Damn

299 88 35
                                    

* * *

Hans Johnson. Pria tampan, dingin, arogan, dan bertekad kuat. Banyak gadis di sekolah yang menyukainya dan dia hanya tertarik padaku. Langkah pertamanya mendekatiku adalah saat LDKS kelas sepuluh. Saat itu aku satu kelompok dengannya. Dia selalu memerhatikanku, dia juga memperlakukanku dengan baik. Kemudian hari dia menyatakan cintanya padaku, di tengah lapangan. Banyak orang yang melihat, bahkan saat itu aku dan Hans menjadi pusat perhatian. Hari  itu menjadi saat-saat paling memalukan di hidupku. Dia pikir itu romantis? Tidak. Hal itu sungguh memalukan. Jika dia memang mencintaiku, buktikan itu padaku, bukan pada orang banyak, lebih-lebih satu sekolah. Aku menolaknya, aku tak mencintainya. Sejak saat itu dia membenciku.

Frans Antonio. Pria lugu, pintar, dan sedikit pemalu. Tiap bertemu denganku dia tidak pernah berani menatapku. Dia tidak seberani Hans yang menyatakan cinta di tengah lapangan, tetapi dia menungkapkan perasaannya melalui bunga, cokelat, boneka, dan dia selalu menyisipkan pesan di secarik kertas. Dia menggunakan inisial FA di kertas itu. Dan mengapa aku bisa mengetahui bahwa dia lah secret admirer-ku? Dia menuliskannya di kertas yang dia sisipkan di bunga terakhirnya untukku. Dan setelah itu dia pindah sekolah karena lelah menjadi secret admirer-ku.

Ricko Howard. Kakak kelas dua belas yang menyukaiku saat aku masih kelas sepuluh, sekarang dia sudah lulus. Dia baik, tampan, dan sedikit nakal. Aku memanggilnya Kako (Kak Ricko). Kadang aku tertawa sendiri saat mengingat caranya menyatakan cinta dulu. Dia menghampiriku di kelas dan tiba-tiba saja dia menodongkan pistol air padaku. Lalu berkata, "Mira, gue suka sama lo, sekarang lo lagi gue tembak." Aku menolaknya secara halus dan dia mampu mengerti hal itu. 

Sudah cukup. Hanya tiga orang itu yang mampu aku ceritakan, masih banyak yang belum kubahas, mungkin lain kali saja jika aku ingin. Dari banyak pria yang menyukaiku, hanya Albert Samuel lah yang paling beruntung, karena aku tak pernah menjauhinya dan dia pun dapat mengerti keadaanku saat itu.

Saat aku menaiki tangga—seraya bersenandung, aku berpapasan dengan orang yang tadi kuceritakan. Aku sedang menuju kelasku setelah makan di kantin.

Hans menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya begitu intens dan mengintimidasi, dia menyeringai. "Hey! Kau terlihat semakin cantik saja!" Dia memegang daguku.

Aku menepis tangannya kasar. "Minggir!" sarkasku.

Hans membelai rambutku lalu menciumnya. Dasar pria berengsek! Aku menampar pipinya keras-keras. Wajahnya teroleng ke samping. Dia menatapku tajam.

"Why?!" Dia mencengkeram pergelangan tanganku kasar. Cengkeramannya amat keras, rasanya tanganku begitu sakit di cengkeraman tangannya. Pria kasar dan berengsek seperti dia memang tak pantas mendapatkan cintaku. 

Dengan secepat mungkin—saat dia lengah karena hanyut dalam tatapanku—aku memutar tubuhnya dan kini aku memiting lehernya dan memelintir tangannya.

"Agh! Sakit, bitch!" Pria itu meringis kesakitan.

Aku tak melepaskannya begitu saja. "Pria brengsek dan kasar seperti lo gak pantas mendapatkan cinta gue!" ucapku tepat di telinganya.

"Miracle!" seru Bu Jennifer menghampiriku.

Aku segera melepaskan Hans, tersenyum pada Bu Jennifer. "Kenapa, Bu?" tanyaku santai.

"Ikut Ibu ke ruang BK!" tegas Bu Jennifer.

"BK lagi, Bu? Bosan saya,"

Story About Miracle [ON GOING]Where stories live. Discover now