingnya. "Apa pun yang terjadi, lo gak akan tinggalin gue."

Aku mengaitkan jari kelingking kami. "Gak akan. Lo sahabat gue dan seterusnya akan seperti itu."

"Damn, I'm so fuckin' love you."

* * *

Story About Miracle [ON GOING]Where stories live. Discover now