I'm in Love

169 49 36
                                    

* * *

Yang kulihat saat pertama kali membuka mata adalah langit-langit kamar. Kamar? Aku ada di kamar! Tunggu, mengapa aku bisa di kamar? Siapa yang membawaku ke sini?

Seingatku, tadi aku belajar Ekonomi di ruang tamu bersama Alvaro. Aku sudah menjawab dua puluh soal dan benar delapan belas soal. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi karena aku tertidur lelap. Mimpiku bahkan indah sekali.

Aku tersenyum. Apakah Alvaro yang menggendong dan membawaku ke kamar? Semoga saja itu benar. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Astaga, lama juga aku tertidur.

Aku berjalan keluar kamar dan menuju ruang tamu. Aneh, mengapa sepi sekali? Biasanya si kembar dan orang tuanya berkumpul di ruang tamu atau di ruang tengah. Di dapur dan ruang makan juga tidak ada orang. Kemana semua orang? Apa mereka semua pergi dan meninggalkanku sendirian di rumah seluas ini?

"Hello! Anybody home?" Aku berteriak kencang.

Aku menghela napas kasar. Tak ada yang menjawab. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di sofa dan menonton televisi. Aku lupa membawa ponselku, jadi aku tidak bisa menghubungi Tante Catlin maupun Albert. Biarlah, aku akan menonton televisi sampai mereka kembali.

"Ngapain teriak-teriak?" ucap Alvaro menuruni anak tangga.

Aku tersenyum kikuk, menggaruk kepala yang tak gatal. "Eh, ada lo. Gue kira semuanya pergi."

Alvaro duduk di sampingku dan mengambil alih remote televisi dari tanganku. "Gak mungkin ninggalin lo sendirian di rumah." Alvaro mengganti-ganti saluran televisi.

"Pada kemana, sih?" tanyaku.

"Teman Papah ngadain pesta anniversary pernikahan mereka. Sebenarnya tadi gue yang disuruh ikut, tapi gue gak mau. Jadinya Sam yang ikut."

"Kenapa gak mau?"

"Temannya Papah berteman sama Daddy Rainly, pasti Rainly ikut, jadinya gue malas ikut."

Aku tersenyum. Itu artinya Alvaro tidak menyukai Rainly. Syukurlah.

"Lo berat." ucap Alvaro dengan santainya.

Lantas aku memelototinya. "Enggak!" elakku.

"Iya. Kan, gue yang gendong lo ke kamar."

Aku terdiam. Benar! Alvaro yang menggendongku ke kamar. Semoga saja Alvaro tidak menyadari pipiku yang merona karena perkataannya. Tetapi, benar, kan, Alvaro yang menggendongku? Aku hanya sulit percaya.

"Main PS, yuk!" seru Alvaro.

"Ayo!"

Alvaro segera beranjak mengeluarkan PS dari meja televisi, menaruhnya di meja ruang tamu. Alvaro mencolokkan kabel PS ke televisi. Aku membantunya mencolokkan kebel stik dengan PS itu. Aku dan Alvaro memegang stik PS, Alvaro memilih-milih game yang ada di cd PS.

"Main apa?" tanya Alvaro.

"The Warriors."

The Warriors adalah game yang kusukai sejak kecil. Banyak misi yang harus diselesaikan dalam game itu. Bahkan The Warriors ada versi filmnya—lebih dulu filmnya daripada gamenya. Nanti akan kubahas tentang film The Warriors. Aku mau main dulu, ya.

"Misi apa?" tanya Alvaro memencet-mencet stik PS.

"China Town."

Alvaro terperangah. "Lo serius, Shine? Itu misi susah banget,"

Aku mengangguk mantap. "Nanti gue ajarin gimana strateginya."

Misi China Town adalah misi yang mengharuskan kita bersembunyi di sebuah pasar, lalu diam-diam mengintai dan menguntit si akuntan bernama Huns. Jika di tengah misi kita ketahuan oleh Huns, maka si Huns akan memanggil teman-temannya yang orang China untuk mengeronyok kita. Dan misi pun harus diulang dari awal. Dulu aku juga sering kalah dalam misi ini, tetapi lama-kelamaan aku terbiasa dan belajar dari kekalahan.

Story About Miracle [ON GOING]Where stories live. Discover now