Reminder

205 52 24
                                    

* * *

Bahagia Berada di rumah ini. Aku begitu nyaman berada di sini. Dua minggu aku berada di sini, mereka menyayangiku dan menjagaku seperti aku termasuk anggota keluarga ini. Begitu menyenangkan memiliki keluarga yang harmonis.

Kami sedang berada di perjalanan menuju tempat Ibu. Sesuai yang Tante Catlin katakan bahwa dia ingin bertemu dengan Ibu. Om Calvin dan si kembar juga ikut, karena hari ini hari Minggu.

Selama perjalanan hanya percakapan Tante Catlin dan Om Calvin yang mendominasi. Aku dan si kembar hanya diam tak bersuara. Posisiku saat ini berada di tengah-tengah si kembar. Alvaro asyik memainkan ponselnya begitu juga Albert. Oke! Aku juga punya ponsel.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyalakannya. Banyak pesan masuk, karena aku tidak menyalakan data seluler dari hari Rabu. Terdapat tujuh pesan dari Kak Nathan, dua pesan dari Edward, empat pesan dari Alicia, satu pesan dari Albert dan tiga pesan dari nomor tidak dikenal. Aku membaca pesan dari nomor tidak dikenal terlebih dahulu.

+62 812...

Gue kira saat kembarannya Albert gue pukuli, lo akan ngelawan,

Nyali lo mana?

Haha, I love you so much, Miracle Shine.

Aku menggertakkan gigiku. Oh, ini pasti pesan dari pecundang itu. Berani sekali dia mengirimiku pesan yang isinya meremehkanku. Dia bertanya tentang nyaliku? Lihat saja, akan aku buktikan padanya seberapa besar nyaliku.

Pecundang itu bukan lawan yang sulit kuhabisi. Hari itu saja dia memukuli Alvaro dengan bantuan William dan Johnny. Bahkan saat aku memelintir tangannya, dia tidak melawan dan hanya meringis seperti bayi. Dasar pria lemah!

"Sudah sampai!" seru Om Calvin.

Kami keluar mobil lalu memasuki tempat Ibu. Akumenjadi pemandu, karena hanya aku yang mengetahui kamar Ibu. Kami memasuki kamar Ibu dan mendapati suster yang sedang membujuk Ibu agar tidak meloncat-loncat di ranjangnya.

Suster itu tersenyum melihat kami. "Nona Mira, gak sama Tuan Nathan?"

Aku tersenyum. "Kak Nathan magang di Bandung," jawabku. "Biar saya aja,"

Suster itu langsung meninggalkan kamar Ibu.\

Ibu meloncat-loncat di ranjang, ditangan kanannya terdapat foto Ayah yang sudah kusut. Aku memegang tangan Ibu. "Ibu, Ibu turun, ya. Nanti ranjangnya rusak." ucapku lembut.

"Kamu mau ikut main loncat-loncat? Hahahaha, seru tahu!"

"Ibu, turun!" tegasku.

Ibu segera turun dan duduk manis di ranjangnya. Ibu hanya menurut padaku dan Kak Nathan. "Kamu galak. Kayak Wilson, dong, dia baik sama aku, Mir." Ibu menunjukkan foto Ayah padaku.

Ayah jahat, Bu.

Tante Catlin menghampiriku dan Ibu. "Hai," sapanya ramah.

"Kamu bawa teman-temanmu, Mira? Wah, yang itu mukanya mirip!" Ibu menunjuk si kembar.

Om Calvin dan si kembar mendekat. "Alvaro dan Albert, mereka anak saya." ucap Tante Catlin.

"Hahaha... Wilson mana? Wilson juga anak kamu?"

Tante Catlin hanya tersenyum. Aku tidak malu memiliki Ibu yang sakit jiwa. Apa pun kondisinya, Ibu tetap Ibuku. Ibu sangat berarti di hidupku.

Seperti biasa, Ibu selalu menyebut nama Ayah. Berbicara pada foto Ayah, seakan-akanfoto itu bisa menjawabnya. Aku benci Ayah. Mengapa Ayah tega menyakiti Ibu? Padahal Ibu selalu mencintai Ayah. Lihatlah, Ibu selalu menyebut nama Ayah, walaupun Ayah sudah menyakiti Ibu. Karena Ayah, Ibu jadi seperti ini.

Andai saja Ayah tidak selingkuh, andai Ayah tidak menikah dengan Ibu dari pecundang itu. Andai...

"Tolong! Tolong! Anakku menangis... Mana susu? Anakku menangis!" teriak Ibu. Ibu menghapus air mata di pipiku dan mengelus rambutku.

"Mira jangan nangis, sayang. Ini Ayah, ayo ngomong sama Ayah!" Ibu memberikan foto Ayah padaku. Aku memeluk Ibu, aku selalu menangis jika menjenguk Ibu.

"Maaf, boleh Papah lihat foto Ayahmu?" ujar Om Calvin. Aku memberikan foto Ayah pada Om Calvin. Ia nampak terkejut melihat foto Ayah, sejenak kemudian ia tersenyum. "Kita pulang."

Aku bertanya-tanya mengapa Om Calvin meminta pulang setelah melihat foto Ayah. Saat sampai di rumah Om Calvin mengatakan bahwa Ayah adalah bawahan Om Calvin di kantornya—setelah perusahaan Ayah mengalami kebangkrutan, Ayah bekerja di perusahaan Om Calvin.

Om Calvin menawarkan untuk memecat Ayah agar Ayah menderita. Hitung-hitung untuk membalaskan dendam Ibu pada Ayah. Tetapi aku menolaknya, biarkan saja Ayah seperti itu. Sejahat apapun Ayah, sebenci apapun aku padanya, dia tetap Ayahku. 

* * *

Aku butuh vote dan dukungan kalian:)

Story About Miracle [ON GOING]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora